Mohon tunggu...
Puji Hastuti
Puji Hastuti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Hanya Omong-omong Biasa"

8 Desember 2015   15:57 Diperbarui: 8 Desember 2015   16:07 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ga usah dibesar-besarkan, ini kan hanya omong-omong biasa”. “Biasalah, itu kan hanya gurauan saja”.

Sepertinya kalimat seperti itu akhir-akhir ini sering kita dengar. Sebuah pernyataan yang sepertinya menganggap apa yang keluar dari lisan kita bukanlah sesuatu yang berat. Bukan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Bukan sesuatu yang memberi dampak kepada sesama di lingkungan sekitar.

Sepertinya ada yang terlupakan, bahwa apapun yang keluar dari lisan kita baik dalam keadaan tenang, sabar, sadar, senda gurau maupun marah harusnya tetap terjaga. Dalam pepatah Jawa ada yang mengatakan “ Ajining diri soko lathi”. Bukan berarti harga diri ada pada keindahan lidah, yang untuk memperindahnya kadang kala ada juga yang memberikan tindik dan dipasangi perhiasan di sana. Bukan, bukan seperti itu kelihatannya.  

Harga diri itu ternyata berasal dari lisan kita. Pada ucapan kita, pada kata-kata kita, pada pembicaraan –pembicaraan kita, pada pernyataan-pernyataan kita.  Apakah ucapan, kata-kata, pembicaraan, pernyataan yang kita keluarkan bisa asal saja? Bukankah mulut, adalah mulut kita, Bukankah lidah adalah lidah kita? Mengapa orang lain harus berurusan dengan ucapan, kata-kata, pembicaraan, pernyataan yang kita sampaikan ?

Andaikan kita bisa sebebas itu, andaikan kita bisa sevulgar itu, andaikan kita bisa berekspresi dan mengeluarkan ucapan, kata-kata, pembicaraan, pernyataan  dari mulut tanpa pertanggungjawaban, mungkin sudah hancur dunia ini dari jauh sebelum kita lahir. Bagaimana tidak ?

Lidahnya setajam pedang, mengiris hati yang mendengarkan. Lidahnya setajam peluru, menembus langsung ke jantung. Sakitnya tuh di sini, jauh menusuk ke dalam hati, walau hanya berupa untaian kata, yang meluncur tanpa dicerna. Namun akibatnya membakar hati, mengguncangkan dada, menggelorakan amarah hingga nyaris tak sadar dicabutnya pedang karena merasa harga dirinya dinjak-diinjak oleh sebuah ucapan.Yang dikiranya hanya ucapan biasa, ucapan yang hanya berupa omong-omong saja, ucapan yang hanya senda gurau saja.

Untuk itu hati-hati dengan lisan. Jagalah ucapan. Dimanapun dan dalam keadaan apapun. Karena bisa jadi ucapan yang kita rasakan biasa ternyata menyakitkan sesama. Karena bisa jadi ucapan yang kita bahasakan dengan senda gurau mengandung maksud yang sesungguhnya. Ucapan yang sebenarnya serius namun kita bahasakan dengan tertawa.

Kita tidak mengerti dengan sesungguhnya isi hati. Kita tidak tahu dengan niat yang tersembunyi. Kita tidak mengerti dengan bahasa hati. Bahasa hati tak bisa ditebak, bahasa hati tak bisa didengar. Kita hanya bisa menebak dan mendengar apa yang sudah keluar. Dan apa yang sudah keluar tak bisa ditelan lagi. Apalagi kalau sudah sampai menyakiti. Akan membekas di sanubari, tak mudah hilang walau waktu berbilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun