Banjir DKI 27 April 2019: 2 orang meninggal dan 2.370 jiwa mengungsi (CNBC Indonesia News)
Warga DKI kesulitan air bersih: Sebagian warga Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat mengeluhkan buruknya kualitas air tanah. Air tidak jarang mengeluarkan bau tak sedap dan keruh (medcom.id)
Ini hanya segelintir potret kecil kejamnya hidup di Ibukota negeri ini. DKI Jakarta memang hingga saat ini masih berkutat dengan masalah terkait air, dimana Ibu kota kita saat ini belum juga lepas dari masalah kebanjiran saat musim penghujan dan kelangkaan air bersih di musim kemarau. Permasalahan ini rutin terjadi setiap tahunnya dan menyebabkan banyak kerugian terutama dalam hal ekonomi.Â
Air yang seharusnya sebagai "public good" adalah milik kita bersama yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh semua warga DKI Jakarta. Namun, fakta di lapangan berbicara lain dimana masih terjadi privatisasi air bersih yang justru hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja. Lantas, bagaimana nasib warga miskin DKI Jakarta? Mereka tentu akan sangat jauh dari kata cukup untuk mendapatkan air bersih. Kenyataannya, lagi-lagi mereka yang akan menanggung beban lebih, dalam menghadapi kejamnya hidup di Ibukota negeri ini karena permasalahan terkait air.
Masalah banjir di DKI Jakarta sangatlah kompleks karena disebabkan oleh banyak hal. Kondisi ini memaksa banjir Jakarta tidak bisa diselesaikan dengan hanya satu solusi saja. Akan tetapi, diperlukan solusi yang saling terintegrasi satu sama lain.Â
Dalam rangka untuk melakukan perlindungan terhadap banjir di DKI Jakarta secara berkelanjutan, perlu untuk merunut akar masalah yang menyebabkan bencana ini rutin terjadi. Banjir DKI Jakarta tidak hanya dari sisi hilir saja, tetapi kontribusi banjir juga diakibatkan oleh pengaruh dari sisi hulu DKI Jakarta. Hal ini karena air hujan dari sisi hulu DKI Jakarta langsung dibuang sebagai air limpasan ke sungai dan tidak diresapkan ke dalam tanah akibat alih fungsi lahan di daerah hulu DKI Jakarta. Secara umum, air limpasan banjir di DKI Jakarta disebabkan karena 3 hal, yaitu:
Pertama, limpasan air hujan yang berasal dari perkotaan Jakarta itu sendiri yang besar karena air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah dengan baik, yang berdampak pada terbentuknya genangan atau banjir. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perkotaan sudah terjadi ahli fungsi akibat peningkatan ruang terbangun. Banyak ruang terbuka yang menjadi kawasan resapan air berubah peruntukannya. Air dibiarkan mengalir sia-sia dan menjadi aliran permukaan. Walaupun mengandalkan saluran drainase untuk mengalirkan air limpasan secepat mungkin ke sungai, tetapi fakta di lapangan saluran tidak cukup mampu menampung karena banyak saluran drainase yang tersumbat oleh sampah, bangunan liar, maupun saluran terputus. Luas hutan kota sebagai lahan peresapan juga hanya 182,54 Ha. Padahal, total luas daerah DKI Jakarta mencapai 662,33 km2 yang terdiri dari 44 kecamatan dan 267 kelurahan. Artinya, DKI Jakarta hanya memiliki hutan kota 0,275% saja dari total wilayahnya.
Kedua, limpasan air hujan yang berasal dari kawasan hulu yang semakin meningkat karena perubahan tata guna lahan di daerah hulu. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi kawasan resapan air berubah peruntukannya akibat peningkatan kuantitas ruang terbangun. DKI Jakarta sebenarnya merupakan wilayah dengan jumlah waduk/situ yang relatif banyak dan sungai atau kanal yang melewati wilayah DKI Jakarta sebanyak 17 sungai. Namun, sungai-sungai di DKI Jakarta tidak memiliki cukup kapasitas untuk mampu menampung dan mengalirkan air ke laut, karena limpasan air hujan dari hulu sangat besar, sementara daya resap sangat rendah akibat perubahan tata guna lahan. Hal ini semakin diperparah karena banyak sungai yang mengalami sedimentasi dan penyempitan akibat sampah dan bangunan liar (ilegal) yang berada di bantaran sungai.
Ketiga, limpasan banjir yang berasal dari pasang laut atau seringkali disebut dengan banjir rob terutama banjir yang sering terjadi di wilayah pantai utara DKI jakarta. Wilayah DKI Jakarta memang merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 7 meter di atas permukaan laut. Namun sebagian besar wilayahnya mengalami masalah penurunan permukaan (land subsidence) tanah di hingga bahkan mencapai 5 -- 10 cm/tahun, akibatnya 40% wilayah dari Jakarta berada di bawah permukaan laut. Sementara, sebaliknya permukaan air laut mengalami kenaikan akibat fenomena pemanasan global. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi beberapa puluh tahun ke depan, ketika banjir rob akibat air laut pasang bisa saja menenggelamkan wilayah pantai utara DKI Jakarta?
Sejalan dengan masalah banjir, krisis air bersih juga melanda DKI Jakarta dan menjadi masalah serius. Fenomena pertambahan penduduk di DKI Jakarta yang sangat pesat berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan air. Kondisi ini disebabkan karena DKI Jakarta menjadi destinasi unggulan bagi pelaku urbanisasi karena sebagai pusat ekonomi, bisnis, dan pemerintahan. Jumlah  penduduk  DKI  Jakarta pada tahun 2018 sudah mencapai 10.467,63 ribu  jiwa  dengan  laju pertumbuhan  penduduk  per  tahun sebesar 1,07 persen. Kepadatan  penduduk  DKI  Jakarta tahun 2018  juga sudah sangat kritis karena mencapai 15.804 jiwa/km2. Pertambahan penduduk akhirnya juga berpengaruh terhadap peningkatan kuantitas ruang terbangun. Banyak ruang terbuka berubah peruntukannya, sehingga mengakibatkan air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan, yang menjadikan penurunan cadangan air tanah di DKI Jakarta. Yang terjadi pada musim kemarau adalah krisis air, karena kebutuhan air bertambah tetapi ketersediaan semakin berkurang.
Sampai sejauh ini cakupan layanan air PAM baru mencapai 60% dari seluruh masyarakat DKI Jakarta atau baru sebesar 863.165 pelanggan, dimana air yang disalurkan baru mencapai 352,013 juta m3 dan kapasitas produksi air PAM mencapai 622,912 juta m3.Â