I23rf.com
Kemarin saat mengunjungi orang tuaku  di Bandung, kendaraan kami melintasi jalan Saritem yang terletak dekat dengan stasiun kereta api. Tanpa dapat ditahan lagi kenangankupun melayang ke puluhan tahun silam, saat saya masih duduk di Bangku SMA. Saya bersekolah di SMAN 4 Bandung di jalan Gardujati, yang lokasinya berdekatan dengan jalan Saritem. Oh iya, tentu saja saya harus menjelaskan terlebih dahulu kepada teman-teman, mengapa saya merasa perlu menuliskan pengalaman saya yang ada hubungannya dengan jalan Saritem ini.
Salah satu Kompleks Lokalisasi Tertua di Indonesia Saritem adalah nama sebuah jalan atau gang di dekat pusat kota Bandung, yang sejak lama dikenal sebagai pusat pelacuran atau lokalisasi PSK. Usia aktifitas jual-beli syahwat di kompleks itu sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu, yakni saat pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan rel kereta api pada pertengahan abad ke-19. Semenjak itu Saritem dikenal luas sebagai pusat transaksi seks terbesar di kota Bandung, yang namanya terkenal hingga ke mancanegara, sama seperti tersohornya gang Dolly di Surabaya.
Saya sendiri sebagaimana gadis-gadis baik-baik lainnya, kalau tidak sangat terpaksa, akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari jalan Saritem itu. Â Selain dilarang oleh orang tuaku, saya sendiripun merasa risih jika harus melalui jalan tersebut. Sebetulnya saya punya beberapa teman sekolah yang tinggal di Saritem, karena memang tak semua rumah di Saritem dijadikan tempat prostitusi. Banyak juga penduduk biasa, yang baik-baik, yang tinggal disana.
Disenyumin sama Oom-Oom Mupeng Kadang  kalau saya harus berkunjung ke rumah temanku di Saritem untuk mengerjakan tugas sekolah umpamanya, saya harus mengambil jalan memutar yang lumayan jauh agar saya tidak memasuki mulut jalan Saritem dari arah depan. Lebih baik kehilangan waktu setengah jam , daripada harus mendapat lagi pengalaman yang bikin kesal. Gimana nggak kesal, kalau aku masuk lewat jalan masuk Saritem, aku suka disenyumin sama Oom-Oom yang mau “ jajan “ disana. Aku pernah pergi ke rumah temanku dan masuk melalui mulut jalan utama. Aku kan kalau jalan ya santai saja, kadang tanpa menengok kiri-kanan, asyik saja dengan pikiranku, dan fokus pada hal-hal yang harus aku kerjakan. Tak aku perhatikan laki-laki yang banyak berdiri berjajar di sepanjang jalan itu, dan suit-suitan yang diarahkan padaku. Yah aku pikir, biasa kan laki-laki suka suit-suit sama anak gadis yang lewat di hadapannya.Lagi pula aku sudah biasa disuitin gitu, namanya juga cewek imut, jadi aku sudah kebal, dan cuek aja.
Tapi lama-lama aku menengok juga ke arah mereka. Kulihat mereka tersenyum ramah padaku, yang aku balas dengan senyuman juga. Asli aku polos banget saat itu. Aku pikir kalau ada orang tersenyum dan bersikap ramah, ya sudah, balas senyum saja. Sama sekali nggak kepikiran hal-hal di luar itu. Tapi lama kelamaan aku jadi mikir juga, kok semua laki-laki, bapak-bapak, mas-mas, akang-akang, oom-oom yang berpapasan denganku di gang itu, semuanya tersenyum padaku ? memangnya mereka mengenalku ? atau mereka menganggap diriku mirip artis terkenal ? mirip Dian Pisesha barangkali ? ah mana mungkin aku mirip Dian Pisesha. Aku kan mirip Endang. S. Taurina ...
Dan saat aku tersadar, halaaahh ...!! aku langsung ngacir  berjalan setengah berlari ingin segera sampai ke rumah temanku. Ah sial, rupanya Oom-Oom itu tersenyum-senyum padaku sebab mereka mengira aku adalah salah satu penghuni Saritem yang bisa mereka pakai. Hiiiy .. !  jijay banget kann ?. ih amit-amit deh, sori-sori jek la yaaww ..
Ditawar sama Oom Senang
Cuma diajak senyum sih masih mending. Ini aku pernah sampai ditawar coba. Jadi gini ceritanya. Waktu SMA dulu aku suka pergi dan pulang sekolah dengan mengendarai bus kota yang letak haltenya berdekatan dengan jalan Saritem. Suatu sore sepulang kegiatan ekskul kalau tidak salah, aku berdiri sendirian di halte itu, menanti bus kota langgananku  untuk membawaku pulang ke rumah. Kebetulan waktu itu aku tidak memakai seragam putih abu-abu, tetapi memakai "baju bebas" berupa celana panjang jeans dan kemeja lengan panjang yang lengannya digulung sampai ke bawah siku, dan menyandang tas ransel di salah satu bahuku, seperti lazimnya pakaian anak-anak remaja SMA saat itu.
Lagi asyik berdiri gitu, nggak ada hujan nggak ada angin, tiba-tiba sebuah sedan menepi ke arah kiri dan berhenti tepat di sampingku. Kulihat pengemudinya seorang Oom-Oom yang berpenampilan perlente tapi rada kampungan. Dia membuka kaca jendela depan, melongokkan kepalanya yang jelek dan menyapaku ramah. " Ikut yuk Teh, 50 ribu ", katanya sambil telunjuknya memberi isyarat agar aku masuk ke mobilnya.