Akhir-akhir ini mulai muncul gagasan politik murah tanpa uang (money politic). Sepertinya tidak ada yang salah memang dengan politik murah ini. Malahan politik murah merupakan satu langkah maju sistem demokrasi indonesia.
Dahulu orang politik harus bermodal mahal, untuk cetak baliho, sebar pamflet, hingga serangan fajar yang akhir-akhir ini terkena grebek Bawaslu. Mungkin itu adalah borok politik yang sangat memalukan, sehingga tak ayal banyak masyarakat negeri ini ngeri dengan politik.
Namun lain dahulu lain sekarang. Ada banyak caleg yang mencalonkan diri berangkat dari pekerja kasar. Mulai dari tukang ojek, penjual kopi keliling, ibu rumah tangga, penjaga warnet, dan berbagai macam pekerjaan lain yang upahnya luput dari pembahasan UMR. Bukan karena pemerintah abai, tapi memang mereka berdikari alias tidak ikut orang.
Menjadi hal menarik bila kita tarik lurus tugas beliau-beliau saat jadi anggota dewan. Merujuk pada konsep trias politika, anggota dewan bertugas untuk membuat Undang-Undang atas nama rakyat. Keberpihakan kepada rakyat sembari menimbang untung ruginya atas dapil yang mereka wakili menjadi sangat penting tentunya.
Ingat! Mereka sekedar legislatif ya, alias pembuat undang-undang. Masalah eksekutornya nanti sudah ada eksekutif. Jadi jangan salah fokus bila mereka jadi berjanji akan menghamparkan sajadah sepanjang jalan raya Lampung-Aceh. Jelas mustahil.
Kembali pada pembahasan caleg pekerja kasar, saya menjadi tertarik saat melihat berita CNN. Dalam berita tersebut mengambil sample salah seorang caleg yang saat 2014 dahulu menjadi ojek. Saat pemilu 2014 beliau sukses menjadi anggota DPRD. Hasilnya? Rumah kayu yang dahulu beliau tempati kini menjadi rumah istana mewah. Maka di titik ini menjadi rancu, sebetulnya yang disejahterakan rakyat atau beliau-beliau ini.
Mengingat hak anggota dewan tidak sedikit, bisa ratusan juta dalam satu tahun. Ini hak yang memang halal, saya agak malas bila menghitung uang haram. Seakan hak sebesar itu menjadi tujuan mereka mencalonkan diri. Pasti dapat dikatakan melenceng.
Ya memang tidak semua pekerja kasar karena nasib, ada juga menjadi pekerja kasar karena memperjuangkan ideologi. Gara-gara anti kapitalis, maka menjadi berdikari dan menginfakkan diri berjibaku dengan pekerjaan kasar. Nah kalau pekerja kasar yang seperti ini merupakan pengecualian dari tulisan saya.
Ketika anggota dewan menjadi profesi yang diidam-idamkan, pasti akan seperti PNS. Ya, pandangan PNS orang kuno dulu pasti menyandingkan dengan keterjaminan finansial masa tua. Tak jarang terucap kata, "kamu kalau besar jadi PNS saja nak, biar hidupmu dijamin negara".Â