Mohon tunggu...
puji ana
puji ana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu

12 Agustus 2018   14:11 Diperbarui: 12 Agustus 2018   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Pujiana

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengharuskan terpenuhinya kuota minimal 30 persen untuk perempuan. Langkah ini dinilai tepat karena selama ini tingkat representasi perempuan di lembaga penyelenggara pemilu masih sangat rendah. 

Kebijakan ini menjadi salah satu bentuk diskriminasi positif untuk memberikan kans yang lebih besar agar perempuan dilibatkan secara riil dan mau terlibat dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Fakta bahwa perempuan merupakan pemilih dengan jumlah yang besar dan potensial, namun sangat disayangkan apabila keterlibatannya sebagai penyelenggara masih minim. 

Keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara tidaklah untuk menggeser peran laki-laki melainkan justru akan memberikan warna yang berbeda dalam pengambilan keputusan, dan untuk mendorong perempuan menjadi pemilih yang cerdas. Upaya ini perlu didukung dengan memprioritaskan perempuan dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu mulai dari level paling bawah hingga atas.

Pemenuhan hak asasi perempuan di wilayah publik dapat merupakan pemenuhan hak warga negara yang dijabarkan dalam UUD 1945 yang menjadi norma dasar tertulis dalam sistem hukum Indonesia. 

UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM secara khusus memberikan jaminan harus terpenuhinya keterwakilan perempuan dalam lembaga publik baik dalam sistem pemilihan umum, kepartaian, legislatif, eksekutif dan yudikatif sepatutnya dipenuhi secara konsisten dalam tataran praksis. 

Pemerintah sendiri telah meratifikasi instrumen penting dalam perjanjian internasional yakni Konvensi Hak Politik dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Dua konvensi tersebut perlu menjadi rujukan utama dalam mengimplementasikan hak perempuan di sektor publik di berbagai aturan hukum yang ada.

Pada kenyataannya memang tidak mudah menerapkan pemenuhan hak perempuan di lembaga penyelenggara pemilu. Maka wajar apabila sedikit perempuan yang dapat lolos dan terpilih. 

Sebut saja keterlibatan perempuan sebagai anggota KPPS, PPS, PPK, Panwas hingga KPU dan Bawaslu masih saja menjadi kelompok minoritas dibandingkan dengan laki-laki. Kalau pun ada rata-rata hanya satu orang yang dapat terlibat menjadi bagian. 

Taruhlah jika ada banyak calon dari unsur perempuan biasanya pemenuhan kuota 30 persen hanya diambil dalam jumlah minimal karena yang diambil adalah batas minimalnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun