Mohon tunggu...
Puji Rismayanti
Puji Rismayanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekolah vs Orangtua

8 Oktober 2013   14:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381218906757316987

[caption id="attachment_293319" align="alignnone" width="297" caption="images by www.google.com"][/caption]

Memprihatinkan! Itu kalimat yang tepat untuk pendidikan di Negeri ini.

Tawuran, Sebuah bentuk kegiatan masa yang anarkis, brutal dan jauh dari nilai dan norma adalah salah satu bentuk cacatnya pendidikan di Negeri ini. Tradisi tawuran antar pelajar SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun ini menunjukkan minimnya moral para pelajar. Mereka yang seharusnya belajar menimba ilmu, meraih prestasi tetapi malah berbuat anarkis diluar sana.

Perilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera, tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia. Sudah banyak nyawa yang hilang akibat tawuran, beberapa bulan lalu seorang pelajar SMA 6, Alawy Yusianto Putra meninggal dunia ditempat kejadian akibat bacokan dari seoarang pelajar SMA lain. Ini hanya sebagian kecil kasus akibat tawuran, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dimana peran pihak sekolah? Kemana tanggung jawab orangtua?

Ketika ditanyakan tanggung jawab orangtua, mereka malah menyalahkan ke pihak sekolah, menurut mereka anak-anak telah mereka titipkan pada sekolah untuk dibimbing dan diarahkan agar memiliki moral yang baik. Pihak sekolahpun tak mau sepenuhnya disalahkan, karena kejadiannya berlangsung ketika diluar jam sekolah, sehingga sudah di luar batas pagar sekolah.

Ketika pihak sekolah dan para orangtua saling menyalahkan satu sama lain, lalu bagaimana nasib para pelaku kekerasan tawuran yang terancam dikeluarkan dari sekolah dan dihukum penjara?

Dengan pertimbangan bahwa mereka yang terlibat tawuran, adalah para peserta didik yang masih berusia remaja yang masih mencari “jati diri” dengan cara membentuk “geng” menunjukkan kehebatan dengan keegoannya. Banyak faktor yang melatarbelakangi para pelajar tawuran, bisa jadi karena faktor keluarga, faktor lingkungan sekolah, dan faktor lingkungan rumah

Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antar siswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang intensif pada semua pihak.

Belum adanya penanganan yang baik dari pihak sekolah ataupun orangtua, tentunya malah menjungkirbalikkan masa depan para pelajar sebagai anak bangsa. Padahal mereka masih harus duduk di bangku sekolah untuk menerima input, yang tentunya akan membentuk karakter yang baik. Bukankah penanganan dengan cara yang gegabah justru akan melahirkan bentukan-bentukan pelaku kriminal yang baru.

Lantas apa jadinya bila tindakan anarkis ini hingga sekarang masih sering kita jumpai di mana-mana. Bagaimana pula jika perilaku tak terpuji ini terus berlanjut hingga mereka duduk di bangku kuliah nantinya? Ini mungkin sebuah pertanyaan yang sebaiknya dipikirkan oleh pemerintah, Namun tak hanya semata-mata tugas pemerintah saja. Pihak sekolah, orang tua dan para pelajar pun seharusnya mulai memikirkan langkah yang konkrit untuk masalah ini. Sehingga permasalahan ini tidak menjadi momok bagi pendidikan negeri kita. Seharusnya kita sudah mulai memikirkan langkah yang jelas untuk menghilangkan tradisi buruk tawuran dikalangan para pelajar SMA ini.

Pendekatan ritual dengan pembuatan kesepakatan damai antar pihak sekolah yang berselisih saja tidak menjamin terpecahnya masalah. Perlu adanya pembelajaran bersama antara orangtua dan pihak sekolah. Mereka seharusnya tidak saling menunjuk dalam kasus ini, harus adanya relasi yang baik untuk kebaikan bersama. Mereka seharusnya menanamkan kedisiplinan yang ketat dan mendidik. Memberikan pengertian tentang menghargai sesama individu agar tidak terjadi saling melecehkan. Pendidikan karakter yang bermoral baik untuk membangun sikap damai sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga setelah mereka kembali ke jenjang bangku sekolah yang lebih tinggi mereka akan membentuk dirinya sendiri menjadi pelajar bahkan mahasiswa yang berpendirian anti tawuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun