Mohon tunggu...
pungkaspung
pungkaspung Mohon Tunggu... Buruh - Hanya buruh yang butuh nulis

Hanya peminum kopi tanpa disertai senja, karena dominasi kopi dan senja akan membuat saya tidak kerja.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Manokwari dan Sampah yang Meresahkan

1 April 2019   06:59 Diperbarui: 1 April 2019   07:10 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri (sampah di pulau Mansinam)

Manokwari merupakan ibukota provinsi Papua Barat, namun lebih besar dan ramai di Sorong. Jadi posisi Manokwari hanya sebagai pusat pemerintahan provinsi, sedangkan pusat industri ada di Sorong. Posisi Manokwari dan Sorong lebih seperti Balikpapan dan Samarinda. Semua kantor provinsi berada di Manokwari, sedangkan kantor-kantor besar untuk swasta lebih banyak di Sorong.

Meskipun tidak terlalu ramai di sini sampah lumayan berserakan, pasalnya sangat jarang tukang sampah bekerja mengambil sampah setiap hari. Sangat berbeda dengan Malang, Balikpapan, atau Makassar. Mungkin karena jalannya naik turun tak karuan dan ada info bahwa di Manokwari ini bila membuka jasa buang sampah ada "ongkos tambahan".

Ongkos tambahan ini sebetulnya sangar dipertanyakan, karena pengelolaan sampah sudah dibantu oleh pihak ketiga, tapi malah pihak ketiganya terkena retribusi tambahan. Ini berujung pada adanya jasa angkut sampah tapi intensitasnya sangat rendah. Bayar 100 ribu seminggu, tapi hanya jalan 2 kali dalam seminggu. Alhasil sampah rumah tangga terbuang di lahan kosong.

Saya juga sempat berpikir, kenapa tidak ada bank sampah, pemulung, dan rombengan seperti di jawa. Usut punya usut hasil akhir sampah plastik, kertas, dan berbagai sampah lainnya di Manokwari tidak ada yang menyerap. Jadi sangat susah untuk recycle sampah, khususnya sampah plastik. Jika ngotot untuk mengolah industri ini pun, kita tetap harus mengirim ke jawa. Karena pendaur ulang sampah tersebut paling besar serapannya ya di jawa.

Menjadi hal unik tapi mengenaskan saat saya ke pulau Mansinam, pantai Dosa, dan berbagai wisata pesisir lainnya. Karena kesadaran warga terkait sampah sangat rendah. Yah bisa dimaklumi karena, nilai ekonomis sampah yang selama ini menjadi daya magnet sangat kurang. Memulung sampah untuk membeli pinang pun sangat mustahil.

Pembersihan sampah mungkin hanya sekali dua kali melalui bakti sosial. Tidak berkelanjutan seperti bank sampah. Alasan utamanya lagi-lagi tidak ada daya magnet untuk menarik minat warga fokus ke sana.

Ini pasti akan menjadi bom waktu yang semakin lama semakin parah, mengingat Manokwari semakin lama semakin padat. Mungkin beberapa stakeholder dapat berupaya mencari solusi. Memang menurut saya masih belum sampai pada tingkat kumuh, tapi bila dibiarkan berlarut-larut apa yakin akan bersih sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun