.Aku menggenggam kedua tanganmu. Cium di pipi kanan, tertahan. Bersama sehela nafas, kepala ku bergerak maju beberapa centi. Menggerayangi telinga mu dengan udara lembut bersuara.
“kalau hati ini lensa, maka bersamamu adalah bokeh. Indah tertangkap tapi blur tetap !”
Genggaman kita terlepas, tanganku terhempas. Sedang kepalaku tetap pada posisinya. Bertahan untuk tetap ditempat paling strategis pada saat seperti ini. Saat tidak ada cukup ekspresi yang bisa kamu lihat dari wajahku. Kepala ini tetap disini. Di sepersekian centi dekat telingamu. Itu cukup.
Kedua tanganmu mengambil posisi. Melingkar manis. Tubuh kita tak lagi kenal tuan inci saat ini. hangat erat kini aku dalam dekap.
“aku suka aliran foto blurrism” kamu bersuara. Sekalimat alasan untuk kita masih bisa sama-sama.
“tapi maaf. Yang punya lensa bukan kamu. dan si empunya gak suka blurrism” alasanmu kutepis.
Pelukan kita goyang. Hela nafas panjangmu mengguncang.
“coba atur diafragma nya ke yang kecil. Biar gak terlalu blur”
“gak bisa”
“bisa!”
“blurnya tetep parah”