Pagi ini cuaca lumayan tak bersahabat, gerimis dari subuh  tak kunjung berhenti, hawa dingin langsung menyergap saat aku membuka pintu rumah. Kukenakan jas hujan dan masker , walaupun sebenarnya aku paling malas mengenakan kostum satu ini, tapi apa daya aku harus pergi ke pasar untuk belanja berbagai bahan kebutuhan memasak. Semalam kutengok dalam lemari es persediaan sayur, dan lain-lain sudah habis hanya tinggal telur dan beberapa buah-buahan yang tersisa. Aku sempat protes kepada Mama.  Mama dengan cepat menyahut
" Mama gak sempat belanja Dek! Pekerjaan Mama menumpuk".
Yahh .. aku maklum , mama adalah seorang penjahit, pelanggan mama banyak, konon kata orang-orang yang suka jahitin  , baju buatan mama bagus, jahitannya halus serta enak dipakai ketiplek kata mereka. Gak perlu revisi atau permak-permak lagi. Setiap hari mama harus kejar tayang menyelesaikan baju --baju pelanggannya yang rata --rata minta dijadikan cepat .
Dengan sedikit memaksakan diri kukayuh sepeda menuju pasar, untuk membeli keperluan bahan masakan, pagi ini aku berencana mau masak Sambal Lado Udang, reques dari calon mertuaku. Gak pakai lama aku sampai ke pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah. Walaupun gerimis, pasar ini tetap ramai di kerumuni ibu-ibu padahal saat ini masa pandemic covid 19, gak ada bedanya . Pelaku pasar sepertinya tak gentar dengan sang Corona, segera kuparkir sepeda ontel kesayanganku di tempat penitipan sepeda, aku belanja sesuai dengan daftar resep yang aku catat dari pelajaran singkat calon mertuaku , plus selancar di internet mencari resep dan cara membuat "Sambalado".
 Ku ubeg-ubeg seluruh pasar untuk menemukan bahan --bahan sesuai resep, Alhamdulillah semua ada, setelah selesai belanja bahan sambalado dan sedikit pesanan mama, langsung aku pulang. Aku gak tahan dengan suasana pasar yang ramai, apalagi saat suasana pandemic covid seperti ini aku harus jaga jarak. Misiku belanja untuk masak Sambalado sebenarnya ini bukan karena aku suka masak, ini semua kulakukan bagian dari usahaku untuk mengambil hati calon mertuaku yang sudah hampir tiga bulan ini datang ke Yogya mengunjungi anak-anaknya yang tinggal di Jogja, yaitu Bang Ulli calon  kakak  ipar  dan Bang Ardan  pacarku yang menetap di Jogja. Gara-gara Corona calon mertuaku harus menahan diri untuk pulang lagi ke Medan, sebetulnya  kunjungan beliau hanya sekitar dua mingguan, rencana akhir maret beliau pulang dan tiket pesawatpun sudah dipesannya, tapi apadaya pandemic melanda, dan penerbangan ditutup sementara sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Begitulah akhirnya calon mertuaku dengan terpaksa tinggal di Jogja sementara waktu menemani kedua anak laki-lakinya.
 Selama di Jogja mamaklah  (sebutan calon mertuaku ) yang memasak makanan sehari-hari mereka  , sesuatu yang membahagiakan bagi Kedua anak laki-lakinya karena mereka dilayani sepenuh hati oleh mamaknya. Biasanya mereka makan diluar atau sesekali kalau aku pas main ke kontrakannya aku masakin nasi goreng ala aku, dengan rasa apa adanya, Dasar anak kos biarpun rasa masakanku amburadul tetap saja disantapnya sampai bersih, tanpa komentar.
Kemarin saat aku asyik mengedit artikel yang akan aku kirim ke penerbit, tiba-tiba Bang Ardan telpon aku memberitahukan mamaknya sakit, dia sedikit khawatir , "Ning..mamak sakit nih, seharian rebahan terus, badannya lemas. Gak mau makan, gak selera dia dengan makanan yang kebelikan di warung" . Â Suara bang Ardan yang panic membuatku jadi gugup. " Beli masakan Padang lah bang" usulku penuh antusias." Â Sudah Ning tapi tetap aja mamak gak mau makan, katanya rasanya gak masuk di lidah mamak".
Waduhh... bagaimana ini aku jadi takut kalau sakitnya berlanjut gak mau makan ntar harus masuk rumah sakit, pikiranku jadi kemana-mana, masalahnya saat pandemic begini pada takut nyambangi rumah sakit, takut terpapar virus corona.
 Semenjak Mamaknya Bang Ardan datang aku jadi jarang main kesana. Ada rasa sungkan dan malu kalau keseringan berkunjung takut dinilai jelek oleh mamaknya bang Ardan, apalagi menurut bang Ardan mamaknya orangnya perfek dan pandai masak pula. Lah sementara aku orangnya begitu apa adanya , simple, jarang masak , lebih banyak beli diluar, sehingga aku tahu  dimana warung makan yang murah dan enak, kebetulan lagi mama juga sibuk dengan jahitannya sehingga tidak sempat mengajari memasak, ditambah  ayah dan kakak laki-lakiku tidak pernah protes dengan makanan yang disajikan dimeja makan oleh mama. Gak peduli itu makanan hasil masakan mama atau beli diluar.
Gaya hidup kami berbeda sekali dengan keluarganya kata Bang Ardan, disana kata pacarku, perempuan itu harus pandai masak, tiap hari harus masak, kakak perempuanya yang tinggal di Medan jago masak, dia andalan mamaknya kalau sedang sakit atau pergi untuk menggantikan tugas masaknya. Mendengar ceritanya, aku agak sedikit keder. Bang Ardan yang tahu kegundahanku langsung menghibur,  " Jangan Khawatir Ning, Abang tetap sayang kok sama kamu, abang terima apa adanya kamu". Lega mendengar apa katanya, karena dia tidak menuntut aku harus seperti mamak atau  kakak perempuannya. Tersadar dari lamunan,kudengar Hp berdering  rupanya  Abang menelfonku lagi.
 " Ning.. Mamak pingin makan Samballado Udang, dia pingin makan itu, sudah lama mamak gak makan itu". Kata Bang Ardan di telpon dengan suara memelas.