Sekilas tidak ada yang aneh dengan pasar Gading di Yogyakarta. Pasar yang terletak di depan Plengkung Gading ini tampak tidak berbeda dengan pasar-pasar sekelas yang lain di Yogyakarta. Dari luar tampak bangunan yang cukup baik dan lingkungan yang bersih. Letak pasar ini pun strategis karena berada di pinggir jalan besar dan ramai. Hanya saja, begitu kita masuk ke dalam pasar, tampak kejanggalan di dalamnya. Pasar ini sangat sepi. Hanya ada satu dua pengunjung yang datang ke pasar. Banyak kios yang tutup meskipun di dalamnya masih banyak barang dagangan atau lapak yang kosong tanpa pedagang. Hal ini sangat kontras dengan pasar-pasar lain di Yogyakarta yang ramai dan hidup. Kondisi ini juga sangat berlawanan dari yang seharusnya mengingat letak pasar yang strategis, lingkungan yang bersih, dan bangunan yang baik.
Muncul rasa ingin tahu dalam pikiran untuk menemukan penyebab kondisi tersebut. Dialog dibangun dengan beberapa pedagang pasar baik di lantai satu maupun lantai dua. Ada pedagang yang mengatakan bahwa pasar ini adalah pasar sore. Namun pendapat ini dipatahkan oleh informasi dari pedagang-pedagang yang lain. Pasar Gading adalah pasar pagi dan kondisinya memang sepi. Kondisi ini sudah berlangsung lama.
Menurut salah satu pedagang, sebelum pasar ini direnovasi, pasar Gading ramai pengunjung. Pasar mulai sepi justru setelah proses renovasi selesai. Ketika diajukan pertanyaan apakah sewa atau harga kios yang terlalu mahal, pedagang tersebut menjawab kios diberikan secara gratis dan pedagang hanya dipungut biaya retribusi harian yang tidak besar. Dengan demikian, asumsi harga kepemilikan dapat dikesampingkan.
Ada pendapat dari pedagang yang mengatakan bahwa mungkin pada saat pasar direnovasi, belum dilakukan prosesi selamatan. Pendapat tersebut mungkin dapat diterima oleh masyarakat awam. Hanya saja, perlu ada pendapat yang lebih masuk akal mengenai penyebab sepinya pasar Gading. Jadi pandangan mengenai belum dilaksanakannya prosesi selamatan dapat dikesampingkan.
Ada salah satu argumentasi yang menarik yang disampaikan oleh pedagang yang lain. Pedagang tersebut mengatakan bahwa pengunjung tidak mau datang ke pasar ini karena barang dagangan yang dijual tidak lengkap. Di pasar ini tidak dijumpai pedagang daging sapi, ikan, dan makanan laut lainnya. Padahal di pasar yang lebih kecil atau pasar jalanan, barang yang dijual justru lebih lengkap. Makanan siap saji yang dijual juga sangat terbatas. Tidak ada jajanan pasar yang cukup representatif untuk pasar dengan ukuran seperti itu. Pengunjung tentu tidak mau datang di pasar yang produknya terbatas dan memilih untuk berbelanja di tempat lain.
Dengan demikian, penyebab permasalahan dapat difokuskan pada masalah produk yang tidak lengkap. Hanya saja, menurut pedagang tersebut, sebelum direnovasi, produk yang dijual di pasar cukup lengkap. Pertanyaannya adalah mengapa pedagang lama tidak mau berjualan lagi di pasar Gading justru setelah pasar direnovasi dan lebih baik. Pedagang tersebut berargumentasi bahwa pedagang kurang sabar dengan kondisi yang ada. Pada awal waktu setelah pasar direnovasi, kondisi pasar masih sepi. Hal itu tentu wajar mengingat diperlukan proses dan waktu agar masyarakat kembali berbelanja di pasar yang baru. Di sisi lain, dengan lokasi yang sangat strategis, proses adaptasi seharusnya tidak berlangsung terlalu lama. Di sisi lain, belum didapatkan informasi yang cukup mengenai aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menyosialisasikan keberadaan pasar Gading yang baru. Akan tetapi, sekali lagi, dengan lokasi yang strategis, semestinya kondisi tidak seburuk itu.
Informasi yang sangat penting justru diperoleh dari perkataan yang diucapkan sekilas oleh salah satu pedagang bahwa dirinya memiliki 5 kios dan anaknya memiliki 3 kios di pasar. Informasi ini muncul di antara keluhan dan kepasrahan di sampaikan olehnya. Informasi ini muncul di antara informasi tentang besaran retribusi yang berbeda-beda karena jumlah kios yang dimiliki juga berbeda-beda. Informasi ini belum dikonfirmasi dengan pihak lain, misalnya pihak manajemen pasar. Hanya saja, jika informasi ini benar, yaitu ada pedagang atau beberapa pedagang dapat menguasai lebih dari 1 kios, hal ini tentu sudah berlebihan. Tidak ada gunanya pedagang memiliki lebih dari 1 kios di pasar yang sama mengingat sebenarnya mereka hanya membutuhkan 1 kios saja per pedagang. Selain itu, kios diberikan secara gratis. Hal ini tentu saja menyebabkan beberapa pedagang lain tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk dan bergadang di pasar. Sekali lagi, jika hal ini benar, kemungkinan lain adalah pedagang yang baru harus menyewa kios ke pedagang yang menguasai lebih dari 1 kios yang sebetulnya disediakan secara gratis.
Informasi ini tentu masih harus didalami dan diverifikasi lebih lanjut mengenai kebenarannya. Hanya saja informasi ini tentu merupakan informasi yang sangat bermanfaat untuk menemukan akar masalah situasi yang berlangsung saat ini. Kondisi ini mungkin terjadi di pasar-pasar lain atau tempat-tempat lain di mana nafsu untuk menguasai lebih dari yang dibutuhkan dapat berakibat buruk secara keseluruhan karena mengurangi kesempatan pihak lain untuk mendapatkannya. Perlu campur tangan pemerintah daerah yang lebih dalam dalam solusi yang inovatif dan tegas untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H