Mohon tunggu...
Humaniora

Pancasila yang Tercemar

6 Juni 2016   10:57 Diperbarui: 6 Juni 2016   11:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Implikasi nyata atas tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998 membawa Indonesia pada arus demokratisasi yang membabi buta. Demokrasi, sejatinya menekankan pada kebebasan individu. Kebebasan tersebut mengarahkan kepada sebuah keadaan yang akan membuat kubu mayoritas dan kubu minoritas. Kedua kubu dimaksud merupakan anak kandung dari demokrasi namun beraliran fanatisme sempit yang saling bertolak belakang. Akibatnya, konflik horizontal kerap terjadi. Parameternya, dapat kita lihat di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada misalnya, beberapa pendukung pasangan calon -karena fanatisme tadi- meluapkan kekecawaannya dengan aksi anarkis berujung bentrokan. Belum lagi, saat ini marak sekali kasus-kasus pembubaran paksa kegiatan-kegiatan tertentu oleh ormas-ormas mengatasnamakan SARA yang berujung pada kericuhan hingga tudingan pelanggaran HAM. Teraktual, isu mengenai akan ‘kembalinya’ komunisme di Indonesia.

Melupakan Ideologi
Apa itu ideologi? Menurut Franz Magnis-Suseno, terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial, yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Arti kedua, ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Sedangkan dalam arti yang ketiga, ideologi yang biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik, atau dengan kata lain, segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris.

Dahulu, ketika founding fathers menyusun bentuk dan susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pertanyaan pertama kali yang dilontarkan yaitu tentang ideologi. Begini yang disampaikan oleh DR. Radjiman Wedyoningrat kala itu, “Negara yang akan dibentuk itu, dasarnya apa?”. Dapat lah dipahami bahwa, ketika itu Bangsa Indonesia sedang dalam titik kulminasi perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, sehingga “sangat mudah” mungkin bagi visioner seperti Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin, dan para pendiri bangsa lainnya untuk mengajak orang-orang serumpun sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa untuk merdeka. Maka, ideologi yang dilontarkan kala itu, yang kemudian termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dikategorikan sebagai ideologi dalam arti netral. Sederhananya, Pancasila merupakan titik ekulibrium bagi pemikir-pemikir pendiri bangsa ini untuk mencapai sebuah konsensus politik.

Memaknai (kembali) Pancasila
Guna menanggapi isu terkait akan kembalinya komunisme di Indonesia, banyak para pemikir Indonesia era modern ‘mendebat’ akan hal itu. Bahwa hal tersebut membahayakan eksistensi Pancasila, bahwa Pancasila juga pada akhirnya diperdebatkan. Pertanyannya, apakah permasalahan itu akan selesai hanya dengan mendebat Pancasila? Sesungguhnya, secara sadar atau tidak, mereka telah memberikan definisi Pancasila dalam arti kesadaran palsu, Pancasila dijadikan propaganda.

Mari kita tanya pada diri sendiri. Ketika kita mengenyam pendidikan dasar, pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, apa yang harus kita lakukan ketika melihat sampah berserakan di jalan/di sungai? Bagaimana sikap kita jika terdapat tetangga kita yang mati kelaparan? Bagaimana cara kita mengatasi banjir akibat saluran pembuangan yang tersumbat sampah? Itu dalam tataran teori. Sementara dalam tataran praktis, kenapa kita dilarang melakukan aksi anarkis seperti tawuran? Kenapa kita harus saling menghargai satu sama lain? Bagaimana kita memperlakukan orang tua, saudara, teman, bahkan guru? Kita tidak butuh orang seperti Stephen Hawking untuk menjawab itu semua.

Komunisme sendiri merupakan sebuah ideologi, turunan dari sosialisme Karl Marx. Secara historis, ideologi ini merupakan satu-satunya tandingan dari ideologi liberal ala sekutu, yang dikenal dengan Perang Dingin. Meski akhirnya komunisme runtuh dengan secara simbolis melalui persitiwa bersatunya Jerman Barat dengan Jerman Timur hingga jatuhnya Uni Soviet. Komunisme yang dekat dengan Sosialisme, dalam diimplementasikan sangat ketat dengan slogan ‘sama rata, sama rasa’ dan tertutup. Sebagai peletak dasar Sosialisme, Karl Marx sebenarnya pernah memberikan kritik bahwa untuk apa dunia ini memiliki banyak filsuf-filsuf namun tidak memberikan ‘jawaban secara riil’ mengenai permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh sebab itu, dapat kita pahami bahwa logo dari Partai Komunis Indonesia waktu itu ialah palu dan arit, yang secara sederhana diartikan sebagai partainya ‘wong cilik’.

Sementara liberalis-kapitalis, lahir akibat keinginan akan kebebasan yang sebesar-besarnya. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah (meminimalkan campur tangan negara). Muaranya adalah munculnya paham kapitalis melalui mekanisme pasar (pemilik modal) yang memiliki peran terpenting dalam ideologi ini. Minimnya peran negara kala itu membuat monopoli dan dominasi pasar terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terperosok.

Membumikan Pancasila
Akan tetapi, mari kita tepikan itu semua, karena kita tidak berada pada ideologi liberal-kapitalis maupun ideologi sosialis. Diagnosa saat ini terhadap Pancasila adalah bahwa Pancasila sudah tidak lagi berada ditengah-tengah, tidak dalam arti netral sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dan seperti yang dikonsepsikan oleh Franz Magnis Susesno. Bahwa Pancasila terkadang terlalu ke ‘kanan’ atau bahkan terlalu ke ‘kiri’. Kemudian apa yang harus dilakukan? Tidak perlu berdebat panjang soal ideologi-ideologi ini. Terlalu banyak energi dihabiskan untuk melawan bangsa sendiri melalui perang ideologi. Bahwa bangsa ini sudah 71 tahun hidup secara berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berkerakyatan, dan berkeadilan secara harmonis. Maka tak perlu lagi ideologi-ideologi ini dipertentangkan dan dipertanyakan. Kita bumikan saja Pancasila, ideologi ini sudah terlalu lama berdiam diri dalam diri kita sebagai sebuah teori dan konsep belaka. 

Karena secara teori, kita hanya harus rajin membaca beratus halaman dan berpuluh eksemplar literatur yang membahas seluk beluk Pancasila, namun membumikannya hanya perlu satu kontinuitas implementasi/pengamalan dari nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sulitkah? Memang, namun ingat, karena inilah kita MERDEKA.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun