Akhirnya saya menggunakan fasilitas tanggapi artikel atas artikel berjudul "Tagar Generasi Anti Rokok dan Keangkuhan Perokok Aktif". Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada akun Surya Rianto sang calon jurnalis yang terjebak dalam kehidupan fana dan penuh kebohongan. Karena opini unik beliaulah saya dapat merasakan asiknya menanggapi artikel yang disediakan Kompasiana.
Pertama saya akan membangun kerangka diskusi bahwa semua perbuatan ada batasnya. Makan terlalu banyak akan muntah, minum terlalu banyak akan mabuk, dan rokok terlalu banyak akan mengganggu pengusung tagar. Maka saya sebagai perokok sangat setuju bila ada perokok yang sedang asik merokok di sebuah ruangan berisi pengidap sakit pernafasan itu dikategorikan salah.
Karena sikap masa bodoh dan dapat dikategorikan angkuh. Sekali lagi karena sikapnya bukan karena rokoknya. Bila ada salah satu perokok yang "nakal" lalu yang disalahkan semua perokok bisa dikatakan ini generalisir. Seperti layaknya pemerintah amerika yang terkena bom teroris muslim lalu semua muslim dikatakan salah. Tentunya hal itu kurang pas dan kurang bijak juga.
Pajak Cukai Rokok untuk BPJS Kesehatan
Sebetulnya ini sudah isu lama, kebanggakan kami para perokok menyumbang ke negara yang anda katakan nasionalisme yang salah. Mulai dari melihat sumbangan perokok kepada negara yang tertulis di pita cukai saja kita sudah merasa ada kontribusi ke negara. Jelas ada alasan kenikmatan yang melatar belakangi di balik itu semua, saya juga sangat setuju bila anda mengatakan mustahil ada orang merokok atas nama nasionalisme semata seperti guru SMA anda.
Bagi sebuah bangsa yang tertanam nasionalisme di dalam dada rasanya ada yang salah dengan koreksi anda. Terutama data sumbangsih pajak cukai rokok terhadap defisit BPJS kesehatan. Bila nyumbang trilyunan saja masih mendapat kritik dari anda dengan dalih tidak menyumbang secara keseluruhan, lantas bagaimana nasibnya bagi warga negara yang tidak menyumbang sama sekali?
Itu dari sisi BPJS saja, selain itu seperti yang tertulis dalam artikel anda, kami juga berkontribusi di program kesehatan pemerintah daerah. Berarti total kontribusi rokok kepada program kesehatan adalah 7,5 trilyun. Lalu sisanya berasal dari produsen asap lainnya, termasuk anda mungkin, jika anda produsen asap kendaraan bermotor.
Import Tembakau yang Sangat Banyak
Entah anda mengambil data dan diagram lingkaran dari mana. Karena menurut kementerian perindustrian, kita impor tembakau hanya 40% saja. Ini artinya 40% saja sebanyak yang anda katakan. Apalagi 60%nya, pasti akan menjadi jumlah yang sangat banyak. Berapa petani yang bekerja untuk nilai sebanyak itu?
Bila saja kita abaikan nasib petani tersebut tanpa ada solusi, pasti ada perut yang tak terisi. Tidak hanya perut petani, tapi juga perut anak dan istri mereka. Mungkin yang digadang-gadang menjadi solusi adalah mereka beralih tanam, buktinya? Pemerintah kita beberapa kali juga gagal untuk mengalihkan mereka menanam tanaman lain. Bukan karena petaninya nakal dan susah diarahkan, tapi nilai ekonomis tanaman yang dianjurkan untuk ditanam tidak setinggi tembakau.