Ribut-ribut mengenai kasus debt collector Citibank yang diduga melakukan kekerasan terhadap Nasabahnya hingga meninggal dunia, jadi tergerak dalam pikiran untuk menulis salah satu kisah menarik saya ketika membantu salah seorang Nasabah Citibank (sebut saja namanya Ardy) dalam menyelesaikan permasalahannya.
Karena memang tidak terjadi apa-apa dengan Nasabah yang saya bantu tersebut, bahkan sebaliknya bisa dibilang happy ending, saya jadi tidak bermaksud hendak mempersamakan kasus yang mau ceritakan dengan kasus yang saya sebutkan di atas.
Paling yang mungkin bisa saya persamakan adalah faktor psikologis Nasabah yang karena sesuatu hal disuruh datang ke Citibank. Ada kesan seolah merasakan ketakutan yang amat sangat. Sehingga dalam contoh kasus nasabah yang minta untuk saya bantu, meskipun sudah saya yakinkan tidak seburuk yang dibayangkan, tetap saja Nasabah tersebut tidak yakin.
Entahlah, apa yang dia bayangkan. Dia sendiri yang lebih tau. Karena dia sendiri yang mengalami apa yang dialaminya ketika dihubungi debt collector Citibank yang menyuruhnya untuk datang.
***
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, karena bentuk bantuan yang dia minta untuk saya berikan ketika itu hanya untuk mendampinginya dan mengingat ada kesibukan yang tidak bisa saya tinggalkan, sebenarnya saya sudah berupaya untuk menolak. Menolak dalam arti untuk turut hadir secara phisik. Kalau dalam bentuk komunikasi langsung via telepon atau sms saya tetap siap untuk membantu, seperti yang sering saya lakukan kepada yang lain kalau saya tidak punya waktu untuk hadir langsung. Masalahnya kesibukan saya tersebut berada di luar Jakarta yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam dengan perjalanan kereta api. Belum dari dan ke stasiun kereta apinya.
Namun, sebagaimana juga yang sudah saya singgung di atas, karena permintaannya yang amat sangat, membuat saya merasa berkewajiban untuk menemaninya. Memenuhi ultimatum sang debt collector untuk datang ke “Markas” mereka dengan menyebut nama salah satu ruangan yang ada di lingkungan kerja areal Citibank Menara Jamsostek.
Satu hal yang membuat saya tidak sampai hati untuk menolak. Dia punya orang tua yang sudah renta dan mulai sakit-sakitan. Dan kalau ada debt collector datang, hanya orang tuanya tersebut yang ada di rumah. Permasalahannya lagi, dalam waktu dekat dia harus ke Aceh untuk ikut temannya yang bisa menyediakan job yang sesuai untuknya disana, karena setelah keluar dari tempat kerjanya sekitar setahun yang lalu, tempat kerja ketika dia mengajukan aplikasi Kartu kredit dan disetujui, dia masih belum mendapatkan pekerjaan baru dan menjadi salah satu penyebab kartu kredit tersebut macet.
Dia bermaksud, kalau ada titik temu, dia bisa menyelesaikan terlebih dahulu permasalahannya sebelum berangkat ke Aceh, sehingga ibunya yang sedang sakit-sakitan tersebut bisa terhindar dari ulah sang Debt collector yang rajin menekan dan menerornya.
****
Karena jalan yang saya lalui dengan relatif lancar, saya jadi tiba terlebih dahulu dari dia, hampir setengah jam dari waktu yang telah kami sepakati sebelumnya. Dan karena selisih waktu yang relatif lumayan tersebut, terutama setelah ada konfirmasi dari dia posisinya masih memerlukan waktu yang sekitar setengah jam lagi untuk tiba ditempat, saya memutuskan untuk masuk terlebih dahulu ke Banknya. Sebelumnya kami janji ketemu di luar, supaya bisa berkenalan terlebih dahulu karena memang pada dasarnya belum saling kenal, termasuk membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan sebelum bertemu dengan debt collector atau pihak banknya. Namun rasa terik diluar mendorong saya untuk langsung masuk terlebih dahulu ke banknya. Lalu supaya dia tidak kesulitan mencari saya kalau sudah tiba, saya menginformasikan via sms posisi saya duduk, demikian juga dengan ciri-ciri saya.
***
Butuh waktu sekitar setengah jam lagi menunggu dipanggil setelah Ardynya datang. Setelah dipanggil, kami diajak masuk ke ruangan yang luasnya kurang lebih 2 x 2 meter.
Seperti yang sudah sering saya alami, tak mudah untuk langsung menemui titik temu pada saat negosiasi pertama. Kadang debat kusir tak bisa dihindarkan. Demikian juga dengan kondisi vakum karena tidak ada titik temu. Bahkan tak jarang pulang dengan tangan hampa. Kecuali informasi berupa angka-angka mengenai jumlah kewajiban yang sudah timbul dan harus dibayar.
Demikian juga dengan permasalahan Ardy ini. Hampir tidak ada titik temu. Masing-masing bertahan pada posisinya. Dari pihak bank bertahan dengan alasan dia hanya petugas yang hanya bisa menjalankan sesuai batas wewenang yang ada pada dia yang kalau dia langgar pasti kena sanksi. Di pihak lain, Ardy bicara soal kemampuannya yang kini menjadi sangat terbatas sehingga hanya bisa mengalokasikan dana sesuai yang tersedia.
***
Akhirnya titik temunya ada. Yaitu setelah saya minta waktu dan ruangan itu untuk berdiskusi sekitar lima menit dengan Ardy, jalan keluarnya segera ditemukan. Permasalahan sebenarnya, dananya memang ada sebesar nilai terakhir yang disampaikan pihak bank. Hanya karena untuk memikirkan jasa saya yang menurut Ardy harus dia alokasikan sebagai kompensasi waktu, energi dan biaya transportasi pulang pergi yang sudah saya keluarkan untuk membantu dia, membuat dia mencoba mempertahankan jumlah yang dia sebutkan sebagai kemampuan maksimal ke pihak bank. Atau, dia membayar jasa saya tapi dia tidak punya uang lagi untuk biaya transport ke Aceh padahal dia harus segera berangkat sesuai jadwal yang diberikan kepadanya.
Mendengar hanya itu permasalahannya, saya langsung bilang kepadanya bahwa untuk saya tidak usah dipikirkan dulu, nanti saja kalau sudah ada rezekinya.
Sambil mengucapkan kata-kata itu, segera saya persilakan pihak banknya untuk menindaklanjuti hasil negosiasi terakhir tersebut yang segera juga dilaksanakannya.
***
Karena sudah ada titik temu, dan penyetoran sudah dilakukan tinggal hanya menunggu dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai bukti telah melakukan penyelesaian, saya mohon ijin untuk pulang terlebih dahulu, karena saya harus mengejar kereta api terakhir untuk pulang, atau kalau tidak saya harus naik bus yang sempit dan pengab selama kurang lebih 6 jam.
Ketika dia menanyakan kembali bagaimana mengenai jasa saya, sambil menepuk bahunya untuk menenangkan perasaannya, lalu meraih tangannya untuk bersalaman pamit, saya katakan kembali seperti yang sudah saya ucapkan sebelumnya yaitu tidak usah terlalu dipikirkan. Nanti saja kalau sudah ada rejekinya. Siapa tahu kelak menjadi orang yang kaya raya, lalu bisa memberi lebih dari yang dibayangkan.
Dan, karena sambil mengucapkan kata-kata saya itu saya langsung jalan melangkahkan kaki menuju lift untuk turun, dia hanya bisa bengong jadinya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Saya sendiri?
Dengan enjoy saya menikmati perjalanan untuk pulang. Meski harus terlebih dahulu tiga kali naik Bus Way dari Menara Jamsostek ke Stasiun Gambir sebelum berlanjut dengan naik Kereta Api menuju tujuan akhir saya yang akan tiba ditempat sekitar jam 10 malam, namun semuanya itu tidak menjadi beban bagi saya.
Saya enjoy karena senang rasanya bisa membantu.
***
Oh ya. Entahlah ini penting atau tidak. Dari cerita yang dia sampaikan kepada saya ketika sedang menunggu giliran untuk dipanggil, dia menceritakan, bahwa sekitar setahun yang lalu dia sudah pernah minta bantuan ke salah satu ke Firma Hukum. Namun kecuali hanya tembusan-tembusan somasi yang di peroleh, yang dia tunjukkan juga kepada saya, hasilnya tidak ada. Debt collector tetap datang menagih. Pada hal dia sudah mengeluarkan dana sebesar 10 % dari total kewajiban yang mintas diurus untuk dinegosiasi oleh Firma Hukum tersebut.
Sudah jatuh, tertimpa tangga.
***
Bagi yang ingin konsul / dibantu menyelesaikan contoh kasus spt ini bisa menghubungi kami via WA di nomor 081139000996
Sumber: Media Nasabah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H