Setiap kali menjelang lebaran, saya suka menengok facebook atau twitter untuk melihat dan membaca serunya perjalanan mudik dan persiapannya. Termasuk keluhan dari ibu-ibu yang juga bekerja karena harus merelakan si bibi pulang kampung. Tak ketinggalan juga trik dan tip agar mereka tidak terlalu repot tanpa pembantu. Setiap lebaran selalu datang masalah yang sama, topik pembicaraan yang sama. Bikin saya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Hal-hal yang dilakukan untuk bisa berlebaran di rumah membuat saya sedikit merasa sedih dan rindu rumah saya.
Saya sudah lama berlebaran jauh dari rumah. Dimulai sejak saya bekerja sebagai awak kabin di sebuah perusahaan penerbangan nasional yang tentunya tidak memiliki jam kerja yang tetap. Saat itu saya bersyukur bila bisa berlebaran di Indonesia dan bisa pulang ke rumah pada hari ke dua lebaran. Hal ini berlanjut hingga saya berkeluarga dan memutuskan untuk mendarat.
Saat saya masih bekerja sebagai awak kabin, waktu puasa saya tak pernah tentu. Masih lebih mudah bila jadwal penerbangan saya hanya domestik, tapi untuk penerbangan internasional jadwal puasa mulai berantakan. Terkadang puasa menjadi lebih pendek, atau sebaliknya malah membuat semakin panjang. Hal ini disebabkan kita melewati wilayah waktu yang berbeda.
Ada pengalaman lucu ketika kita berlebaran jauh dari rumah. Saat itu kita mendarat malam hari, dan kita semua lupa untuk merubah alarm dan jam tangan kita sesuai waktu lokal. Kita semua tahu bahwa besok adalah lebaran, dan kita semua berencana untuk sholat Ied pada jam 7 pagi. Keesokan harinya kita semua turun ke lobby hotel dan saat itu kita baru sadar bahwa waktu lokal adalah jam 9 pagi. Akhirnya dengan penuh kecewa kita kembali ke kamar masing-masing.
Saat ini saya pun masih berlebaran jauh dari rumah. Keputusan untuk pindah menetap dan bekerja di negara lain, membuat saya harus menerima resiko berlebaran jauh dari rumah. Tanpa si bibi, mudik, dan THR. Tanpa si bibi mudah dilakukan, karena pada dasarnya sehari-hari pun tidak ada pembantu. Mudik dan THR karena sudah biasa tidak ada, tidak pernah merasa kehilangan.
Yang membuat terasa jauh dari rumah yang pertama adalah waktu libur, perusahaan tempat saya bekerja memberikan Personal Care Day off  bagi pegawainya sebagai Religion day sesuai kepercayaan masing-masing. Karena itu kabar mengenai ketetapan 1 Syawal sangat penting bagi saya, karena saya harus menandai hari tersebut sebagai out of office di kalendar saya sebelum orang-orang menjadwalkan meeting.
Yang kedua adalah malam takbiran yang sepi. Tidak ada suara takbir dari mesjid dekat rumah dan anak-anak yang berkeliling meneriakan takbir. Terkadang saya menangis dalam hati merindukan mendengar suara takbir, suasana, dan bau masakan dari setiap rumah untuk lebaran. Walau terkadang saya merasa seperti mendengar suara takbir, dan saya tahu itu tak mungkin.
Sekarang saya sedang sibuk membuat penganan kecil untuk berlebaran. Mencoba melakukan hal-hal kecil yang biasa kita lakukan di Indonesia saat menjelang lebaran, adalah salah satu usaha agar bisa membangkitkan suasana yang semoga sama. Jauh dari rumah bukan berarti rumah jauh dari hati kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H