Buat apa berteman online tapi susah ditemui secara offline? Setidaknya kalimat itu yang muncul ketika kawan online susah diajak bertatap muka. Mungkin memang pergeseran interaksi di era kiwari ini lebih ke arah semua serba online. Pertemanan, interaksi, hingga perekat sebuah hubungan cinta kini juga sudah tersedia secara online. Mungkin dampak dari industri 4.0 sudah merambah hingga cara berinteraksi.
Namun cukupkah saling sapa melalui layar telpon genggam dapat mewakili tatap muka secara jelas dan nyata? Saya dapat mengatakan tidak cukup. Karena keterbatasan teknologi saat ini masih belum bisa mewakili interaksi secara langsung.Â
Entah bertatap muka atau hanya saling bercengkrama. Mungkin jika teknologi sudah mewakili semua rasa, kompasianival yang kemarin terlaksana akan cukup terwakili dengan grup obrolan dengan judul kompasianival. Tapi nyatanya? Masih ada batas-batas tertentu yang tidak bisa terwakili.
Mungkin ada beberapa orang yang sudah cukup terwakili dengan menyentuh layar HP. Saya dapat mengatakan orang-orang ini memiliki dunianya sendiri.Â
Diajak ketemu malah pura-pura masak di dapur, satu rumah malah menyampaikan wejangannya lewat pesan WhatsApp, di samperin ke kotanya malah sibuk dan tak ada waktu untuk bertemu.Â
Beberapa kebiasaan yang menurut saya aneh ini dapat berdampak berkepanjangan. Jika kebiasaan itu dilakukan terus menerus tidak menutup kemungkinan mindset juga akan berubah. Berbuah hal-hal aneh lain seperti ada kawan meninggal dunia tidak melayat tapi malah posting foto jenazah dengan disertai caption doa-doa.Â
Padahal jika di agama islam ada namanya sholat jenazah, tahlilan dan melayat. Jika memang ingin berdoa secara online tanpa harus ke rumah jenazah dapat dengan sholat ghaib.
Ada..
Lagi mogok di jalan, benerin motor sendirian, ada orang dateng, nyapa, & minta foto. Abis foto, langsung cabut.
Gue mogok sendirian? Bodoamat.
Inilah rasanya dianggap jadi object, bukan jadi manusia~ https://t.co/LtANrYjCIz--- Alitt Susanto (@shitlicious) January 3, 2020
Kembali lagi ke topik interaksi online. Dengan berubahnya mindset seperti ini tidak menutup kemungkinan semuanya serba di online kan. Lebih baik mendapat pengakuan di ranah sosial media daripada menyelesaikan masalah. Marak terjadi di saat ini. Kata mas alit hal ini dapat didefinisikan sebagai "menempatkan manusia hanya sebagai objek, bukan subjek".Â
Eh aku tertipu oleh orang ini, sembari melampirkan rekam layar chat penipuan, tapi tidak melaporkan subjeknya kepada pihak berwajib atau berunding kekeluargaan secara face to face. Apakah masalah selesai?