Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan dibikin geger soal PPDB sistem zonasi. Singkatnya, sistem PPDB zonasi cuma membolehkan siswa mendaftar di sekolah terdekat dengan tempat tinggal mereka.Â
Siswa yang berprestasi tidak bisa daftar di sekolah terbaik, kecuali jika lokasi sekolah masih berada di wilayah yang sama.Â
Banyak yang mengkritik kebijakan tersebut. Lebih dari itu, ada juga segelintir oknum yang dengan semena-mena memunculkan wacana baru meski kisruh PPDB Zonasi masih anget-anget tai ayam; pernikahan sistem zonasi.Â
Kata si oknum itu, entah dari wangsit dukun mana dia berucap, sistem kawin zonasi akan diterapkan pada 2020. Sayangnya, banyak yang percaya. Lagi, warga heboh. Banyak yg merasa masa depan mereka terancam punah oleh pemerintah, Â seolah masalah jodoh pun harus mengikuti arahan dari penguasa.Â
Mereka yang merasa terancam itu kebanyakan berasal dari kaum jomblo. Salah satunya adalah seorang kawan saya. Sebut saja namanya Jon yang kini umurnya udah lewat kepala 3, tapi masih single-single aja tanpa ada wanita disampingnya.Â
Ada sih yang dekat, tapi itu emaknya. Disini kita lagi bahas soal wanita dalam arti pasangan hidup, bukan orang tua. Jon adalah orang yang percaya sekaligus khawatir jika pernikahan sistem zonasi diterapkan.
Kata dia, dengan mengkerucutnya wilayah pencarian jodoh yang hanya bisa didapat di sekitar kampung maka peluang dia untuk mendapatkan pendamping hidup menjadi lebih kecil.Â
"Nyari di Indonesia aja susah, apalagi cuma dibolehin nyari di kampung?" kata dia dengan intonasi dan mimik pesimis.
Perlu diketahui, Jon adalah orang yang pernah mengembara di beberapa daerah di Indonesia. Dia pernah ke Batam, Bali hingga Papua. Alasannya kerja, meski pada setiap tempat itu dia punya misi sampingan cari jodoh.Â
Hanya saja sampai saat ini misi tak wajib itu tak kunjung berbuah hasil.Â