Mohon tunggu...
MUH. ALI AKBAR
MUH. ALI AKBAR Mohon Tunggu... -

Aku mahasiswa jurusan Geografi Universitas Negeri Makassar ank. 2006. Seorang yang Aktif , inovatif, menyukai hal-hal yang sastrawi puitik pembebasan dan progresif, kritis dan berkepribadian yang unik. Aku konsen menangani bisnis dan mengajar privat serta aktif pula di dunia Lembaga Kemahasiswaan UNM, organ ekstra dan organisasi keISLAMan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kembali Meretas Kultur Baca Mahasiswa

9 September 2011   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering



Oleh : MUH. ALI AKBAR*


Semenjak citra pembebasan dari ‘sedikit ilmu’ tak lagi mengiringi realitas Mahasiswa kini, Kultur Baca mesti menjadi afirmasi (penegasan). Sebagai bentuk panggilan dari realitas alias kenyataan. Dalam pengucapan yang mungkin tidak sulit bisalah dikata: Interpretasi subjek atas objek. Dan yang menjadi objek dalam konteks begini adalah realitas internal plus realitas eksternal subjek Mahasiswa. Maka, kehadiran afirmasi kultur baca merupakan representasi kesadaran atas realitas yang dimaksud. Tradisi ini perlu untuk kembali meradikalisasi kesadaran kritis menjadi tumpuan gerak.

Karenanya perlu untuk memahami bahasa Hernowo lewat bukunya “Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza”, gizi membaca buku melebihi ceramah atau hal-hal lain yang diperoleh dari telinga (mendengar) dan mata (melihat). Sebab, hanya lewat membaca bukulah kita mampu menumbuhkan saraf-saraf di kepala kita. Manfaat lainnya yang bisa dipetikadalah seseorang akan tetap dan aktif berpikir. Sebagaimana seorang peneliti dari Hanry Ford Health System bernama Dr. C. Edward Coffey, membuktikan bahwa hanya dengan membaca buku, seseorang akan terhindar dari penyakit demensia. Demensia adalah nama penyakit yang merusak jaringan otak. Apabila seseorang terserang demensia, dapat dipastikan akan mengalami kepikunan atau dalam bahasa prokem disebut tell me/telmi alias telat mikir.

Demikian manfaat membaca di atas kelihatannya bisa menjadi pemantik motivasi sekaligus sebagai sarana alternatif memahami kondisi Mahasiswa di saat sekarang. Di kala hasrat euforia virus abstrak telah menggejala di mana-mana. Virus yang abstrak kumaksud adalah virus hedonisme dan pragmatisme yang sudah berhasil mewujud dalam lingkup kelokalan Mahasiswa menjadi yang spesifik dan nyata.Dan kultur baca adalah salah satu kanal bagi terbebasnya dari belenggu-belenggu virus tersebut. KulturBaca yang harus dimaknai sebagai kehadiran itikad untukmerealitakan jargon“Tiada waktu dan tempat tanpa membaca”. Ayat Kauniyah dan Qauliyah-Nya Tuhan masih banyak menunggu untuk dibaca atau diinterpretasi kembali.

Tentunya itikad ini bakal beroleh aksentuasi berbeda karena kultur baca bukan lagi afirmasi, melainkan keinginan komplementer nomor sekian. Dan seperti yang terjadi di Indoneia umumnya, dan ini terjadi di semua kampus ketika virus hedon-pragmatis berkuasa, apa yang didefinisikan sebagai kultur baca pun jadi kurang mendapatkan tempat. Pelengkap, aktivitas sampingan, atau hanya sekedar pengisi waktu luang akhirnya jadi suatu ringkasan dari kata “Malas Baca”, yang bukan saja dianggap sebagai hal yang lumrah, tapi juga dirayakan sebagai sesuatu yang tidak memalukan lagi. Bahkan,sikap hedonistis-pragmatistidak lagi menakutkan dan patut dihindari atau diselesaikan, melainkan hadir sebagai candu. Mungkin mengacu pada kegagapan memahami tradisi local wisdom (kearifan local) atau shock modernism (kekejutan modern). Maka, keinginan untuk menciptakan kultur Baca pun hadir sebagai cita utopis. Adapun terkadang membaca dianggap primer hanya ketika MID, respon, dan Final tiba. Kondisi demikian telah membuat Mahasiswa bergerak dari posisinya sebagai suatu komunitas pengusung aktifbaca menjadi pelopor yang meninggalkan aktifitas mulia membaca ini.

Aktifitas penghambat

Itikad kultur bacamenuai masalah yang masih cukup kompleks sekaligus menyedihkan karenabanyaknya aktifitas lain yang dipilih padahal tidak seharusnya diprioritaskan, sehingga fenomena minat baca tak lagi mengakar kuat pada diri Mahasiswa. Sukar untuk disangsikan,menjadi fenomena umum bahwa budaya lisan atau budaya mendengar lebih kuat mengakar dalam tradisi dibandingkan budaya membaca. Kultur ngerumpi-nongkrong-gosip makin menggerogoti. Hal ini terlihat pada realita yang sering kita temui di kampus dan kosan, xsemisal lebih suka menceritakan kembali intisati sinetron, bahkan bukan hanya intisari tapi hampir setiap alur dan plot cerita digambarkan, apalagi diperparah dengan kondisi perfilm Indonesia yang tak lagi mendidik (terkhusus sinetron) ini menginspirasi penulis untuk membuat group Facebook LK UNM anti Sinetron (bukan promosi), karena hampir semua stasiun TV memfungsikan hiburan dalam porsi yang mubassir. Mungkin karena terinspirasi pahaman William Stephenson, bahwa kodrat televisi itu adalah menghibur. Dengan kata lain, masyarakat menikmati acara televisi karena menghibur. Yang tidak menghibur jangan pernah berharap meraup profit yang besar. Maka, pihak televisi hanya mau membuat acara yang menghibur. Sebab, acara itulah yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Neil Postman pun berujar bahwa televisi itu menghibur diri sampai mati.

Fenomena yang hampir senada lainnya, adalah dengan memilih mengisi waktu luang saat menunggu dosen ataupun tidak melakukan aktivitas yang berarti (diskusi dan semacamnya) dengan ngerumpi dan gosip daripada menjatuhkan pilihan pada membaca. Selain itu, yang lebih santer saat ini, yakni tidak lagi menggunakan Facebook sebagaimana mestinya, yakni sebagai media untuk silaturahim dan pencerahan edukatif seperti membaca kiriman inbox yang bermanfaat dari friends, tapi tidak jarang malah menjadikannya sebagai media untuk saling menghujat, menghina, memfitnah, bercanda tanpa makna dan juga menjadikannya sebagai ‘bank’ hura-hura untuk memperbanyak pundi-pundi chip pokers, yang terakhir paling banyak digandrungi, semoga demikian tidak memberi efek mentalkurcaci-kurcaci kapitalisme dini di kampus, dan sederet realita yang serupa lainnya.

Introspeksi : Mahasiswa dan Dosen

Menyedihkan bila mengingat fenomena di atas secara perlahan-lahan juga akan berimplikasi pada penurunan intensitas kultur baca generasi selanjutnya (baca;maba) nantinya. Kita berharap Mahasiswa yang tumbuh dalam lingkungan Kampus idealnya sangat menghargai buku dan aktivitas membaca,Harus berbeda dengan generasi muda lain yang tak berkesempatan mengenyam pendidikan sampai ke Universitas, seharusnya itu menjadi pilihan Mahasiswa, maka Mahasiswa yang mampu menularkan kebiasaan membacanya kepada Mahasiswa lainnya dalam keseluruhan sebagai sebuah tanggung jawab moral tidak hanya bertolak dan berhenti pada dirinya. Jadilah dirinya seperti sang surya, ia memberi sepenuhnya: ia memperkaya yang lain. “Dalam keadaan ini”, tulis Nietzsche dalam Gotzen-Damerung, “orang memperkaya segalanya dari kepenuhan dirinya sendiri: apapun yang ia lihat, apapun yang ia kehendaki, terlihat kembang, kencang, kuat, dengan tenaga yang melimpah-limpah.” Atau dalam pesan-pesan Hadisnya,Rasulullah menyebut : “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Juga menjadi tidak mustahil, jika orang tua (baca; dosen) cenderung menjadi duplikat orangyang di “dikte”nya sejak Maba. Karena selain keluarga, pengaruh lingkungan pergaulan dan orang tua (baca; dosen) sehari-harinya juga akan sangat memberikan warna pada pemahamannya pada buku dan aktivitas membaca. Jika ternyata orang tua (baca; dosen) lebih Kaaffah (total) sikap hedon-pragmatisnya. Dimana kala ruang-ruang orang tua (baca; dosen) telah berubah menjadi “gudang proyek”. Entah kuantitas gaji yang kurang atau memang yang bersangkutan yang kurang pandai bersyukur dengan gaji jutaan Rupiah (tak sedikit) sehingga harus rela menelantarkantanggung jawab utamanya : mengajar/mendidik. Asisten dosen pun bergentayangan. Mereka dijadikan bumper dan tidak jarang harus lebih banyak ‘makan hati’ dan menuai kritik pedas dari Mahasiswa yang sebenarnya bukan merupakan tanggung Jawab para asisten dosen tersebut. Maka jangan heran ketika Mahasiswa sudah menginjak usia kuliah yang sudah udzur pun masih phobia dengan tradisi membaca ini. Padahal, orang tua (baca; dosen) yang diberikan amanah menjadi pengasuh sementara seharusnya merupakan patokan teladan agar subjek Mahasiswa bisa meraih cita kultur itu. Mungkin membaca terlalu mulia bagi mereka, mengajar pun jarang.

Reflektif atas pesan-pesan-Nya

Penyelesai bagi risalah ini ada pada cara membaca risalah Kauniyah dan Qauliyah-Nya. Risalah ini adalah afirmasi (penegasan) untuk diapresiasi, yang mengandung kebertautan dua unsur, tekstual (kitab suci) dan kontekstual (tanda dan penanda realita). "Firman imperatif' (bentuk perintah) dalam Surah Pertama Al-Quran, Al-`Alaq, yang berbunyi "iqra"'. Menurut pakar tafsir Al-Quran, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, kata "iqra"' ini terambil dari kata "qara'a" yang berarti "menghimpun". Merujuk ke ayat pertama surah tersebut, menurut penulis membaca sama dengan "menghimpun Ilmu Pengetahuan". Sumbernya dapat ditemukan di Kitab suci masing-masing yang kita imani, atau melalui pembacaan realitas baik materi maupun non materi/immateri.

Konklusinya, dikarenakan kultur dominan saat ini adalah kulturHedonistik-pragmatis bawah-sadar, makamenjadi ideal bagi kita, baik dalam posisi kita sebagai mahasiswa yang apatis terhadap kegiatan organisasi kemahasiswaan maupun sebagai sosok mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan (pembagian Mahasiswa menurut Tonny ZTrimarsanto) untuk tidak ikut-ikut dalam kulturyang bawah-sadar itu. Sebab, menurut penulis, kultur baca adalah cara kita membantu mengurangi beban kebodohan terselubung di Indonesia, menambah barisan intelektual organik, mengurangi preman kampus (kecuali ada Mahasiswayang berpikiran bahwa preman kampus adalah takdir bagi dirinya sendiri),serta memupuk sikap emosi dan spiritual yang stabil. Situasi seperti itu terwujud dalam Kultur Baca sadar. Kesadaranyang bisa saya golongkan potensial dan realistis untuk UNM. Alhasil, keinginan untuk membaca akan menjadi standar etik paling ultima dalam menciptakan kampus yang Ilmiah dan Religius. Tapi jika tidak, prestise agent of change-moral force- dan social control harus dengan ikhlas kita tanggalkan.

*KetuaBEMFMIPAUNM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun