Mohon tunggu...
Pungky Prayitno
Pungky Prayitno Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bentuk lain ultraman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang

16 November 2010   18:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:33 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

.

Dan lalu kita berpandangan. Puncak orgasme menyatukan kita dalam pelukan hangat di kotak 2 x 3. Tanpa kata. Aku Cuma sanggup berair mata. Iya. Aku sangat bisa memastikan kalau kurang dari enam puluh detik sejak aku menangis, kamu pasti bertanya kenapa. Dan aku menjawab geleng kepala sampai enam puluh detik berikutnya.

Aku harus memulai dari mana? Enam puluh detik ku dimulai. Berfikir. Harus dapat definisi yang tepat tentang kenapa aku memulai acara istirahat malam ini dengan air mata. Malam ini akanada apa-apa. Air mataku terlanjur memulai apa-apa. Tidak mungkin jika akhirnya yang terjelaskan adalah tentang yang sebenarnya. Tentang aku yang terserang cemburu atas kamu dan masa lalu. Atau tentang takut tak lagi menjadi satu-satunya di hatimu. Persaingan dengan mereka membuatku kelimpungan entah bagaimana. Tidak. Itu memalukan.

Dijelaskan pun tidak akan pernah mengubah apapun. Hanya akan membuat acara istirahat kita semakin tidak dimulai. Toh cemburu ini tidak pernah mempengaruhi apapun. Cuma ketakutan berlebihan atas perasaan yang belum siap disakiti dan kehilangan. Menyoal cemburu tentang riwayat selangkanganmu pun tidak akan membuat segalanya lebih baik. Perempuan-perempuan yang pernah meniduri dan ditiduri kamu adalah urusan mu. Bahkan semuanya sudah tutup buku. Kenapa lagi aku harus membuka satu-satu demi perasaan yang bahkan aku belum yakin kalau ini bisa disamadengankan sebagai cemburu.

Enam puluh detik ku habis.

“aku cemburu”

“atas?”

“semua nama di masa lalu kamu”

Aku diam. Menghunus diri sendiri dengan pedang kebodohan. Ini akan semakin rumit. Rumit. Harusnya bukan itu yang keluar menjadi definisi. Kenapa harus kejujuran yang sok-sokan hadir sebagai pahlawan.

“bisa apa? Itu kan masa lalu”

“aku Cuma cemburu. Aku terlalu pengecut untuk nerima masa lalu seorang kamu. Soal selangkangan itu urusan hati, sayang. Ada perasaan-perasaan gagal mengerti ketika aku sadar kalau bukan aku yang pertama”

“kenapa kamu sibuk dengan masa lalu sedangkan kita masih akan punya masa depan? Kamu terlalu berhasil menyakiti diri kamu sendiri”

Aku mengangguk pasrah. Bisa apa lagi? Aku memang sedang membekap perasaan ku sendiri dengan kepala yang susah mengerti. Iya susah, dan aku gagal untuk selalu mencoba dua kali. Menyesal tentang masa lalu kamu adalah hal paling bodoh yang pernah terjadi dalam kepalaku. Memikirkan sampai seribu kali pun, kamu dan masa lalu akan tetap begitu. Menuntut menjadi yang pertama untuk kelaminmu adalah kemustahilan luar biasa. Seperti menuntut hukum dari orang mati. Semuanya menjadi jelas. Tapi tidak pernah mengubah apa-apa. Dan tidak pernah bisa mengubah apa-apa.

“aku sering menuntut pada Tuhan. Kenapa bukan aku yang pertama untuk kelaminmu, dan kamu yang pertama untuk kelaminku”

“kenapa harus menuntut?”

“karena sadar kalau aku bukan tubuh pertama yang kamu telanjangi itu nyeri! Bahkan kamu pernah memeluk mesra tanpa busana perempuan selain aku! Sayang, selangkangan itu soal hati. Soal helai tipis di atas perasaan. Bentuknya entah apa, tapi ketika terbelah dua atau tiga menghasilkan efek luar biasa”

“ikhlas sayang... ikhlas.. tuhan selalu menjadikan apa yang memang seharusnya terjadi”

Air mataku menyerobot situasi. Lagi-lagi Gagal mengerti. Padahal semuanya adalah tentang aku, kepala dan hati. Bukan tentang kamu, masa lalu dan penuntutan atas entah apa. Aku Cuma belum mengerti. Dan itu satu-satunya alasan untuk detik ini aku mengerti.

Tubuh kita terpaut hitungan mikrometer. Cium di kening mengantar aku ke galaksi mimpi.

purwokerto. idul adha 2010

------------------------------------------------

lebaran. sendirian. di kosan. yang melayang di otak malah selangkangan! hahahaha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun