Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imajinasi Cinta

1 Mei 2020   14:30 Diperbarui: 1 Mei 2020   14:40 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Free image from Pixabay

"Aku rindu padamu", bisik Nira ketika sendiri selalu deretan kata itu yang terdengar lirih.
Mungkin semua ini hanya sebuah angan saja, namun sungguh berat artinya bagi seorang Nira. Sejak pertemuan mereka tak sedikit pun niat hati Nira untuk mencintainya. Semua mengalir seperti air mengikuti alurnya dari hulu ke hilir.
Tak ada yang istimewa dengan hubungan mereka hanyalah sebatas sahabat pena yang bersua di dunia maya. Dalam setiap perjumpaan hanyalah beradu kata dalam setiap canda. Semua hanya menjalin kata demi sebuah rangkaian indah persahabatan.
Semesta telah menjadi bait-bait rasa yang akhirnya mencipta rima yang begitu mesra. Keindahan alam telah menghanyutkan rasa dari hampa menjadi gelora asmara.
Perlahan tumbuh tersirami cumbuan hangat barisan kalimat yang saling bersahutan. Entah pagi, atau siang, bahkan hingga malam yang selalu melukiskan perasaan.
Bermula tak disadari hingga kemudian menggugah hati dan menyadarkan lamunan jika Nira berharap rasanya tak bertepuk sebelah tangan.
Pada setiap deraian hujan membasahi bumi, itu adalah curahan hati tentang sebuah kesunyian. Memendam sebuah rasa menjadi sebuah asa pada angan-angan. Nira menyimpan dan terus membenam dalam-dalam hingga pecah membelah sukma.
"Aku harus mengatakan yang sebenarnya," demikian dalam benak Nira berkata.
Disaat yang dianggap tepat Nira pun berniat mengungkapkan isi hatinya pada Kelana.

Malam itu, seperti biasanya pada temaram yang sunyi Nira hanya memandangi buku catatannya. Pada buku itu telah banyak kata mengurai indah tentang semesta.
Tulisannya tertata rapi seperti isi hatinya yang akhirnya ia putuskan tuk disimpannya rapat-rapat. Ya, pada akhirnya Nira membatalkan maksudnya untuk berkata jujur pada Kelana karena persahabatannya tak ingin hancur karena sebuah kejujuran yang mungkin tak diharapkan, begitu pikir Nira.
"Biarlah buku ini yang tahu tentang isi hatiku," kembali Nira selalu berbisik dalam hati.
Tatapan Nira semakin tajam pada buku, jemarinya terus menari menuliskan segala isi hati dalam barisan puisi.
Pada hujan ia titipkan rindu yang sendu. Kerinduannya yang kian deras seiring deraian yang kian lebat mengguyur bumi. Ketika hujan reda, Nira pun kembali memendam rindunya hingga ke ujung kalbu.
Nira tak ingin Kelana tahu tentang isi hatinya, walau pada setiap rima yang dituliskan oleh Kelana adalah tentang syair cinta yangbpenuh makna. Entah sebenarnya syair itu untuk siapa, namun yang jelas ketika syair itu didendangkan pada setiap malam telah menjadikannya terbuai asmara. Nira menahan rasa sekuat tenaga agar semua tetap baik-baik saja.
Jika hari dirundung sepi adalah dimana Nira berada pada sebuah penantian di tepi kerinduan. Tak ada sapaan lembut ketika mentari menyambut pagi, hingga siang yang menerjang gersang menjadikan Nira kepanasan oleh bara rindu yang tertahan.
Nira hanya menunggu dan menunggu hingga senja pun berlabuh bersama jingga. Nira masih berdiri saja di balik kaca jendela sambil menatap jauh pada sinar lembayung yang membuatnya murung.
"Tidakkah kau rasa sama denganku, duhai Kelana?" tanya Nira dalam hati.
Nira pun tersadar saat suara senja berkumandang di setiap penjuru. Ia pun beranjak pergi tuk segera berserah diri dalam pasrah dan doa pada Sang Illahi.
Untuk sejenak Nira bisa melupakan kerinduannya pada Kelana.

Sebuah karya indah telah tercipta sebagai pertanda kisah sahabat pena. Nira hanya memandangi gambar yang jelas membuatnya tersenyum lirih.
"Akhirnya aku pun bisa bersanding dengannya dalam sebuah jejak indah, walau itu hanya dalam sebuah buku", lagi-lagi Nira hanya berkata dalam hati saja.
Jauh dari dalam hatinya Nira sangat merasa bangga karena karya berdua ini akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Ia tak pernah bertatap muka sekali pun dengan Kelana, namun mengapa persahabatan mereka seperti nyata adanya. Nira hanya bisa melihat diri Kelana pada setiap bait-bait yang terangkai dengan waktu. Hari berganti hari diri Kelana semakin akrab di kehidupan Nira. Hingga suatu hari tanpa sadar Nira mengatakan sesuatu pada Kelana.
"Lana, entah mengapa rasa ini menjadi terasa aneh bagiku, selalu ada rasa rindu jika dirimu tak datang menyapa, apakah aku salah dengan rasa ini?" tanya Nira pada Kelana.
Dan itu mengejutkan Nira pada akhirnya, sedangkan Kelana hanya menjawabnya dengan santai saja.
"Tidak ada yang salah dengan perasaan."
Oh...oh... Nira merasa malu pada Kelana, mengapa ia harus mengatakan tentang ini. Namun semua harus ada kejelasan agar tidak ada kesalahfahaman.
"Maafkan aku, Lana." Akhirnya Nira berkata demikian.
"Kamu tidak salah, Ra." Jawab Kelana ringan saja.
"Kita jalani saja semua ini seperti biasanya agar kita bisa menikmati persahabatan kita, tentang rasa biarkan nanti menemukan jawabnya sendiri." Lanjut Kelana pada Nira.
Dan Nira coba memahami perkataan Kelana barusan, maksud apakah yang tergambar dari perkataan tadi, Nira pun menjadi bertanya-tanya.
"Ahh...seandainya aku tak mengatakannya tadi, mungkin takkan ada tanya seperti ini." Demikian pikir Nira.
"Sudahlah, jangan memperpanjang semuanya biarkan waktu saja yang menjawabnya." Begitu kata Kelana seperti enggan meneruskan pembicaraan tadi.

Setelah buah karya yang tercipta menjelma dalam persahabatan Nira dan Kelana, hanya kesunyian yang dirasakan Nira. Tiada lagi rima-rima indah melayang sepanjang siang, hingga malam pun datang hanya hening membersamainya.
Hingga larut menyelimuti kedinginan, Nira masih terpaku di sudut ruangan. Sesekali ia menatap tirai jendela yang berayun-ayun tersibak angin. Perlahan ia bangkit dari duduknya dan membuka tirai jendela, langit malam nampak murung tanpa kehadiran sang bintang. Sungguh malam yang kelam.
Nira tak lagi berharap rembulan kan hadir pada malam walau kerlipan bintang nampak dari kejauhan. Biarlah malam tetap indah walau hanya temaram menemaninya.
Dan seperti malam itu, Nira mencoba hadir menyapa Kelana. Sapaan pun disambut baik oleh Kelana walau kesannya hanya biasa saja Nira cukup senang. Ia sadar jika ucapan Kelana tempo hari telah menjawab semuanya. Waktu telah memutuskan semuanya dan Nira harus bisa menerimanya.
Untaian kata hanyalah rasa sesaat saja, tanpa maksud yang mendalam. Namun sayang Nira harus terbuai dengan cumbuan rindu yang menjadi candu. Dalam hatinya kini tertinggal sebuah kenangan tentang cintanya sebatas angan. Bait-bait yang tertinggal pun telah menjadi jejak antara cinta dan luka.
Mungkin cinta bagi seorang Kelana hanyalah seuntai kata yang tak bernyawa, hanya sepi dan mati. Namun bagi Nira cinta adalah sebuah puisi, ia begitu indah dalam rima walau akhirnya berujung luka tetaplah pernah ada bahagia bersamanya.
Cinta dan puisi adalah tentang rasa yang bisa hadir pada siapa saja dan dimana saja, perlu sebuah penghayatan untuk dapat memaknainya. Nira akan terus menyimpan rasa cintanya entah pada Kelana atau pada puisi yang sangat dicintainya.

Inilah kisah cinta sebatas angan.
Hanya sebuah imaji dan khayalan.
Cerita indah dalam lamunan.

Dok. Warga Kota
Dok. Warga Kota

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun