Mohon tunggu...
Dini Pujiarti
Dini Pujiarti Mohon Tunggu... Penulis - Orang biasa, Indonesia

I Love nature, art, sastra, lingkungan, biologi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Desa Sarang Walet

8 Juli 2020   11:39 Diperbarui: 8 Juli 2020   11:46 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar google earth

Siapa yang tidak kenal dengan Walet atau dalam bahasa latin disebut dengan Collocaliini. Burung dari famili Apodidae ini merupakan salah satu jenis burung yang beberapa tahun belakangan marak dibudidayakan. Sarang burung walet dapat dikonsumsi dan memiliki berbagai manfaat kesehatan bagi tubuh. 

Sudah banyak penelitian yang membahas tentang kandungan gizi dari sarang burung walet. Oleh karena itu harga dari sarang burung ini cukup tinggi dan lumayan menggiurkan. Harganya bisa mencapai belasan juta perkilogram, tergantung kualitas dan permintaan pasar. Ya, kini sarang burung walet memiliki pasar tersendiri dan peminat tertentu.

Akan tetapi, pada kesempatan kali ini penulis tidak membahas mengenai manfaat sarang burung walet atau harganya, melainkan dampak bangunan-bangunan yang menjadi tempat budidaya walet bagi lingkungan, serta apa yang akan terjadi jika semakin banyak orang yang membudidayakan walet?

Desa Sungai Paring mendadak menjadi desa dengan gedung-gedung tinggi walaupun tidak sampai mencakar langit. Bukan karena sudah modern atau maju, tapi karena banyaknya masyarakat yang membudidayakan walet. Desa ini terletak di Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. 

Mayoritas masyarakat di desa ini bekerja sebagai penurih atau petani karet dan petani rotan. Semakin berkembangnya zaman dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup membuat beberapa masyarakat bergeser haluan, untuk mencari penghasilan tambahan, karena harga karet dan rotan yang tidak menentu, lebih sering turun dibandingkan naik. Apalagi disaat pandemi COVID-19 melanda, banyak orang yang berhenti menjadi petani dan mencari alternatif lain, salah satunya pengusaha walet. 

Berikut beberapa gambar yang diambil dengan google earth.

tangkapan layar google earth
tangkapan layar google earth
Gambar di atas, masih sebagian, untuk lebih lengkap bisa dilihat dari google earth atau langsung ke lokasi. Masyarakat berlomba-lomba membangun gedung tinggi dengan harapan walet sudi membuat sarang di dalamnya. 

Tentu modalnya tidak sedikit, siap rugi di awal untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Tapi ada juga beberapa pengusaha yang rugi di awal dan di akhir, karena waletnya bermigrasi. Sehingga gedung-gedung itu hanya menjadi gedung kosong tak berpenghuni. Sebenarnya bukan hanya Desa Sungai Paring, desa lain juga banyak gedung walet.

Bagaimana mengundang walet datang ke gedung itu? Ampli pemanggil walet jawabannya, jadi ini merupakan alat yang berisikan audio atau suara burung-burung yang berkicau, sehingga menarik perhatian si walet untuk datang. 

Satu gedung walet saja sudah berisik, bayangkan jika dalam satu desa terdapat puluhan gedung walet, bahkan dalam 1 RT hampir 20 sarang walet. Berapa dB polusi suara yang dihasilkan? Siang malam, alat itu terus bekerja, walaupun saat malam hari volumenya memang diturunkan, tapi tetap saja ini mengganggu.

Dewi Anjani, ibu rumah tangga kelahiran 88 merupakan salah satu warga di Desa Sungai Paring, yang rumahnya dikelilingi sarang walet tetangga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun