Mohon tunggu...
Pung Purnomo
Pung Purnomo Mohon Tunggu... wiraswasta -

no worry

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Catatan

17 Januari 2012   06:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 04.15 aku terbangun  alarm sudah berdering entah untuk yang keberapa kali karena seingatku aku memasangnya tepat dipukul 04.00 pagi ini. Sukurlah...aku masih diberi 'kesempatan hidup' lagi hari ini, aku masih bisa bangun. Pagiku begitu pelit rasanya  dia hanya menyisakan secuil mimpi tadi malam bahkan sepotongpun tidak  tapi setidaknya pagi menjajikan cerahnya siang meskipun entah berujung dimana.
Sebuah pesan singkat sudah masuk diponsel yang kujadikan alarm, padahal aku belum juga beranjak dari tempat tidur. "Mas jadwal kita bisa dimajuin nggak? mas saya minta sampai dihotel jam 08.30 ya" SMS dari  Siska seseorang yang menelfonku tempo hari. "mampus gue!" aku bangun seperti melompat, berlari menyambar handuk digantungan sambil kubalas pesan Siska. "oke mbak saya segera meluncur" ponsel kulempar keatas bantal dan aku bergegas mandi. Jika sesuai dengan jadwal yang kami sepakati kemarin seharusnya aku tiba di hotel Mulia senayan jam 09.30 pagi ini. Artinya jadwal dimajukan satu jam lebih awal dan artinya lagi aku harus berangkat paling tidak satu jam lebih awal pula. Perjalanan Bogor - Jakarta pada jam-jam berangkat kerja seperti ini tidak bisa lagi diperkirakan waktu tempuhnya. Ada beberapa titik kemacetan dijalan tol yang hampir tidak bisa dihindari dan tidak mungkin aku memilih jalan selain jalan tol kecuali aku mau cari perkara. Jalan raya Bogor- Jakarta sudah nggak recomended untuk perbandingan waktu tempuh tapi jalan tol makin hari rasanya makin sempit saja.
Aku sudah ready mobil sudah kukeluarkan dari garasi tinggal tutup pintu pagar saja. Pukul 05.00 aku berangkat tanpa breakfast, tanpa secangkir kopi dan tanpa sebatang rokok itu artinya agenda ritual pagi sudah kupangkas beberapa sesi. Yang ada dipikiranku saat ini aku harus melewati cawang sebelum jam 06.00 jika gagal aku bisa terlambat lebih dari satu jam dari waktu yang dijanjikan. Lalu mobil kupacu, kupasang  radio dan aku melaju menuju Jakarta ditemani 'anak jalanan'nya Sandi Sandoro.
Siska adalah user baruku hari ini, aku dapat order ini hanya melalui telfon. Dari suaranya ditelfon tempo hari aku menebak wanita ini usianya pasti masih muda paling tidak lebih muda dariku. Makanya aku panggil dia mbak Siska bukan bu Siska seperti aku menyebut bu pada user-userku sebelumnya. Dalam percakapan tempo hari Siska sempat cerita sedikit tentang siapa dirinya. Siska saat ini berada di Jakarta dalam rangka menghabiskan libur akhir tahun. Siska baru kembali ke Indonesia setelah sekian lama menetap di Singapore, bekerja di sebuah multinational company yang bergerak dibidang oil and gas."hmmm.... singapore dollar bro" batinku sambil mendengarkan ceritanya ketika itu. Tapi dia lahir dan besar di Bogor dan inilah salah satu alasan kenapa Siska memilih menggunakan jasaku yang notabene tempat usahaku juga ada di Bogor. Sebenarnya penyedia jasa sepertiku ini di Jakarta pasti sangat banyak dan mudah didapat."Kebetulan aku lagi browsing browsing gitu, eh dapet kok alamatnya pas di Bogor dan ada contact numbernya, ya udah aku hubungi mas aja dan ternyata nyambung kan?" belum sempat aku tanya dari mana dapat info tentang usahaku do'i sudah nyrocos duluan. "cause saya kan orang Bogor juga mas" lanjutnya. Tugasku hari ini adalah mengantar Siska jalan-jalan, tujuannya kemana ditentukan kemudian setelah nanti kami bertemu.
