Mohon tunggu...
ripana puntarasa
ripana puntarasa Mohon Tunggu... -

aktif dalam kerja perkuatan keberdayaan masyarakat dan jejaring kerja peneguhan kedaulatan rakyat. bersastra sebagai bagian ekspresi hidup sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kepada Sahabat (Yang Dalam Kearifannya telah Mengirim Salam dan Pamitan)

15 Maret 2013   16:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:43 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sedulur kinasih,

Ada kisah santai yang sampeyan tuturkan tentang suara nyanyian burung-burung menyapa pagi dari sisa-sia pepohonan Jakarta. Satu-dua mereka hadir selintas dan menari-nari pada cabang dan ranting rerimbun kecil yang kita pelihara: pohon mangga yang selalu ditebas dari besar tumbuhnya, kemboja kuning yang menjulang tapi tidak cukup perakarannya, pohon salam yang menyubur pada pot kaleng bekas kemasan cat tembok yang mengerangkeng perakarannya, pohon-pohon palem yang kurus sampai layu mengering pelepah dan dedaunnya, beberapa anthurium yang menyubur oleh tipu-daya humus buatan berwadah tembikar dan plastik. Sampai kemarin pada minggu sore yang ditempa gerimis sampeyan pun menyampaikan kabar kecewa, perihal orang-orang yang leluasa hilir mudik menenteng senapan angin berburu dan menembaki burung-burung. Beberapa pasti terkapar mati dan pindah kepenggorengan. Selebihnya pasti terusir takut menggelepar terbang di sisa sembunyi rerimbunan atau terbang melangit. Entah kemana.

Entah kemana... Ya: “Entah kemana.” Tetapi itu tentu bukan untuk sampeyan, sahaya dan kita-kita. Walaupun kita dalam cara pandang dan penglihatan orang-orang pun sering pula disebut dengan “entah kemana” itu. Bumi, Langit dan Alam Raya memiliki keluasannya. Dalam batas pijak dan ayun langkah yang ada, keleluasaan itu diruangi dalam arung bebas merdeka. Bebas merdeka atas segenap pilihan dan pengharapan yang pasti nanti dia juga dibatasi oleh ruang-ruang pencapaian.

Sedulur,

Kita sama-sama memahami perihal ruang dan arung bebas kemerdekaan itu. Saat ini pula kita juga sama-sama mengerti pepatah tua dari moyang desa kita: “Yen pancen wis dadi karep-lakumu, ngger. Poma-dipoma laju lumampah tan kena mangu-mangu. Ojo mandheg mayong, apa maneh tumoleh-tumengo marep memburi.”

Cakrawala bentangnya memang luas sekali, dari arah terbit matahari sampai terbit matahari kembali dan berhias kerlip bintang-gemintang yang selalu memberi tanda dan arah jika kita menghendaki. Burung-burung elang dari berbagai jenis dan kebangsaan elangnya tidak pernah ada keraguan melakukan arung langit dan perburuan hidup. Sampai pada waktunya hinggap bersama, sudah ditahu pada belantara dimana dan julangan tajuk yang mana perjumpaan pasti terselenggara.

Dalam kepahaman sahaya, hal ini bukan semata soal Damar Wulan, Hurubisma, Kencana Wungu, Anjasmara, Wahita-Puyengan, Logender ataupun Layang Seta-Kumitir. Bukan juga soal perhelatan adu jengkerik ataupun adu balap keong melawan si kancil. Ini sahaya lebih menandai sebagai soalnya Sri Rahwana yang menyikapi hegemoni Ayudya pala. Menyangkut Selatan menyikapi hegemoni Utara. Ini juga soal Sri Prabu Watugunung di Rajegwesi yang dicemburui Sri Wisnu dan Suralaya. Sebab dengan mengawini Bunda Pertiwi dan Bunda Lautan, Sri Watugunung telah membangun 27 pasukan sehingga menjadi 30 daya yang menggemparkan. Ini bisa juga sahaya sebut mengenai perjalanan Aji Saka menentang cakrawala pandang dan menyudutkan Dewata Cengkar atas pembunuhan ruang tumbuh bagi suatu generasi yang berhak atas suatu masa yang lebih panjang bagi pelestarian perikehidupan bersama. Namun juga, terkadang, hal demikian ini sahaya pahami sebagai bongkahan batu padas yang lepas dari ikatan tebing gersang, menggelinding menghamburkan lapisan tanah dan debu untuk menghentakkan kesadaran, bahwa kesuburan ini ada dan menjadi hak bersama atas kehidupan.

Saudaraku,

Tidak ada kehendak sahaya mengakhiri perbincangan kita, sebab perbincangan ini memang harus tidak selesai di sini sahaja. Telaga yang jernih itu, rerimbun daun dan pepohonnya mesti dipelihara. Umbul dan Mata Air dengan kehangatan jernih alirannya selalu ditunggu hadir dan sapaannya. Semoga di Tajuk Belantara Raya yang telah dijanjikan dan dipastikan adanya, kita dalam keselamatan dan kesehatan untuk berjumpa dan bercengkerama.

Salam sahaya untuk keluarga dan suatu masa yang selalu menyata hadirnya.

(Jakarta, 27 Des 2011)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun