[caption caption="Sumber Gambar: Kompas.com"][/caption]Pada bulan November tahun 2008, seorang pria bernama Joko Suprapto menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bantul, dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara. Joko disebut melakukan penipuan terhadap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) terkait temuannya yang diklaim sebagai bahan bakar alternaltif ramah lingkungan yang bersumber dari air laut, dan dapat dijual seharga Rp 3000 / liter. Inti dari penemuannya adalah, metode penyulingan air menjadi hidrogen. Ia menjanjikan semuah pembangkit listrik tanpa BBM berkapasitas 3 mega watt yang diberinama "Jodhipati".
Kampus UMY yang tertarik lalu memberikan investasi dengan total kira-kira 1,345 Milyar Rupiah. Namun, sampai batas waktu yang dijanjikan, proyek tersebut tidak terealisasi. Kemudian atas penipuan tersebut, ia dituntut 4 tahun penjara dengan dasar pasal 64 ayat 1 KUHP tentang pelanggaran. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.
Sekarang, muncul orang yang menklaim membuat EEG hanya dengan berbekal mainboard CD-ROM.
Tentu, kalangan akademisi tidak mau kecolongan lagi. Makanya, saya maklum kalau mereka yang merasa "punya ilmu" di bidang terkait memberikan analisa skeptisme. Wong satu kampus aja bisa dibohongi kok, apalagi cuma rakyat biasa yang cuma simpati tanpa objektifitas. Kalau ternyata palsu, dan padahal sudah menandatangani kontrak kerjasama (katanya Kemenristek tertarik), para simpatisan juga bertanggung jawab akan hal itu. Ini gak cuma masalah uang, tapi masalah nama baik.
MENGHARGAI IDE, BUKAN KARYA
Dukungan simpatisan selalu klasik, "orang indo gak mau menghargai semangat", "dia cuma pengen bekerja". Iya, akademisi juga tau. Namun, dukungan itu cuma membabi buta. Akademisi menghargai kok, semangat dan kreatifitas Om Tawan, tapi kalau barangnya, belum bisa. Sekali lagi, yang dihargai itu IDE dan SEMANGAT, bukan KARYA. Baik Tawan maupun Joko, memiliki dasar yang ilmiah, tidak mustahil dibuat. Namun eksekusinya? belum tentu.
Bagaimanapun, kebenaran perlu ditegakkan, kebohongan kok diapresiasi. Kalau lengan robotnya memang dibuat dengan cara ilmiah, ya harus dibuktikan dengan cara yang ilmiah pula. Dari dulu memang seperti itu cara ilmu pengetahuan bekerja. Saya maklum kalau para simpatisan yang tinggal pakai produk pengetahuan, gak tau proses di belakangnya. Kalau memang terbukti ya sudah, tapi kalau tidak? Anda turut andil dalam usaha penipuan. Para akademisi terbuka kok dengan segala pemikiran dan penemuan apapun. Dengan catatan selama logis, dan bisa dibuktikan.
MENGKRITIK DAN MENCEMOOH
Patut diketahui, mengkritik dan mencemooh itu beda. Kritik, itu memiliki argumen. Mereka yang skeptis selalu memberikan bukti-bukti dan logika ilmiah yang mendukung. (Is being skeptical considered as an attack?) Sebaliknya, mencemooh tidak memiliki argumen. Ya cuma mengolok olok.
YANG SEHARUSNYA DIABAIKAN ITU CEMOOH, BUKAN KRITIK / ANALISIS.
"Sama aja kalau kritiknya gak membangun."
Well, kritik emang gak perlu membangun, itu kalau Anda masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia.
Lagipula, Om Tawan sendiri juga tidak defensif kok. kalau banyak orang meragukan, harusnya dia menjelaskan bagaimana alatnya bekerja secara ilmiah, gak cuma jelasin fungsi bagian-bagiannya. Kalau betul minim ilmu dan cuma belajar dari internet, tinggal bilang "cari aja di youtube / google mas, keywordnya ini." Selesai. pasti ketemu. lebih argumentatif daripada bilang "gak mau bahas teori", atau "saya cuma orang bodoh."
nah sekarang, gambar di bawah ini. Mana yang mengkritik / analisa, mana yang mencemooh ?
MEMBANDINGKAN DENGAN KH. Fahmi Basya
KH Fahmi Basya menklaim kalau Candi Borobudur dibuat oleh Nabi Sulaiman. Bahkan mulai memiliki pengikut! Kenapa ditertawakan? Kenapa gak ada yang membela bapak ini dan kelompoknya? Apakah karena ia tidak cacat? Hidupnya kecukupan? Karena gelarnya? Loh, terus sebenarnya Anda simpati karena lengan robotnya, semangatnya, atau sekedar mengasihani kecacatan beliau? Dumeh katanya cacat, pasti dia benar? Itu sama saja dengan istilah "semakin miskin semakin benar, semakin kaya semakin salah" kalau di kecelakaan lalu lintas.