Akhirnya sebelum jam 07.00 aku sudah keluar pintu tol DPR/MPR langsung ambil tepi kiri lalu belok kiri di Manggala Wana Bhakti. Lampu merah pertama lewat sedikit sebelum pintu masuk ke Hotel mulia mobil kupinggirkan dan berhenti dideretan warung-warung semi permanen. Seperti pedagang kaki lima tapi rasanya mereka menetap disitu. "huh... sukurlah" aku bisa sampai lebih pagi dari yang kuperkirakan dan yang paling kusukuri adalah aku bisa terhindar dari jebakan kemacetan. Artinya beberapa sesi ritual pagiku yang terpangkas bisa aku selesaikan diantara warung-warung yang berjajar itu. Aku memilih warung bubur ayam sebagai tempat sarapan, sarapan yang ringan tapi ditempat itu lengkap ada kopi hitam dan sampurna mild yang ternyata beberapa batang sisa semalam lupa tak terbawa.
Selesai sarapan aku menuju hotel, setengah jam sebelum waktu yang Siska minta aku sudah duduk di lobby. Aku kirim pesan singkat dan Siska menjawab "oke mas saya segera turun, tunggu bentar ya Mas" begitu balasan pesan dari Siska. Beberapa saat kemudian kulihat seorang perempuan muda berkaca mata keluar dari lift mendorong kursi roda kosong. Nampak dia sedang berusaha menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. Dan ternyata ponselku berbunyi, Siska menelfonku. Ponsel kuangkat "hallo... mas Banyu ya?" dan ternyata  suara diponselku berasal dari perempuan muda yang mendorong kursi roda kosong itu yang berdiri beberapa meter di hadapanku. Oh my God she is Siska. Pas seperti yang kugambarkan dalam benakku. Perempuan ini masih muda terlihat usianya belumlah tiga puluh, warna kulitnya Indonesia banget, cantiknya jelas terlihat karena do'i tampil tanpa make up. Sepertinya Siska segera sadar bahwa seseorang yang dia cari sudah berjalan menghampirinya. Senyumnya langsung melebar seperti menyambutku dan sangat percaya diri bahwa dia sedang akan menebak dengan benar. "mas Banyu ya?" dan... yes! tebakannya benar. "ya mbak saya Banyu" aku menjawabnya sambil kuulurkan tangan ku. "oke saya Siska yang tempo hari telfon mas Banyu dan selanjutnya panggil saya Siska aja ya tanpa mbak... oke?"
Masih di lobby, Siska lalu mengajakku duduk di salah satu sofa. "Mas makasih ya mas Banyu sudah datang tepat waktu" Siska membuka percakapannya. Rupanya Siska mengharap aku datang lebih awal karena ada hubungannya dengan kursi roda yang dia bawa. Kursi roda itu semalam tiba-tiba saja pecah ban tanpa sebab yang jelas katanya. Karenanya kursi roda itu harus diperbaiki dulu sebelum pergi. Dan Siska meminta bantuanku untuk memperbaiki. "maaf aku minta bantuan sama mas Banyu, aku nggak hafal daerah sini mas dan rasanya aku nggak mungkinlah dorong-dorong kursi ini sendiri keluar hotel" begitu kata Siska seakan mencoba menjelaskan mengapa dia harus dibantu. Dan tanpa keberatan akupun langsung mengiyakan permintaannya seolah  ingin membuktikan bahwa tempo hari dia nggak salah memilih menelponku. Ini pekerjaan mudah bagiku apalagi yang minta tolong seorang wanita secantik Siska. Mudah...sangat mudah, aku tinggal membawanya ketukang tambal ban, coba ditambal kalau masih bisa . atau ganti saja ban dalamnya dengan yang baru. Mudahnya lagi ditempat aku sarapan tadi ada bengkel tambal ban yang sudah buka dan tempat itu tak terlalu jauh dari hotel. "oke mbak... eh Siska saya usahakan dalam satu jam saya sudah kembali". "makasih banyak ya mas, tolong ini pegang dulu buat jaga-jaga kalo ada yang harus dibeli." Siska memberiku dua lembar ratusan ribu. Aku bergegas meninggalkan Siska di lobby menuju bengkel tambal ban yang kulewati tadi. Siska tidak menjelaskan kursi roda ini milik siapa. Bukankah tadi Siska kelihatan baik-baik saja berjalan dengan baik menggunakan kedua kakinya, akupun tidak bertanya atau minta penjelasan dari Siska.
Kurang lebih satu jam kemudian aku sudah kembali ke lobby hotel. Menunggu sebentar lalu Siska datang menemuiku, setelah mengambil kursi roda dan uang kembalian Siska kembali naik menuju kamarnya. "Tunggu sebentar ya Mas aku beres-beres dulu, nggak lama kok aku sudah breakfast tadi. Setelah ini kita langsung jalan ya".Tinggalah aku di lobby sendiri menunggu sambil tetap penasaran siapa yang mau pakai kursi roda.
Setengah jam kemudian Siska muncul lagi dari balik pintu lift yang baru terbuka. Sepertinya sudah siap berangkat, Siska berpakaian lebih tertutup dibanding tadi. Terlihat juga gucci cokelat mungil terselempang dipundaknya. Sumpah aku suka dengan penampilannya. Siska nampak sendiri dan tak lagi mendorong kursi rodanya, tapi dibelakang Siska dari balik pintu lift yang sama tampak seseorang keluar dengan mengendarai kursi roda yang aku perbaiki tadi. Dengan senyum yang sama Siska berjalan menghampiriku diikuti sipengendara kursi roda dibelakangnya.
Oh my God... kali ini aku keliru berharap, ternyata Siska tidak sendiri. Siska memperkenalkan pria berkursi roda itu sebagai suaminya. "Mas Banyu kenalin ini Martin suami aku and Martin, he is mas Banyu yang akan menemani kita jalan-jalan hari ini". "Banyu...Banyu... ngaca lu", aku bergumam sendiri dalam batin. Siska sudah bersuami pren, dan orang yang beruntung itu adalah Martin pria berkebangsaan Australia menetap Australia. Berkursi roda datang sendiri ke Jakarta untuk berlibur dan menemui istri tercinta. Sebuah perjalanan hebat yang hanya dilakukan oleh pria yang hebat. Pertemuan ini harus diakui juga merupakan pertemuan yang hebat. Siska sang istri tinggal di Singapore karena tuntutan pekerjaanya, Martin sang suami menetap dinegaranya Australia juga karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan agroindustri yang termasuk terbesar di sana. Dan mereka bertemu di Jakarta untuk menjadi suami istri yang sebenarnya hanya dalam beberapa hari saja selama libur akhir tahun. Serta merta kekecewaanku yang tadinya 'ngaco' ini berubah menjadi kekaguman pada mereka berdua.
Kami terlibat dalam pembicaraan yang lebih akrab karena Siska dan Martin tidak langsung mengajakku berangkat dan toh tujuan kami hari ini saja belum ditentukan hendak kemana. Kami justru saling bertukar cerita sedikit tentang siapa kami masing-masing. Sial... aku jadi merasa kecil dibanding mereka berdua bukan cuma soal body tapi juga dalam banyak hal. Ternyata hari ini aku hanyalah seorang driver yang akan mengantar dua orang eksekutif muda dari dua perusahaan besar yang berbeda di manca negara. Tapi langsung kutepis sendiri perasaan itu karena menurutku bisa bertemu dan berkenalan dengan mereka saja aku sudah merasa hebat, dan pemikiran itu yang kupakai untuk menambah kepercayaan diriku. Yes, I'am a multinational driver.
Berbicara mengenai tempat mana yang akan kami kunjungi, Siska dan Martin memutuskan untuk keluar dari Jakarta saja. Mereka ingin mengunjungi tempat yang lebih sejuk dibanding Jakarta, dan Bandung adalah kota pilihan mereka berdua. "oke, lets go" kataku seperti memberi aba-aba. Martin dan Siska memilih mengikutiku berjalan ke tempat parkir, mereka menolak ketika kutawarkan untuk menunggu di depan lobby saja. "Ya... pertemanan hebat baru saja dimulai" pikirku.
Pukul 11.00 kami bertiga meninggalkan senayan menuju Bandung. Tadinya kami hendak melewati Puncak, tetapi perkiraanku situasi lalu lintas disana sedang tidak bersahabat. Bisa-bisa kami terjebak kemacetan mengingat saat ini sedang musim liburan. Dan akhirnya kami sepakat untuk berpacu di Purbaleunyi. Tapi ternyata perkiraankupun masih salah. Jangankan berpacu, masih di km 7 Jakarta Cikampek saja mobil kami beberapa kali diam tak bergerak. Situasi ini benar-benar membuat kami bosan terutama Martin, dia sudah merasa sangat tidak nyaman. Sepanjang perjalanan tadi kami sempat berdiskusi mengenai tempat mana saja yang akan kami singgahi. Siska kepingin sesampai di Bandung tempat pertama yang didatangi adalah kampung daun karena diperkirakan  pada saat "time to lunch" kami sudah sampai di Bandung. Tapi ya... kita lihat saja nanti.
Kemacetan menjebak kami bertiga kebosanan melanda kedua teman baruku sedangkan bagiku kemacetan adalah menu hari-hariku. Kuperhatikan Martin yang duduk disampingku mulai tertidur. Orang ini hebat dalam 'keistimewaan' yang dia sandang, dia sanggup melakukan perjalanan sendiri meninggalkan negaranya melintasi lautan luas untuk menemui istri tercintanya. Padahal dalam beberapa hal dia mutlak harus dibantu orang lain termasuk ketika harus berpindah duduk dari kursi roda ke dalam mobil. Aku dan siska harus berbarengan mengangkatnya. Jika bisa berdiri tegak tingginya hampir dua meter, bayangkan saja beratnya. Yang paling hebat lagi menurutku Martin telah membuat Siska jatuh cinta dan bersedia menjadi istrinya...melayaninya.
Siska duduk sendiri dibangku belakang memainkan blackberry-nya  berusaha mengusir kebosanan. Aku sesekali memperhatikannya dari kaca spion dalam mobilku. Justru ketika bad mood wajah perempuan ini  makin terlihat Indonesia banget. "Kenapa dia harus kawin sama Martin" pikiran Indonesiaku mulai ngaco lagi. Jika kupikir lagi, Siskalah yang lebih hebat ternyata. Siska sanggup menerima Martin dalam segala "keistimewaannya" bersedia mencintai dan menjadi istrinya. Hal itulah yang membuatku memberikan penilaian berbeda padanya. Siska memiliki hati dan ketulusan yang kurasa luar biasa.
Di kilometer 65 mobil kuarahkan ke lajur paling kiri, sebentar lagi kami akan memasuki tol Purbaleunyi. Syukurlah begitu kami memasuki Purbaleunyi jalanan mulai terlihat lancar. Semakin lama semakin lancar dan akhirnya kami benar-benar bisa berpacu. Aku kembali konsentrasi pada perjalanan melaju diatas 140km/jam seolah aku ingin membayar hutang kemacetan sebelumnya.
Memasuki kota Bandung tanpa halangan kemacetan di pintu Pasteur adalah anugerah. Oh ya tujuan kami adalah Saung Angklung Udjo, pukul 14.15 kami sampai di tujuan. Siska memutuskan untuk tidak kemana-mana dulu dan langsung ketempat ini karena pertimbangan waktu.
Pertunjukan berikutnya dimulai 15.30 dan kami punya waktu satu jam lebih sedikit untuk makan siang. Nasi timbel adalah menu pilihan martin dan kami mengikuti. Sembari menunggu pesanan aku membeli tiket untuk kami bertiga. Kembali dari membeli tiket, tiga porsi nasi timbel sudah terhidang di meja. Martin terlihat mengacungkan kedua ibu jari tangannya kearah ku lalu menunjuk secawan sambal terasi yang sudah terhidang dihadapannya. Rupanya Martin penggemar sambal terasi. Siska cuma tertawa kecil memamerkan barisan gigi putihnya. Di jarinya masih terjepit marlboro menthol yang kira-kira tinggal tiga atau empat hisapan lagi. Aku kembali duduk dikursiku, "Banyu ayo sikaaat" seru Martin memberi aba-aba untuk segera mulai menikmati hidangan makan siang kami.
Lima belas menit menjelang pertunjukan kami sudah berada di saung besar. Kami siap menyaksikan pagelaran Angklung Orkestra. Ini adalah pertama kalinya mereka datang ke tempat ini dan juga aku. Meskipun aku tinggal di Indonesia, di wilayah Jawa Barat ini adalah pengalaman pertamaku datang ke sini bersama dua orang yang tidak tinggal di tanah air. Bukan karena aku belum pernah dengar tentang Saung Angklung, bukannya aku tak tertarik dengan angklung orkestra tapi jujur saja aku cuma tak tertarik dengan harga tiketnya. Buatku harga satu tiket bisa buat beli sepuluh liter beras. Dan hari ini aku bakal menikmatinya dengan gratis. Puluhan anak-anak sudah bersiap dibelakang panggung, mereka nampak sudah sangat siap memulai pertunjukan. Ratusan penonton juga sudah bersiap menikmati penampilan mereka. Terhitung hampir limapuluhan wisatawan mancanegara juga terlihat antusias menanti jalannya pertunjukan. Kami bertiga memilih tempat duduk disisi kiri panggung dekat dengan pintu keluar untuk memudahkan akses bagi Martin.
Lagu demi lagu dimainkan oleh puluhan bocah diatas panggung, mereka mengiringinya dengan angklung masing-masing ditangan mereka. Beberapa lagu daerah dengan sangat memukau mereka perdengarkan, lagu-lagu hits internationalpun begitu fasih mereka mainkan. Riuh rendah tepuk tangan penonton seolah turut mengiringi merdunya permainan angklung mereka. Menurutku ini pertunjukan luar biasa, rasanya aku ingin berseru kepada dunia kalau ingin melihat indahnya Indonesia datanglah ke panggung-panggung seperti ini saja jangan pernah buka saluran 'TV berita'. Ditanggung damai deh pokoknya, dijamin nggak akan ada travel warning segala. Martin dan Siska terlihat puas dengan pertunjukan tadi, mereka merasa nggak sia-sia datang jauh-jauh ke tempat ini. Aku sendiri merasa terharu menyaksikan pertunjukan para bocah tadi, mereka masih sangat belia masa depan mereka masih panjang dan saat ini mereka berada pada komunitas yang tepat. Salut dan bangga pada komunitas ini, Yayasan Saung Angklung Udjo.
Perjalanan kami hari ini praktis hanya mengunjungi satu tempat saja di Bandung. Karena usai pertunjukan angklung kami langsung kembali menuju Jakarta. Matahari sudah tak nampak ketika kami meninggalkan bandung. Jalanan yang kami lalui lalu-lintasnya juga sudah tak seramai tadi siang ketika kami datang. Aku bisa melaju dengan tenang sambil mendengar mereka berdua yang tak habis-habisnya membicarakan pertunjukan tadi. Selamat malam Jakarta aku kembali untuk mengantarkan mereka berdua kembali ke tempat mereka menginap tempat "berlibur" yang sebenarnya. have a good night... Siska...Martin.
Kembali sendiri dalam perjalanan pulang menyusuri malamnya jakarta menuju base camp di Bogor. Busyet! aku banting setir kekiri, aku hampir masuk tol jakarta cikampek beruntung jalanan cukup sepi malam itu. Melamun atau setengah mengantuk aku sendiri juga nggak tahu persis. Tapi, rasanya  aku memang melamun. Masih terbayang akan mereka berdua Martin dan Siska. Jika memang ketulusan yang melandasi hubungan mereka. Maka yang kulihat sepanjang hari tadi adalah benar-benar sebuah kekuatan cinta.... the power of love sudah bekerja pada mereka berdua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun