Mohon tunggu...
MUH. ALI AKBAR
MUH. ALI AKBAR Mohon Tunggu... -

Aku mahasiswa jurusan Geografi Universitas Negeri Makassar ank. 2006. Seorang yang Aktif , inovatif, menyukai hal-hal yang sastrawi puitik pembebasan dan progresif, kritis dan berkepribadian yang unik. Aku konsen menangani bisnis dan mengajar privat serta aktif pula di dunia Lembaga Kemahasiswaan UNM, organ ekstra dan organisasi keISLAMan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UU Pendidikan; Mestikah Produk Akal Manusia?

9 September 2011   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:06 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering



Oleh : Muh. Ali Akbar*

Fenomena aksiologis yang merisaukan saat ini adalah kenyataan terjadinya praktik Kapitalisasi dan Komersialisasi Pendidikan. Fenomena itu adalahdampak reflektif atau konsekuensi pragmatis dari kebijakan kapitalisasi pendidikan yang ditelurkan dan dipraktikkan oleh pemerintahhingga berefek sampai pada institusi dan Birokrasi Perguruan Tinggi.

Kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan termanifestasikan dengan adanya upaya Pemerintah untuk “cuci tangan” dengan melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendidikan, termasuk pada aspek pembiayaan. Ketika pendidikan diserahkan kepada publik, pendidikan tak lagi terpraksisikan senafas dengan amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun lebih dominan aspek komersialnya. Hal ini tercermin dalam beberapa regulasi pendidikan di jenjang perguruan tinggi, misalnya, berbagai peraturan pemerintah (PP) seperti PP Nomor 60/1999, PP 61/1999 tentang Penetapan PT sebagai Badan Hukum, kemudian PP 152/2000, PP 153/2000, PP 154/2000 dan PP 06/2004 tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN), adalah realitas konkrit i’tikad pemerintah yang kehilangan fungsi transformatordari aspirasi untuk meringankan beban masyarakat dan rendahnya political wilyang mereka miliki. Perubahan status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi BHMN menjadi penyebab PTN menaikkan biaya pendidikan terhadap masyarakat, konsep otonomi ini sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun yang sudah dijalankan oleh beberapa PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan Unair) yang pada tataran praktis akan sejalan dan selangkah dengan UU BHP setelah sebelumnya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 di atas Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan UU BHP, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, sehingga Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan BHP ini yang telah menuai reaksi cukup keras dari masyarakat kini pun telah disahkan. Prinsip-pripsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, dalam esensi dan eksistensinya sebagi problem yang minus solusi, hal ini kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk. Di sisi lain, adanya BHP ini dimaksudkan oleh pemerintah akan bisa meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan kita seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Namun, benarkah demikian ataukah malah sebaliknya?

Jawaban dari problematika yang kian membelit pun bermunculan sebagai konsekuensi dari disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, salah satunya adalah dengan akan dijadikannya lembaga pendidikan menjadi subyek pajak. Karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan yang kelak akan berubah nama menjadi badan hukum pendidikan akan dikenai pajak. “Saya belum cek ke Dirjen Pajak, tapi katanya bakal ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di hadapan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Jakarta, Jumat (16/1) siang. Belum dipastikan jenis pajak yang akan dikenakan kepada badan hukum pendidikan (BHP). Khusus untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang umumnya memiliki areal tanah yang luas, menurut Mendiknas, status tanahnya milik negara yang ditangani Departemen Keuangan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk PTN akan ditangani khusus Departemen Keuangan. Tampaknya pendidikan sudah bukan lagi tanggung jawab negara, tetapi menjadi lahan berbisnis yang potensial, bahkan dikenakan pajak pula.

Selain itu, prinsip kemandirian dan otonomi dalam pendidikan memang berpotensi besar untuk bisa menciptakan pendidikan dengan efisiensi, kualitas, kredibilitas dan profesionalisme yang mumpuni apabila hanya ditinjau secara sekilas. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya untuk memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan srategi yang telah dirancang masing-masing. Selain itu, penyelenggara pendidikan pun akan terlepas dari hambatan akan adanya formalitas birokrasi yang berbelit-belit dengan segudang tetek bengeknya sebagaimana menjadi fenomena umum saat ini. Namun, apabila ditinjau konsep otonomi tersebut secara makro, tentunya memberikan indikasi akan adanya upaya terselubung pemerintah untuk menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 20 persen untuk pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi Negara kita. Karena dalih kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga akan berekses sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Nuansa tersebut sebagai bentuk liberalisasi dan kapitalisasi semakin nyata ‘akarnya’ di dunia pendidikan kita. Upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Eksesnya tercermin dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas). Selaku ibu kandung UU BHP, UU Sisdiknas menunjukkan adanya pengurangan intensitas kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam UU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Pada Pasal 36 Ayat (1), secara gamblang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. Hal itu juga yang terkuak dalam pasal sebelumya yang kurang lebih mempunyai nuansa yang sama, yakni dalam Pasal 1 Ayat (1) BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Selain itu, berikutnya dalam Pasal 2 BHP, di situ disebutkan adanya prinsip nirlaba yang penampakannya non-profit namun penuh kelicikan, karena sebenarnya akan lebih cenderung menjadikan lembaga pendidikan seperti LSM/NGO yang lebih sarat profitisasi atau pencarian laba. Dengan prinsip ini, Perguruan Tinggi akan mendapat suntikan dana dan program dari para Kapitalis yang juga tidak terlepas dari semangat untuk mencari keuntungan demi kepentingan pribadi. Hal ini sejalan dengan prinsip Partisipatif, masih dalam pasal yang sama, yaitu melibatkan "para pihak yang berkepentingan" dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama "para pihak yang berkepentingan". Pihak yang berkepentingan (kapitalis) akan diberi kebebasan mengintervensi dan bahkan bisa sampai mereduksi nilai-nilai pendidikan agama dan kultur lokal negeri ini.

Prinsip otonom, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, sehingga mampu menjalankan fungsinya secara kreatif. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, sesungguhnya hanya akan membuka intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui kordinasi terlebih dahulu dengan Rektor. Selain itu, Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia". Pasal ini memberikan ruang kebebasan kepada sekolah internasional untuk beroperasi semaunya, dan disesuaikan dengan pemikiran dan nilai-nilai mereka yang nantinya akan semakin subur dan bertambah cepat di negeri ini seperti sekularisme/liberalisme. Selain itu, dalam BHP, BHP memiliki Majelis Wali Amanat (MWA)./// MWA adalah lembaga tertinggi yang menetapkan dan mengesahkan kebijakan dalam BHP. Tentu, MWA ini akan gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba akan menjadi subur. Nuansa pengendalian kampus oleh pihak kapitalis semakin dikukuhkan dengan adanya aturan dalam pasal 10, ayat (8), yang mengharuskan ketua MWA berasal dari masyarakat (yang sejatinya para kapitalis), bukan dari pihak kampus. Bukan itu saja, menurut mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, SH, berbagai program pendidikan yang terkandung dalam BHP diduga merupakan proyek Dikti melalui IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaan program ini melalui pinjaman dari Bank Dunia yang tentunya, arah pendidikan bisa jadi bakal tidak selaras lagi dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia (Jawa Pos, 11/03.07). Dengan demikian, tak disangsikan lagi bahwa BHP adalah perangkat undang-undang yang akan semakin memantapkan dominasi liberalisme dan kapitalisme di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana pemerintah tak lagi berfungsi sebagai “pemain kunci” tapi lebih berperan sebagai penonton. Kapitalisasi, akan berimplikasi pada semakin mahalnya pendidikan. Pendidikan akan lebih berorientasi pasar, terikat pada hukum supply-demand, dan cenderung berburu rente (rent seeking). Pendidikan hanya bisa diakses oleh komunitas “parlente” dari masyarakat. Orang miskin, akan tetap terpenjara dalam kebodohannya dan terkungkung oleh kemiskinannya sebagai produk pemiskinan dan pembodohan turunan dari struktur status quo saat ini. Dalam bahasa Eko Prasetyo “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.

Kemudian, permasalahan lain yang perlu dicermati dan ditelaah lebih jauh adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dalam menjalankan ”provitisasinya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin keberhasilan hanya akan merapati institusi yang punya manajemen yang sangat mumpuni, lain halnya dengan institusi yang ”provitisasinya” tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena hanya dengan mengandalkan ”provitisasinya” tidak akan memberikan jaminan kecukupan. Walhasil, institusi pendidikan bersangkutan haruslah mahir memeras otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen, sehingga berpijak dari realitasitulah BHP bukan tidakbisa diindentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang akan berimplikasi terjadinya ekses komersialisasi pelayanan pendidikan yang akan sulit terhindarkan. Di kebanyakan negara, University Coorperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi akivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata. Sebagai konsekuensi, yang ada adalah uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi yang harus dipikul seorang mahasiswa yang ingin masuk, biaya tinggi pengelolaan operasional, dan penerimaan mahasiswa melalui “jalur khusus” yang seolah berarah pada komersialisasi berlebihan. Fakta sekarang pun membuktikan bahwa meskipun pemerintah telah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih terasa mahal dan berat bagi beberapa kalangan mahasiswa. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi kurang mendapat pemasukan? Oleh karena itu, tambahan biaya baik dari masayarakat atau mahasiswa sendiri bisa menjadi alternatif bagi perguruan tinggi untuk bertahan, minimal untuk mempertahankan mutunya agar tidak pailit.

Peliknya problematika ini memberikan gambaran semrawutnya kebijakan yang ditelurkan oleh para stakeholder konstitusi negeri ini, oleh karena itu penulis bertutur dalam tulisan ini bahwa BHP adalah sebuah solusi yang pragmatis-tendensius karena banyaknya variabel yang menungganginya. Tentunya dalam perspektif kita selakumahasiswa, menginginkan agar pendidikan kita murah atau bahkan gratis untuk bergerak sinergis dengan kualitasnya, tapi kalau tujuannya adalah peningkatan profesionalisme pendidikan sementara biaya mahal bagaimana? Dalam teori Pemerintah kita menginginkan peningkatan profesionalisme pendidikan,, tetapi berlepas tangan dari tanggung jawabnya dengan memberikan hak istimewa kepada lembaga Asing untuk mengutak-atik pendidikan kita, seperti World Bank dan International Monetary Fund dengan beberapa pesanannya? Hal ini sebagaimana yang dikatakan H.A.R Tilaar bahwa sebenarnya BHP tak lebih sebagai bagian dari representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. World Bank dan International Monetary Fund dituding berada di balik rencana ini. "Ini jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar.

Problematika yang kurang lebih serupa juga terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) pada akhirnya menjadi kilah pemerintah untuk tidak lagi membiayai pendidikan bagi rakyat secara optimal. Kebijakan ini amat memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Sehingga untuk bisa menempuh pendidikan tinggi dan bermutu karena biayanya yang tidak terjangkau oleh finansial mereka menjadi lingkaran setan yang memenjarakan mereka dalam pemiskinan dan pembodohan struktural. Akibatnya, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh kalangan tajir saja.Konsekuensi lain, selain komersialisasi pendidikan, yang timbul dari kapitalisasi pendidikan adalah sekularisasi pendidikan. Terjadi pendikotomian antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Hal itu jelas tersurat dan tersirat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dikotomisasi tersebut terbukti telah gagal melahirkan generasi yang berkepribadian tangguh. Sebaliknya, perilaku rusak lebih banyak dipertontonkan oleh pelajar dan mahasiswa. Banyaknya pelajar yang terlibat pergaulan dan seks bebas, aborsi, narkoba, dan berbagai kasus kriminal dan deviatif menjadi bukti kegagalan itu. Output yang dikeluarkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada juga tak lebih dari manusia-manusia individualis, meterialis dan sekuler. Sebagian besar dari mereka sangat minim dengan wawasan kehidupan yang diperlukan untuk menuntun mereka agar hidup layak sebagai manusia yang memanusia.As a consequence, degradasi moral menjadi fenomena laris di negeri ini. Bukan mustahil penulis pun termasuk di dalamnya.


Pendidikan Gratis, Utopis?

Senagaimana yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4), (Kompas,18/04/05). Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), "Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat". Suratan di atas tentunya memupuskan mimpi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan gratis, bahkan untuk tingkat dasar saja, pemerintah belum sanggup. Apalagi untuk tingkat menengah dan tinggi. Hal ini ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Inilah salah satu dalih yang kemudian mendasari pemerintah untuk berlepas dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan nasional. APBN kita defisit. Anggaran pendidikan yang seharusnya 20 % APBN, ternyata hanya 9,1 % saja. Itulah sistem kapitalisme yang telah dipaksakan di negeri yang mempunyai kekayaan alam dan SDA terbesar di dunia ini. Seharusnya, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batubara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Namun nyatanya bangsa kita terbelit kemiskinan di tengah limpahan kekekayaan alamnya. Sesungguhnya, negeri ini akan adil, makmur, dan sejahtera jika pemerintahnya bersikap tegas dan tidak mau menjadi budak para imperialis-kapitalis yang dikomandoi oleh AS dan komprador-kompradornya yang menginfiltrasi di segala lini. Tambang emas, batu bara, minyak bumi, hutan, kekayaan alam lainnya, jika tidak dipersembahkan kepada para penjajah, akan menjadikan kas negara surplus. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Pendidikan gratis di Indonesia bukanlah mimpi apalagi utopis. Semuanya dapat kita gapai tanpa harus menjual dan menggadaikan negeri kita kepada pihak asing dan para kapitalis.

Bertumpu dari idealitas prinsipilnya, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah/Imam) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis. Tibalah saatnya seluruh elemen masyarakat terkhusus kita selaku Mahasiswa untuk menyuarakan Pesan-pesan kebenaran universal kepada pembesar-pembesar negeri ini. Bahwa pendidikan seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. agar tersadar dari hipnotis Kapitalisme dan terbangun dari pembaringannya di atas tahta Neo Imperialisme.

Memetik hikmah dari UU BHP dan juga beberapa UU lainnya, semakin nyata liberalisasi di berbagai sektor kehidupan, di negeri ini termasuk pendidikan. Harus diingat, liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk campur-tangan Tuhan dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan Undang-Undang Tuhan oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Para anggota DPR dan pihak terkait pun memiliki otoritas konstitusional untuk membuat Undang-undang yang mereduksi hingga pada aspek kebijakan yang berkenaan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Konsekuensi logis dari itu semua akhirnya melahirkan peraturan dan kebijakan yang deviatif karena secara Fitrawi berasal dari akal manusia yang tidak terlepas dari keterbatasan, kepentingan pragmatis yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang masa lalu personalnya, cenderung terpengaruh dan ikut terhadap arus situasi dan kondisi. Efek yang ditimbulkannya pun tak sesuai dengan fitrah manusia, tidak memuaskan akal, dan tdak memberikan ketenangan hati. Realitas negatif tersebut tampak dari keberadaan Undang-undang yang selalu berubah-ubah hingga amandemen sebagai “jurus andalan” pemerintah tak jarang selalu menjadi ritualisme sebelum disahkannya UU terkait, setelah disahkan pun tak jarang mesti ditinjau kembali dengan Hak Judicial Review yang selalu dilayangkan oleh anggota DPR, materi hukum yang telah dilegislasi karena dianggap telah memenuhi kriteria kebenaran bisa jadi hanya sesuai dengan waktu dan kondisi ketika UU tersebut dibuat dan pada waktu dan kondisi yang lain bisa jadi tidak relevan lagi.Relativitas UU yang bermunculan kian menyibak tirai kekurangan dan kerusakan Produk Hukum buatan manusia. Dengan demikian pada siapakah kita mesti mempercayakan otoritas untuk membuat hukum yang kebenarannya tak lapuk termakan zaman karena sifat ke-azaliannya sesuai dengan kondisi dan sepanjang zaman kehidupan manusia, atau mestikah kita sependapat dengan statement Pradana Boy ZTF bahwa Tuhan hanya berposisi layaknya sebagai pembuat Jam yang berlepas diri dari jam yangdibuatnya kemudian membiarkan jam yang telah diproduksinya tersebut berjalan sebagaimana adanya. Namun benarkah Tuhan hanya menciptakanManusia dan Alam Semesta dan tidak memberikan peraturan atau penuntunagar ciptaannya berjalan sebagaimana mestinya? Atau analogi layaknya pembuat jam tadi telah menemukan relevansinya? Atau mestikah kita terhipnotis dengan pahaman plato tentang hukum : “Tidak ada hukum atau aturan yang lebih hebat daripada pemahaman” lantas apa yang dapat menjamin bahwa setiap orang mempunyai pemahaman yang sama tentang suatu hukum?Sepertinya menjadi niscaya bagi setiap kita untukkembali memahami pesan transendental-substantif berikut ini ; Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS [5]: 50). Relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Louis D Brandeis, Hakim AgungAmerika Serikat bahwa “Jika kita menginginkan agar hukum dapat dihormati, maka terlebih dahulu kita harus membuat hukumyang dapat dihormati” namun, mestikahkita menghormati hukum yang diproduksi oleh manusia yang tak menghormati Tuhannya sendiri?

* eks Presiden Mahasiswa  BEM UNM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun