Mohon tunggu...
Puji Astutik
Puji Astutik Mohon Tunggu... -

AKU HANYALAH PEREMPUAN BIASA yang mencoba untuk berjalan dalam perjalann hidup ini,,,,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah itu Butuh Tekad, Bukan sekedar Biaya

25 Mei 2016   16:40 Diperbarui: 25 Mei 2016   16:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilahirkan sebagai anak seorang buruh tani memang bukan pilihan saya. Tetapi saya memilih bangga dengan presikat tersebut karna orang tua saya bukan koruptor. Meskipun demikian saya bersyukur, alhamdulillah, dengan perjuangan saya bisa masuk SMA yang cukup favorit di daerah saya dan bisa lulus dengan segala keterbatasan biaya. Suatu ketika menjelang kelulusan SMA tiba, beberapa teman saya sudah mendapat perguruan tinggi favorit lewat jalur SPMB. Sedih memang ketika teman-teman sudah mendapatkan tepat kuliah yang menjadi impian dan beberapa lagi sedang memikirkan kemana mereka harus kuliah sedangkan memikirkannya saja rasanya “diharamkan” bagiku.

Saat itu ibu saya harus bolak balik periksa karena penyakit diabetes mellitus yang dideritanya, sedangkan penghasilan ayah saya hanya pas-pasan, pas untuk makan dan minum sudah Alhamdulillah. Lantas berfikir untuk kuliah saja saya pun tidak bisa. Jika ditanya keinginan saya waktu itu “Apakah kamu ingin melanjutkan kuliah?” tentu dengan lantang saya akan menjawab “IYA” sayangnya tidak ada yang bertanya demikian. Berbagai jenis beasiswa S1 sudah saya coba untuk apply dan semuanya gagal. Darisitu sirna sudah harapan untuk kuliah.

Sebagai seorang anak buruh tani kenapa sih saya ngotot ingin kuliah sedangkan situasi sebenarnya tidak mendukung? Alasannya simple, kala itu hanya sedikit dikalangan desaku yang mengenyam bangku kuliah. Bahkan banyak diantara mereka yang hamil sebelum nikah dan putus sekolah karena harus bekerja. Tujuan saya adalah memberi inspirasi bagi mereka akan pentingnya pendidikan bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka bahkan bagi bangsa ini. Dengan semangat itulah saya pun bertekad untuk mengejar bangku kuliah.

Setelah saya sadar bahwa saya tidak bisa kuliah tahun tersebut akhirnya saya bekerja di salah satu perusahaan distributor di kota lain yang tak jauh dari tempat tinggal saya. Anehnya selama bekerja di otak saya masih terpatri keinginan untuk kuliah. Selain itu, sebagian besar dari gaji saya tersebut juga saya sisihkan untuk kuliah. Akhirnya selama 1 tahun penuh saya pun mempelajari soal-soal STAN dengan harapan bisa kuliah gratis disana. Harapan itu sirna ketika STAN tak kunjung membuka pendaftaran dan tersiar kabar bahwa STAN tidak menerima mahasiswa tahun tersebut. Akhirnya saya pun mencoba mendaftar SNMPTN secara iseng, tidak diterima ya bukan rejeki di terima ya Alhamdulillah. Di SMA saya ambil jurusan IPA sedangkan untuk SNMPTN saya mengambil minat bidang IPS pikiran saya waktu itu karena rumit kalau harus belajar fisika dan kimia lagi.

Allah pun berkata lain. pengumuman SNMPTN pun dapat dilihat dan saya pun di terima di universitas Brawijaya, Malang dengan jurusan Manajemen. Senang? Tentu saja tetapi dalam benak saya berfikir bagaimana biayanya nanti? Orang tua tak mungkin mampu. Karena ini kuliah regular tidak bisa sambil bekerja. Ya, benar bahkan orang tua sempat tidak mengijinkan saya untuk kuliah di kampus tersebut. Karena pada dasarnya saya nekat, dengan modal uang tabungan Rp 1.800.000,- saya berangkat untuk daftar ulang dan menginap di kost salah seorang teman SMA saya yang lebih dulu kuliah disana.

Tau nggak sih? Untuk almamater, uang perpus, dan sebaginya saya hanya mempu bayar 300 ribu. Sisanya saya ajukan penundaan. Sedangkan untuk uang DPP (semacam uang gedung) saya bayar 100 ribu dari total pengenaan Rp 1 juta. Sisa tabungan saya, saya gunakan untuk biaya hidup. Untuk SPP saya mendapat SPP Rp 0,- padahal saya bukan bidik misi lho. Untuk uang buku, saya hanya bermodal KTM terregistrasi untuk bisa masuk perpustakaan dan meminjam buku disana.  Selama kuliah Alhamdulillah IPK saya cukup baik dan bisa mendapatkan beasiswa hingga lulus, lumayan untuk biaya hidup.

Alhamdulllah, Allah menjawab tekad saya tersebut, Alhamdulillah saya pun juga dapat lulus dengan predikat cum laude, Alhamdulillah semoga Ayah saya bangga di alam sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun