Mohon tunggu...
puputwahyu
puputwahyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Masyarakat Pada Tradisi "Langkahan" Dalam Pernikahan

18 Oktober 2024   20:10 Diperbarui: 18 Oktober 2024   20:24 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

           Setiap daerah di Indonesia memiliki keberagamannya masing-masing, baik bahasa, suku, ras, adat istiadat, dan budaya. Perbedaan budaya menjadikan Indonesia melahirkan persatuan dalam sebuah keberagaman di masyarakat. Aturan dan hukum adat di Indonesia masih dipegang teguh dan diwariskan secara turun -temurun. Meskipun pada era ini sudah banyak aturan dan hukum adat yang hilang karena arus globalisasi maupun karena adat tersebut merugikan sebagian masyarakat. Menurut Marwanti, manusia adalah makhluk yang selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan saat ini. Saat ini banyak anak muda yang meninggalkan atau melanggar aturan-aturan adat karena menurut mereka aturan tersebut tidak memiliki sangkut paut dengan kehidupan mereka, biasanya mereka menyebut dengan kata "mitos".

            Salah satu budaya atau aturan yang masih dipegang oleh orang tua di masyarakat adalah adat pernikahan dan aturan ketika akan melakukan sebuah pernikahan. Aturan dan adat pernikahan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat dari daerah lain pastinya memiliki perbedaan. Pada suatu daerah ataupun pada suatu keluarga yang masih menjunjung tinggi aturan adat sebelum melangsungkan pernikahan pastinya berbeda. Salah satu aturan adat di daerah saya yaitu calon pengantin perempuan/laki-laki yang akan melangsungkan pernikahan namun calon pengantin memiliki saudara perempuan diatasnya yang belum menikah, maka harus mengikuti prosesi upacara adat "Langkahan" .

            Upacara adat "Langkahan" dilakukan dengan maksud pasangan pengantin meminta izin dan restu kepada sang kakak untuk dilangkahi atau didahului, tujuan upacara adat ini bertujuan agar pernikahan calon mempelai diberikan kelancaran dan keberkahan dapat menjalani kehidupan berumah tangga. Pada prosesi "Langkahan" calon pengantin memberikan uang atau barang kepada kakak/saudari dengan tujuan untuk menghindari adanya rintangan dalam kehidupan berumah tangga atau bahkan diyakini agar calon pengantin tidak celaka ketika sudah menikah.

            Tradisi atau adat "Langkahan" juga dilakukan di Desa Baujeng, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Penelitian ini dilakukan oleh Ike Nur Halimah dalam skripsinya yang berjudul "PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP TRADISI PEMBERIAN LANGKAHAN (Studi di Desa Baujeng Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan). Tradisi "Langkahan" di Desa Baujeng ini secara turun temurun dilakukan oleh nenek moyang yang diwariskan kepada masyarakat. Tradisi yang dilakukan di Desa Baujeng, calon pengantin membayar denda kepada kakak/saudarinya yang diarahkan oleh tokoh adat. Maksud dari membayar denda tersebut sebagai doa supaya kakaknya cepat mendapatkan jodoh. Denda yang harus diberikan kepada kakak/saudarinya yaitu seperangkat alat sholat, kain, pisau, dan baju. Benda-benda yang diberikan tersebut dapat diartikan sebagai doa. Apabila tradisi tersebut dilanggar maka keluarga pengantin akan dikenakan sanksi.

            Tradisi "Langkahan" ini umumnya dilakukan kepada kakak perempuan karena perempuan umunya yang dilamar bukan yang melamar. Berbeda jika adik yang melangkahi kakak laki-laki nya, maka tidak perlu melakukan tradisi "Langkahan" karena masyarakat menganggap bahwa laki-laki kodratnya adalah melamar. Tradisi atau adat "Langkahan" ini pastinya memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya yaitu melestarikan budaya nenek moyang. Sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat berdampak pada psikologis dan sosiologis anak yang dilangkahi.

            Dampak negatif yang seringkali dirasakan terhadap kakak/saudarinya adalah rasa malu, karena sang kakak dilangkahi oleh adiknya, tentu kakaknya merasa malu karena dianggap tidak laku dan kalah dengan sang adik yang mendapatkan jodoh yang lebih dulu dari adiknya. Kakak yang dilangkahi sang adik dapat merasa depresi dan malu karena dirinya tidak laku dan merasa bahwa dirinya jelek. Belum lagi mitos yang ada di masyarakat bahwa yang dilangkahi akan mendapatkan jodohnya lama dan mengalami kesialan dalam percintaannya.

            Meskipun begitu, ada kakak yang memang ikhlas untuk dilangkahi adiknya karena dia memang belum siap menikah, bisa juga karena sang adik ingin segera menikah karena tuntutan dari calonnya. Kakak/saudari yang ikhlas sebenarnya merasa baik-baik saja, tetapi pandangan masyarakat lah dapat yang membuat negatif. Masyarakat pastinya akan merasa kasihan kepada kakaknya/saudarinya. Masyarakat memiliki perspektif jika anak yang dilangkahi akan susah mendapatkan jodoh. Perspektif negatif masyarakat inilah yang membuat kakak/saudari yang dilangkahi menjadi minder dengan dirinya sendiri. Sebagai generasi muda terutama generasi Z, sudah sepatutnya kita untuk menormalisasikan kakak perempuan yang dilangkahi oleh adiknya tanpa memandang negatif hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun