Situasi menjadi mirip interogasi pihak kepolisian dimana saya adalah saksi kunci yang tahu siapa maling ayam yang tengah diburu. Saya harus mengatakan siapa pelaku sehingga dia bisa dihukum sesuai kesalahanya. Saya harus berkata jujur. Saya harus menjawab.
"Dua-duanya kalah" kata saya.
Seketika situasi menjadi hening. Sangat hening. Bahkan hingga dentingan sendok yang menyentuh piring terdengar dengan begitu jelas. Jika saja ada orang yang ga bisa nahan pengen buang gas, suaranya pasti terdengar nyaring, menggema diseantero ruangan.
Saya jawab begitu salah satunya karena alasan pertimbangan pertemanan, tak ingin disalahkan karena mendukung salah satu paslon. Biarlah mereka mengutarakan dukungan, saling mendebat satu sama lain, menanggap bahwa yang didukung lebih baik, lebih benar, daripada lawan politiknya.Â
Dan lagi, jawaban itu memang benar berasal dari hati nurani terdalam saya. Memang demikian adanya, tak ada yang menang dalam debat dua calon pemimpin bangsa itu. Dua-duanya kalah, karena tidak memaparkan visi misi yang jelas untuk masa depan bangsa (setidaknya yang saya tangkap begitu).Â
Yang satu menyerang, yang lain malah memuji. Bagi saya, debat capres malam itu kebalik. Petahana diposisi menyerang sedangkan oposisi justru bertahan. Di benak saya, idealnya yang dilakukan petahana adalah menyombongkan prestasi yang sudah dicapai, kemudian memaparkan cara untuk menutupi segala kekurangan, apa-apa yang belum tercapai, sementara penantang mestinya mengkritik kebijakan pemerintah yang belum mewakili rakyat, kemudian memberikan langkah yang tepat alias merevisi supaya lebih baik.
Saya jelaskanlah apa yang ada di benak saya malam itu. Beberapa terlihat ingin bereaksi, tapi saya bilang saja ga usah didebat, karena pilihan saya bukan untuk diperdebatkan.Â
Saya pun berlalu di hadapan mereka. Saya sadar apa yang saya sampaikan barangkali bisa membuat orang berpikir bahwa saya tak punya prinsip karena tidak mendukung siapa-siapa. Mungkin saja mereka benar. Tapi jujur saja, sampai detik ini saya belum bisa menentukan siapa yang akan saya coblos nantinya.Â
Dan saya sadar bahwa sebagai warga negara, saya harus memilih. Kemudian saya berdoa, semoga sebelum 17 April nanti saya sudah bisa menentukan pilihan, jangan sampai pihan itu adalah bukan keduanya.
Sejak malam itu, tak ada yang ngajak saya kumpul lagi. Kalaupun ada, saya bakal berpikir ulang untuk ikut serta. Namanya juga tahun politik.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI