Mohon tunggu...
Luthfi Purnahasna
Luthfi Purnahasna Mohon Tunggu... PNS -

Saya justru bingung jika disuruh mendeskripsikan diri saya sendiri. Biarlah orang lain yang menilai saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gang Dolly dan Sebatang Rokok

14 Juni 2014   11:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:47 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kurang dari seminggu penutupan lokalisasi Dolly oleh pemerintah Surabaya. Tetapi sepertinya gelombang protes menentang penutupan lokalisasi tersebut masih saja bermunculan. Terutama dari para warga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari lokalisasi tersebut. Jika tempat itu ditutup, mereka khawatir akan kehilangan mata pencaharian.

Pro dan kontra masalah penutupan lokalisasi tersebut sepertinya tidak aka nada habisnya. Pihak yang pro pada penutupan jelas akan berpegang pada permasalahan moral dan nilai. Prostitusi dari banyak sisi jelas sulit dibenarkan. Apalagi jika sudah menyinggung masalah agama. Belum lagi efek yang dibawa sesudahnya. Efeknya juga dianggap buruk.[1]

Tetapi pihak yang kontra tidak mau tinggal diam juga. Kebanyakan dari pihak yang kontra adalah warga Dolly sendiri. Mereka menganggap penutupan Dolly akan menutup sumber mata pencaharian mereka. Mereka telah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari situ. Mulai dari bisnis prostitusi hingga sekedar berdagang asongan atau pedagang kaki lima. Meskipun pemerintah Surabaya telah menjanjikan akan memberikan pelatihan sebagai bekal, terutama untuk para pekerja seks komersial (PSK) Dolly, untuk mereka nantinya bekerja di bidang lain, banyak yang sangsi terhadap hal tersebut. Sehingga penutupan Dolly ini menjadi sebuah keputusan yang dilematis. Pada satu sisi, moral yang berbicara. Tapi pada sisi lain, perut juga tidak ingin kalah.

Hal dilematis ini mengingatkan saya pada kasus rokok. Ya, rokok, benda yang besarnya kira-kira sejari telunjuka orang dewasa ini pernah juga mengalami hal serupa tapi tak sama seperti Dolly. Beberapa tahun lalu, jika kita ingat, rokok sempat menjadi perdebatan panas. Rokok dan juga bahan bakunya yaitu tembakau sempat akan dilarang. Dan ada wacana akan dikeluarkannya peraturan yang mengontrol peredaran rokok di publik.[2] Bahkan di kalangan ulama Indonesia, melalui MUI yang lalu disusul oleh Muhamaddiyah juga mengeluarkan fatwa larangan merokok. Larangan ini khususnya untuk anak-anak dan remaja.[3]

Pro dan kontra terhadap rokok tersebut juga cukup heboh. Pihak pro kebanyakan datang dari kalangan penggiat anti-rokok dan kesehatan. Tentunya kita, bahkan perokok, tahu bahwa banyak sekali zat yang dianggap “racun” yang terkandung pada sebatang rokok. Iklan dan publikasi mengenai hal tersebut pun juga sudah banyak. Hanya saja kesadaran para perokoknya yang sulit untuk dibuka. Karena itu dirasa perlu sebuah aturan yang lebih mengikat daripada himbauan atau saran.

Pihak kontra juga tidak mau kalah. Ini sudah menyangkut urusan perut mereka. Mata pencaharian mereka diujung tanduk jika rokok dilarang.[4][5] Terutama para petani tembakau. Bahkan saat isu tersebut mulai berhembus, teman saya yang orang tuanya pedagan tembakau sempat berujar bahwa penjualan tembakaunya menurun dibanding biasanya. Hal tersebut karena para pembeli tembakau untuk rokok tidak ingin merugi dengan membeli tembakau dalam jumlah banyak tetapi akhirnya mereka tidak bisa menjualnya kembali dalam bentuk rokok. Selain itu, penolakan juga dari kalangan yang menganggap bahwa rokok adalah bentuk budaya Indonesia yang harusnya dilestarikan. Terutama adalah rokok jenis kretek. Pelarangan rokok dianggap “membunuh” budaya Indonesia dan juga membunuh para pedagan kecil yang mencari uang dari rokok tersebut.[6][7] Belum lagi dari kalangan pebisnis. Banyak sekali acara yang disponsori dari bisnis rokok. Saya menyoroti acara-acara seperti siaran sepak bola di televisi dan konser-konser musik. Acara-acara tersebut didominasi sponsor yang merupakan produsen rokok. Dikhawatirkan jika rokok akhirnya dilarang, akan sulit mencari sponsor royal untuk acara-acara seperti itu. Pada akhirnya berujung juga pada berkurangnya mata pencaharian alias masalah perut.

