Tulisan mencerminkan penulis. Apa yang disampaikan bukan hanya sekedar kata tanpa makna, lebih dari itu banyak pesan yang ingin diberikan, baik yang tersurat,maupun yang tersirat. Merangkai kata hingga menjadi kalimat, manyusun kalimat hingga menjadi paragraf, dan mengatur paragraf hingga menjadi tulisan,bukanlah hal yang mudah. Terlebih untuk tulisan yang memberi berjuta kesan. Kali ini, ijinkan aku membagikan sebuah tulisan dari seseorang yang berisikan jutaan makna. Makna mendalam bagi yang sanggup menangkapnya.
Jika diingat ingat, sepertinya sudah dua tahun aku menulis. Belajar memaksimalkan potensiku hingga saat ini. Tapi sepertinya tuhan memberikan bakat itu bukan padaku, tapi pada temanku. Teman lama yang sedari dulu aku iri dengan kemampuan yang ia miliki. Dengan semua yang ia miliki, ia mampu belajar berbagai macam hal dengan efektif dan efisien. Dan yang menyebalkan adalah, jauh lebih cepat dariku dan kebanyakan orang.
Aku tak tahu pasti, tapi aku berspekulasi bahwa ia menulis ini lewat Handphone. Satu halaman word penuh berisikan kata – kata yang disusun apik menjadi kumpulan paragraf hanya dengan Handphone,ya Handphone. Sepertinya aku harus belajar lebih giat agar mampu menyaingi kejeniusannya dalam berbagai hal.
Sayang seribu sayang,jutaan potensi yang tertanam tidak bisa tumbuh sempurna, jangankan tumbuh, permaturpun tidak. Dibiarkan mati begitu saja. Lagi – lagi ekonomi yang membatasi. Hal yang menjadi halangan sebagian besar orang berpotensi di indonesia. Negri yang kaya akan sumber daya alam dengan masyarakatnya yang miskin.
Harapannya,tulisan ini bisa membuka mata kita pada diderita saudara –saudara kita yang kurang beruntung untuk segera membantunya. Jika tulisan ini tak membuat kita tergerak membantu, setidaknya ini bisa menjadi pelajaran yang berguna bahwa sungguh, kita patut bersyukur dengan hidup ini.
Tanpa basa-basi lagi, inilah tulisannya :
……………………………………………………………..
"senang sugan ka?"
itu yang ia ucapkan pertama kali ketika ku hampiri ia sebelum kami bergegas, bukan tanpa alasan ia berucap demikian. Melihat gumpalan lemak melekat tebal hampir di setiap centi lapisan kulitku, wajarlah kalimat ironi seperti itu ia lontarkan. Beberapa pasang mata menyaksikan obrolan singkat kami sebelum akhirnya ia nyalakan starter dan memacu sepeda motornya menuju tempat tujuan kami.
Pantura cukup macet kala itu. Hal ini yang membuatku kurang nyaman karena setidaknya kami akan lebih lama di jalan dan lebih banyak orang melihat ku pergi berdua dengan laki2 yang jika kami berdekatan lebih mirip masha and the bear, dimana tentunya aku yang jadi beruang.
Untunglah ia cukup pintar untuk lebih memilih jalan alternatif daripada harus bermacet2an. Jalanan lurus mengikuti aliran kali tarum timur dengan pencahayaan minim karena yang kami lewati bukan pemukiman penduduk melainkan hamparan sawah yang tak lama lagi di panen.
"jadi gimana kuliah teh?"
kalimat itu lagi, sempat ku berpikir mungkin dia robot yang di program Tuhan untuk mengatakan kalimat itu berulang2. Bahagianya miliki robot selucu dia.
"ika pengen kuliah, tapi.."
seperti biasa setelah tapi yang ku keluarkan hanya keluhan yang ia sendiri hafal dan mungkin membuatnya juga berpikir aku mungkin robot yang di program Tuhan untuk mengeluh. Ia pasti tak senang miliki robot seberat aku.
Bosan dengan jawabanku, tak membuatnya berhenti mengeluarkan kalimat2 motifasi andalannya yang menurutku sebenarnya lebih terdengar seperti dongeng karena jujur saja aku mengantuk mendengarnya. Kemudian kalimat introgatif itu memulihkanku dari rasa kantuk, "ika, punya masalah sama kepercayaan diri kah?" entah siapa yang menyiram, kedua sudut mataku kemudian tergenang bukan tergenang tetapi sedikit basah.
Seperti maling yang tertangkap tangan, seperti peserta ujian yang kepergok mencotek, kesal dan malu adalah dua rasa yang di wakili air di sudut mataku. Dia pikir dia siapa selancang itu bertanya, "emang keliatan??" jawabku sambil mengusap mata. "banget" katanya lagi.
"bukannya dari dulu?" tanyaku kesal. Suhu tubuhku memanas kala itu seolah aliran darah hanya tertuju pada satu titik, ubun2ku. Bukan pertanyaannya yang membuatku kesal sebenarnya, tapi jawaban ya untuk pertanyaan itu membuatku pedih dan nyaris menangis di punggungnya. Untunglah aku cukup tahu diri untuk tak menumpukan tubuh besar beban hidupku yang sama berat di punggung kecilnya. Aku lupa apa yang ia ucpakan setelah itu sampai membuat aku kembali bersemangat untuk mengejar mimpiku walaupun lagi2 di akhiri dengan kalimat "tapi tahun depan ya".