Tiba-tiba saja terlintas di pikiran saya tentang pengalaman saya mengenal Kompasiana dulu. Entah otak saya ini sedang rindu masa-masa itu atau memang sedang memikirkan hal yang acak, saya juga tidak tahu. Pastinya, otak saya memaksa saya untuk mengingat awal perkenalan saya dengan Kompasiana hingga akhirnya saya menulis disini.
Entah berapa menit yang saya habiskan untuk berpikir tapi akhirnya saya berhasil mengingat masa-masa itu. Sekitar hampir 5 tahun yang lalu, akhirnya saya mendaftarkan diri dan menulis untuk pertama kali di Kompasiana. Jika harus ada pihak yang diganjar penghargaan untuk hal tersebut maka orang tersebut adalah Wisnu Nugroho.
Adakah dari anda yang mengenal nama tersebut? Jika tidak, apakah anda tahu buku berjudul “Pak Beye dan Istananya”? Ya, Wisnu Nugroho adalah seorang jurnalis, mantan wartawan Kompas yang pernah ditugaskan sebagai wartawan istana pada masa pemerintahan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada tahun 2010, Mas Wisnu menulis buku berjudul tersebut yang akhirnya diterbitkan penerbit Kompas Gramedia. Total ada 4 buku yang menjadikannya buku tetralogi mengenai sisi lain Presiden SBY.
Saya lupa dari mana saya mendapatkan info buku itu pertama kali. Tapi yang jelas saya ingat bahwa saya termakan iklan di suatu media sehingga akhirnya saya pergi ke Gramedia untuk membeli buku pertama dari tetralogi itu. Setelah membacanya dan akhirnya saya membaca profil penulis dan latar belakang penulisan buku tersebut, saya mengenal kata Kompasiana untuk pertama kali. Bagi yang belum tahu, buku tulisan Mas Wisnu Nugroho tersebut adalah kumpulan tulisan-tulisan yang dia posting ke Kompasiana saat dia bertugas menjadi wartawan istana. Tulisan yang awalnya iseng-iseng tersebut akhirnya menjadi buku yang cukup laris setelah ada teman Mas Wisnu yang menyarankan untuk membukukan tulisan-tulisan dia di Kompasiana.
Tidak butuh lama saat itu, saya akhirnya juga membuat akun Kompasiana saya sendiri. Harapan saya waktu itu sangat sederhana, saya memiliki wadah untuk menulis di kala saya tiba-tiba mempunyai ide. Harapan sampingannya ya siapa tahu saya bisa seperti Mas Wisnu Nugroho. He-he-he-he-he. Saya sebelum itu, memang sudah lama ingin memiliki sebuah blog tetapi belum ada situs yang sesuai dengan kriteria keinginan saya. Tetapi sepertinya saat saya membuat akun Kompasiana, pengaruh dari buku Mas Wisnu sangat kuat. Pada dasarnya, Kompasiana tidaklah seperti yang saya inginkan tetapi pengaruh dari buku akhirnya membuat saya mendaftar juga. Tapi pada awalnya saya menjadi anggota di Kompasiana, saya masih menganggap bahwa Kompasiana ini seperti situs blog pada umumnya. Saya buat akun, saya ada ide/pemikiran, saya menulis dan selesai. Kenyataannya tidak sesederhana tersebut. Pada Kompasiana akan ada banyak akun yang akan berkomentar terhadap tulisan kita. Hal itu membuat Kompasiana terasa lebih interaktif. Jadi jika dikatakan hanya sebuah situs blog biasa, saya menganggap itu salah.
Seiring berjalannya waktu, saya juga tahu bahwa Kompasiana ini tidak bisa saya perlakukan seperti buku diary atau blog-blog biasa pada umumnya. Tetapi perkenalan dengan Kompasiana karena buku karya Mas Wisnu Nugroho pada saat itu membuat saya sekarang memiliki wadah tersendiri untuk menuliskan suatu ide atau pemikiran yang tiba-tiba terlintas di pikiran saya sehingga tidak hanya menjadi sesuatu yang terlupakan begitu saja. Tidak harus serius. Tidak harus selalu kaku. Meskipun sifatnya “remeh temeh” seperti tulisan Mas Wisnu Nugroho di bukunya, ada sudut pandang yang berbeda yang bisa diambil dari hal “remeh temeh” tersebut. I write therefore I exist. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H