Dolly dan rokok memang merupakan dua hal yang berbeda. Tetapi mengalami suatu hal yang sama dan dihadapkan pada putusan dilematis.[6] Pada satu sisi, penutupan atau pelarangannya akan memberikan manfaat tersendiri. Dolly ditutup akan menunjukkan sikap konsisten pada nilai dan moral. Dan pelarangan rokok, akan memberikan kesehatan. Tetapi pada lain sisi, penutupan atau pelarangannya akan mengancam mata pencharian banyak orang. Bisnis yang berjalan di Dolly ataupun rokok tidak dapat dipungkiri, telah menghasilkan rupiah yang tidak sedikit bagi banyak orang di berbagai kalangan. Dan hal tersebut sudah seperti tanaman dengan akar yang kuat. Sulit untuk dicabut dari tanah tetapi sekalinya bisa dicabut akan membunuh tanaman dan berbagai makhluk hidup yang hidup disitu. Dolly dan rokok seperti tanaman itu dan orang-orang yang itu seperti makhluk hidup yang bisa bertahan hidup melalui “tanaman” bernama Dolly dan rokok.

Dan kurang dari seminggu lagi, jika tidak ada perubahan, akhir cerita akan didapatkan Dolly. Sepenuhnya, lokalisasi yang dianggap terbesar seantero Asia Tenggara tersebut akan ditutup. Semoga hal tersebut menjadi akhir yang bahagia bagi semua pihak.

[1] M. Hafil, Penutupan Dolly Harus Diiringi Pembinaan Akhlak dan Akidah’, Republika Online (daring), 7 Juni 2014, <http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/14/06/07/n6slfk-penutupan-dolly-harus-diiringi-pembinaan-akidah-akhlak>, diakses 9 Juni 2014.

[2] A. Swwamurti, N. Indietta, B. Amaruddin dan B. Bintariadi, ‘Tak Perlu Berpolemik, Segera Buat UU Pengendalian Tembakau’, Tempo (daring), 15 Desember 2009, <http://www.tempo.co/read/fokus/2009/12/15/993/Tak-Perlu-Berpolemik-Segera-Buat-UU-Pengendalian-Tembakau>, diakses 9 Juni 2014.

[3] P. A. Harnowo, ‘Negara-negara yang Mengharamkan Rokok’, detikhealth (daring), 25 Juli 2012, <http://health.detik.com/read/2012/07/25/115155/1974283/775/negara-negara-yang-mengharamkan-rokok>, diakses 9 Juni 2014.

[4] I. Ningtyas, ‘DPRD Keberatan Raperda Larangan Merokok’, Tempo.Co (daring), 28 September 2010, <http://www.tempo.co/read/news/2010/09/28/180281040/DPRD-Keberatan-Raperda-Larangan-Merokok>, diakses 9 Juni 2014.

[5] Kompas, 20.000 Petani Tembakau Tolak RUU Tembakau (daring), 16 Februari 2014, <http://female.kompas.com/read/2009/02/16/2021035/20.000.petani.tembakau.tolak.ruu.tembakau.>, diakses 9 Juni 2014.

[6] hukum online.com, Pertarungan Konstitusionalitas Tembakau di Balik UU Kesehatan (daring), 10 Februari 2012, <http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f349ad3f219a/pertarungan-konstitusionalitas-tembakau-di-balik-uu-kesehatan>, diakses 9 Juni 2014.

[7] Swadesta A. W., ‘Sejarawan UGM: Rokok Kretek Warisan Budaya’, Berita Jogja (daring), 27 Maret 2014, <http://beritajogja.co.id/2014/03/27/sejarawan-ugm-rokok-kretek-warisan-budaya/>, diakses 9 Juni 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun