Pemuda yang bertanya tadi menanggapi dengan sinis.
"Nggak lucu tau. Ha. Kok kamu malah curhat sih?"
Teman saya tadi langsung nyolot, "Itu kan aspirasi saya Mas, tadi katanya nanya pendapat!"
Disambung lagi dengan teman sekelas saya yang lain:
"Lalu ya, masa nanti cleaning service jadi pada gak ada....masa kita disuruh piket kan males banget,"
Tawa demi tawa pun susul-menyusul menanggapi pernyataan tersebut.
"Ya mungkin kalian cukup mampu, tapi kita melihat secara global, bahwa pendidikan gratis 12 tahun itu merupakan hal yang sangat bagus. Jadi intinya, tanggal 20 September nanti, kalian sisakan aja 5 menit waktu kalian di hari itu untuk nyoblos mana yang terbaik untuk kalian," Si Mas itu berkata lagi dengan lumayan netral; tidak menyebut no.1 lagi maksudnya hehe.
Ya mungkin kita memang murid manja, dan memang program pendidikan gratis 12 tahun itu bagus secara global, tapi jujur saya sendiri sih lebih mementingkan kualitas. Gratis tapi kalau fasilitas semuanya dikurangi dan guru-gurunya tidak efektif dalam mengajar, siapa juga yang mau? Waktu SMP saja, saya melihat, ada 'jurang' di antara anak-anak kelas reguler yang tidak bayar dengan anak-anak akselerasi dan bilingual yang memiliki SPP. Anak yang bayar setiap bulan itu punya fasilitas wifi di kelas, TV di kelas, outbond setiap tahun, native speaker yang datang setiap minggu untuk sekedar ngobrol dengan bahasa inggris, dan meja-kursi khusus yang jauh lebih bagus. Jadi sejujurnya, saya agak menolak program pendidikan gratis 12 tahun ini.
Ya, pada akhirnya, teman-teman serta saya keluar ruangan setelah acara berakhir dengan kemantapan hati di masing-masing jiwa akan pilihannya tanggal 20 September nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H