Sepak bola modern sekarang ini memang sudah dianggap menjadi sebuah industri besar. Industri dimana uang memegang kekuatan penting di dalamnya. Tak jarang klub mengeluarkan investasi jor-joran untuk bisa berprestasi. Ya, berprestasi untuk menjadi juara suatu kompetisi.
Normalnya sebuah klub sepak bola profesional tentunya menginginkan prestasi berupa juara kompetisi. Harapannya setelah klub tersebut berprestasi lalu diikuti dengan tambahan pemasukan keuangan klub. Tentunya klub yang berprestasi akan dilirik oleh banyak penggemar dan juga oleh sponsor maupun investor. Setelah itu, tentunya pemasukan klub menjadi bertambah besar. Tetapi tujuan utama tetap jelas yaitu prestasi diatas lapangan. Setelah itu, barulah klub bisa memetik buah keuntungan dari prestasi tersebut.
Tetapi dalam dunia sepak bola profesional ini ternyata terdapat anomali di dalamnya. Pelakunya adalah klub dari Inggris, Arsenal dan klub dari Italia, Udinese. Bagi penggemar berat sepak bola tentunya tidak asing dengan nama kedua klub diatas. Mereka bermain di kasta tertinggi sepak bola negaranya masing-masing. Tetapi berbeda dengan klub kebanyakan yang menjadikan prestasi di atas lapangan sebagai prioritas, mereka menempatkan itu tidak pada urutan pertama.
Penggemar Liga Primer Inggris tentu tahu klub Arsenal. Klub besar di ranah Inggris yang beberapa tahun belakangan seperti kesulitan mengangkat trofi. Sebelum mengangkat trofi FA Cup bulan lalu, terakhir kali pemain dari Arsenal menjuarai suatu kompetisi resmi adalah pada tahun 2005. Sembilan tahun tanpa gelar juara bagi klub sekelas Arsenal dianggap aib oleh para penggemarnya. Hal tersebut pun dijadikan bahan olokan oleh para penggemar dari kubu lawan.
Keraguan terhadap kapasitas seorang Arsene Wenger sebagai manajer (sebutan pelatih kepala di Inggris) jempolan diragukan. Para penggemarnya juga menyalahkan manajemen yang tidak mau belanja pemain mahal dan malah sering melepas pemain bintang yang memiliki pengaruh terhadap klub.
Tapi jika kita telisik lebih jauh, ternyata hal tersebut adalah anomali yang dilakukan oleh jajaran manajemen Arsenal. Semenjak 66% saham klub dimiliki oleh Stan Kroenke, klub ini lebih mementingkan prestasi “hijau” pada keuangan klub daripada prestasi di lapangan. Kroenke terkesan tidak ambisius dalam memberikan target pada tiap awal musim. Di Liga Inggris, manajemen klub Arsenal selalu bisa memaafkan jika Arsenal tidak mengakhiri musim dengan menjadi juara. Selama klub bisa berkiprah di Liga Champions (LC) musim depannya, jajaran pelatih dan pemain dianggap “sudah berprestasi”. Hal itu karena, pentas LC menjanjikan money prize dan pendapatan besar dari sektor hak siar. Kroenke sebagai pemegang saham mayoritas menjadikan keuntungan finansial sebagai keberhasilan dibandingkan trofi juara.[1] Selain itu, kebijakan klub untuk mengembangkan pemain muda lalu nanti menjualnya dengan harga matang juga untuk meminimalisir pengeluaran belanja pemain. Dan kebetulan hal-hal diatas bisa diwujudkan oleh Arsene Wenger. Wenger konsisten “berprestasi” selalu membawa Arsenal di 4-besar Liga Primer Inggris pada 9 tahun belakangan. Dia juga kerap mengorbitkan pemain-pemain muda berbakat baik dari akademi atau dibeli dari klub lain tetapi dengan harga cukup murah.
Selanjutnya kita menyebrang ke Italia. Penggemar Serie-A, kasta tertinggi sepak bola Italia, tentunya tidak asing dengan Udinese. Klub semenjana jika dibandingkan dengan glamor dan mewahnya klub-klub besar Italia seperti AC Milan, Inter Milan maupun Juventus. Meski begitu klub ini kerap dianggap sebagai kuda hitam pada kompetisi Serie-A karena kerap menjadi batu penghalang klub-klub besar. Bisa jadi itulah “prestasi terbesar” untuk klub sekelas Udinese.
Klub ini juga memiliki anomali seperti Arsenal. Ya, prestasi berupa trofi juara kompetisi di atas lapangan hijau bukan menjadi target utama. Bahkan bisa dibilang lebih ekstrem dibandingkan Arsenal. Secara terang-terangan, sang pemilik klub, Giampaolo Pozzo, mengatakan bahwa sepak bola adalah industri yang harus diwujudkan dengan laba. Oleh karena itu, gelar adalah nomor dua. Baginya, tidak ada gunanya menjadi klub elit yang bergelimang trofi, terkenal, dan memiliki banyak penggemar tapi akhirnya merugi dari segi finansial.[2]
Sadar tidak memiliki basis penggemar yang besar, Udinese menggunakan cara lain dalam mewujudkan keuntungan finansial. Caranya adalah dengan “bermain” di bursa transfer pemain. Udinese akan membeli dan merekrut pemain muda dengan harga murah. Lalu ditempa di klub hingga 3-4 musim. Setelah harga pasarnya sudah naik, mereka akan dijual kepada klub-klub peminat. Pemain yang direkrut pun tidak sembarangan. Mereka adalah pemain-pemain muda yang dianggap bertalenta yang telah diawasi oleh tim scout Udinese. Pada cara ini, Udinese menerapkan prinsip ekonomi yaitu dengan modal yang sedikit mendapatkan pemasukan yang besar. Cara ini sudah ditanamkan Giampaolo Pozzo semenjak tahun 2005. Cara ini disebut “The Udinese Model”.[2]
“The Udinese Model” ini juga bukan hanya istilah. Mereka telah berhasil memperoleh keuntungan dari menjual para pemainnya. Setidaknya sejak musim 2003/2004, Udinese selalu memperoleh keuntungan di bursa transfer pemain. Artinya pemasukan mereka dari jual-beli pemain lebih besar dari pada pengeluaran belanjanya.[2] Bagi Udinese dan Pozzo, laba yang diraih klub merupakan prestasi.
Sebagai klub sepak bola profesional, Arsenal dan Udinese menjadi sebuah anomali karena menempatkan trofi pada prioritas kedua. Bagi mereka laba atau keuntungan finansial merupakan “prestasi” yang wajib diraih tiap musimnya. Tetapi di lain sisi, mereka menunjukkan situasi sepak bola modern sekarang ini yang merupakan sebuah industri. Industri besar dimana sebuah klub adalah perusahaan. Perusahaan yang terus-terusan merugi tentunya akan bangkrut sehingga laba menjadi prioritas.
[1] A. B. Pramono, ‘Perbedaan Kriteria Sukses: Manajemen Arsenal menilai keberhasilan tidak semata-mata dari perolehan trofi belaka. Ukurannya berbeda dengan suporter.’, Soccer, edisi 39/XIV 5 April 2014, halaman 6.
[2] A. E. Pramana, ‘Prioritaskan Laba: Sesuai dengan filosofi sang pemilik, Il Zebrette lebih mengutamakan uang ketimbang prestasi’, Soccer, edisi 39/XIV 5 April 2014, halaman 14.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H