Penyebutan ini sebetulnya bukan mengejek, tapi lebih mengembalikan ejaan yang midah di lidah. Ini perlu saya sebutkan di awal karena aktifis gerakan ini lumayan ganas.
Bisa dikatakan level keganasannya satu tingkat dibawah fans artis korea. Idealisme mereka seakan sakral sehingga tidak dapat dipermainkan, karena memang membawa kemerdekaan produk lokal di tengah pasar bebas yang mayoritas di monopoli oleh produk yang sudah multi nasional adalah hal yang sangat sakral.
Bagi mereka yang membangun kepercayaan produk nasional atau lebih tepatnya memerdekakan produk buatan dalam negeri memang sebuah kemuliaan. Bagaimana tidak? Kita yang mulai kecil diwarnai dengan mainan berlabel "made in china", alat elektronik "made in japan", dan berbagai barang lain yang made in negara lain juga, diajak mulai percaya diri dengan barang buatan dalam negeri.
Pastinya akan susah tapi mereka tetap bergerak di bawah tujuan mulia yaitu memerdekakan produsen barang lokal. Mengangkat pamor, bukan dari sisi produsen yang memperoleh laba atas produksinya. Tapi dari sisi konsumen yang membayar. Mungkin keuntungan yang mereka hasilkan adalah dapat membantu sesama warga negeri ini.
Tapi niat untuk lokal pret ini mendapat berbagai ujian yang tentunya tidak mudah. Mulai dari pengembangan perusahaan raksasa multinasional yang sudah menjadi musuh bebuyutan, maupun dari rakyat dalam negeri sendiri yang mulai bermain jual beli produk lokal yang sedang naik daun. Kelompok kedua ini yang biasa disebut reseller. Reseller ini membeli produk lokal yang sedang naik daun dengan harga ratusan ribu dan menjualnya kembali dengan harga mahal. Sebetulnya fenomena reseller ini tidak hanya pada produk nasional yang sedang naik daun, tapi juga mudah ditemukan pada produk musuh bebuyutan produk lokal.
Salah? Sebetulnya salah atau benar adalah relatif. Namun menjadi salah besar jika menimbulkan otren-otrenan ketika pembeli produk lokal yang harganya sudah dinaikkan tadi menghina produk lokal lain yang harganya murah.
Lantas perjuangan lokal pret tadi bergeser, yang seharusnya melariskan produsen lokal menjadi kebanggaan duniawi yang sarat akan kesombongan. "Jika tidak beli produk lokal yang harganya jutaan maka bukan lokal pret" contohnya. Lha lokal pret kok jadi se-eksklusif itu? Malah mengalami peyorasi ideologi yang awalnya menjadi oase di tengah kekeringan orderan, kini oase itu dipagari oleh pihak tertentu dan dikenakan tiket mahal.
Ketika musafir tidak kuat membeli tiket dan bertanya "kok mahal mas?", penjaga loket menjawab dengan ketus sembari mengunggulkan nasionalisme keprodukan seperti, "kalau produk luar negeri mahal aja mingkem".
Bagi saya yang terbiasa membeli barang murah dan masa bodoh dengan merk, sepertinya akan sangat enggan untuk melirik cara berjualan seperti ini. Seakan mencampuradukkan lokal pret dengan teknik menjual.
Sehingga jika pengguna tidak menggunakan produk dengan merk tertentu yang booming pasti diragukan kelokal pretannya. Padahal jika membeli dengan harga mahal pun yang diuntungkan ya pihak yang memagari oase tadi. Alih-alih akan menjadi subur, kekeringan yang saya sebutkan di atas adalah malah tetap tandus. Sekali lagi karena oasenya dipagari dan airnya dieksklusifkan.