Surya tenggelam mengajak senja untuk selesa di batas malam. Ada semburat lara menebar gulana pada jiwa Juwita. Hari telah sampai di penghujung tahun 2024. Telah banyak cerita tercipta di setiap lembar perjalanan. Entah kisah sedih atau kisah bahagia yang mengundang tawa.
Juwita berjalan di antara desakan senja yang beranjak gelap. Hatinya terasa sesak. Ada rasa tertahan hingga menekan dalam jiwanya. Juwita harus menelan kepahitan dengan segala kepasrahan. Tak pernah ada yang salah dengan takdir Tuhan. Juwita berusaha untuk tetap tegar berdiri dan berjalan menjalani kehidupan.
Telah dua bulan dia harus menjalani pengobatan rutin. Vonis dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium telah membawanya pada kehidupan yang dirasanya begitu berat. Juwita harus merelakan semuanya, ikhlas menjalani kehidupannya yang harus berdampingan dengan kesakitan.
Kian hari rambutnya semakin rontok, dalam hatinya hanya bertanya "Apakah esok aku masih ada?"
Sejak vonis itu kerontokan rambutnya dirasa semakin menjadi. Keadaannya terasa cepat lelah, tubuhnya tak sekuat dulu ketika dia masih muda. Memang usianya beranjak senja, hampir mendekati kepala lima. Juwita hanya bisa menjalani semuanya penuh kerelaan dan kepasrahan.
Penyakit yang bersemayam dalam tubuhnya telah merubah segalanya. Dulu setiap perjalanan dapat dinikmatinya dengan penuh canda tawa. Sekarang Juwita hanya bisa tersenyum nanar untuk menyembunyikan keresahannya.
Dia tetap menjalani rutinitas dengan segala keyakinan jika keadaan akan menjadi lebih baik. Itupun jika dirinya kuat menjalankan setiap langkah yang harus dilaluinya. Namun dia selalu berpikir bahwa dia harus kuat.
Orang hanya bisa melihatnya tersenyum bahagia, itu sudah cukup baginya. Biarkan resah itu hanya berada di kedalaman hatinya. Walau pertanyaan itu selalu ada. "Akankah esok aku bisa sembuh?"
Entah pemeriksaan yang keberapa sore itu hasil USG masih menjelaskan jika penyakit itu masih saja bersemayam di tubuhnya. Juwita harus meninggalkan semuanya, meninggalkan segala kesukaannya. Sungguh menyedihkan, begitu dia berpikir.Â
Dalam hatinya kembali resah. Mengapa semua ini harus menimpaku, keresahan itu kian menekan perasaan. Rasanya dia ingin berteriak, namun apakah dia pantas untuk menghakimi Tuhan. Juwita hanya menunduk pasrah.