Mohon tunggu...
Puji Lestari Tarigan
Puji Lestari Tarigan Mohon Tunggu... Dosen - 교수

Voyager of destiny~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Crimson

11 Februari 2023   17:51 Diperbarui: 11 Februari 2023   19:40 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Pukul 02.00 dan ada yang mengetuk jendela seperti biasanya. Tidak lain dia adalah Pak Satya. Aku membuka jendela dan memintanya menunggu. Aku keluar dengan jaket parasut dan tas ransel, seperti biasanya.

              "Kali ini kita sebaiknya kita mengitari belakang kampus sekali lagi."

              "Tapi menurutku, sepertinya bukan di sana Pak. Firasatku mengatakan sebaiknya kita melihat-lihat di samping laboraturium."

              Akhirnya kami memutuskan untuk berpencar dan bertemu di Fakultas Ilmu Budaya. Aku membawa buku catatan yang sudah penuh dengan coretan yang semakin lama semakin membingungkan. Pak Satya sampai menyuruhku untuk membuangnya saja, karena akan menyusahkan. Tapi aku masih membawanya dan berharap mendapat petunjuk besar dari apa yang telah kukumpulkan.

              Kami bertemu di dekat pintu masuk kelas dan menyadari bahwa tidak ada hal baru yang kami temukan. Ini sudah sekitar tiga bulan sejak aku dan Pak Satya memutuskan untuk berkoalisi. Saat aku menemukan semacam petunjuk yang terlipat rapi di dalam kotak barang berhargaku. Aku tahu itu pasti dari mendiang Ayah. Lalu ketika aku menanyakan beberapa hal ke Pak Satya, dia terkejut. Bisa kau tebak kalau dia juga punya kertas yang sama dan juga belum mengerti isinya. Tapi dia mendapatkannya dari mendiang Kakeknya. Lebih jelasnya, dia mendapatkan dari sekotak buku peninggalan Kakeknya dan kertas itu terselip di antara halaman Forbidden Archeology: The Hidden History of the Human Race.

              Kedua kertas itu berisikan teka-teki yang mengarah ke sesuatu. Tapi seperti yang kau tahu, sudah selama ini kami belum menemukan apapun yang berarti. Kami hanya tau bahwa ada tanda batu yang sama dengan yang ada di gerbang kampus.

              "Aku masih belum menyerah Pak."

              "Aku tau betapa bersemangatnya kau, tapi ini sudah menghabiskan waktu kita. Mari kita membuat batas untuk ini."

              "Baiklah. Jika sampai minggu depan kita masih tidak menemukan apapun mari kita berhenti, sejenak, barangkali."

              "Hah, baiklah. Kau juga harus memikirkan ujian."

              Sebelum matahari terbit, kami sudah kembali. Beberapa hari berlalu. Pada suatu siang kami sepakat untuk bertemu di perpustakaan. Beberapa orang selalu memperhatikan kami dengan pandangan yang berbeda. Aku jadi berpikir kira-kira apa yang mereka pikirkan. Mungkin karena aku dan Pak Satya terlalu sering terlihat bersama, seperti sepasang orang yang sedang berkencan. Aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal-hal aneh. Lagi pula, Pak Satya masih muda dan belum menikah, sehingga masih pantas saja jika dia dekat dengan seseorang. Ah sudahlah, untuk sekarang memikirkan teka-teki jauh lebih penting.

              "Sora, sepertinya peta yang kau punya sudah bisa kupahami."

              "Peta apa Pak?"

              "Ya, ini membentuk sebuah peta. Langkah itulah yang kita lewatkan."

              Aku meneliti buku catatan Pak Satya. Di sana ada beberapa gambar yang dia terjemahkan. Kemudian di sebelahnya ada peta dengan jalan setapak.

              "Sepertinya Ayahmu dan Kakekku menyembunyikan suatu rahasia, tapi mereka ingin kita menemukannya."

              "Membayangkan bisa kebetulan bertemu denganmu dan kita punya kertas yang sama saja sudah membuatku merinding Pak."

              "Dari sini kita tau bahwa pada saat peta ini dibuat, ada beberapa bangunan yang belum dibangun seperti sekarang."

              "Bagaimana dengan kertas yang satu lagi?"

              "Mungkin ini akan membuatmu lebih merinding. Jika kedua kertas ini disatukan, maka akan menunjukkan denah kampus kita, maksudku tempat dimana kita sekarang berada."

              Aku hanya membuka mata dan mulutku lebar-lebar tanpa sadar, sambil mengusap lenganku agar berhenti merinding. Ini sungguh kemajuan yang pesat. Tapi sementara itu aku merasa tidak berguna karena belum membantu menemukan apapun.

              Keesokannya Pak Satya mengajakku bertemu di sebuah kafe. Aku jarang melihatnya begitu bersemangat mengenai penemuan aneh ini. Dia juga membawa buku kakeknya yang ditemukan di loteng rumah tua, yang juga milik kakeknya. Aku menemaninya ke rumah itu beberapa kali. Melihat wajahnya yang tegang saat memasuki rumah itu membuatku terhibur. Ternyata dia penakut juga, dan yang membuatku lebih heran adalah rumah itu diwariskan padanya. Artinya rumah itu miliknya.

              "Pak aku merasa belum berbuat apapun untuk proyek kita ini."

              "Aneh saat kau mengatakan ini proyek, tanpa tahu apa yang sebenarnya kita tuju. Kau belum membuang buku catatanmu kan?"

              "Tentu saja belum. Untung aku tidak membuangnya."

              "Kalau begitu buang sekarang."

              "Jadi dengan begitu aku bisa berguna??"

              "Hahaha. Sepertinya kau pernah menuliskan tentang arsitektur pepohonan di kampus kita. Pisahkan sesuai umurnya. Kita akan rekontruksi dengan bangunan pada saat peta ini dibuat."

              Malam ini aku tidak bisa tidur. Sepertinya kami akan segera menemukan jawabannya. Ku pikir tentu saja Dosen Ikonografi bisa memecahkan teka-teki itu dengan mudah. Senang bisa menjadi koleganya dalam penulusuran luar biasa ini.

              Kali ini Pak Satya tidak mengetuk jendela kamar untuk membangunkanku. Karena dia melihatku sudah bersiap di depan jendela. Jika kau penasaran bagaimana kami bisa masuk ke kampus di malam hari, baiklah akan aku ceritakan. Aku dan Pak Satya selalu mengenakan pakaian berwarna hitam. Termasuk tas, sarung tangan dan sepatu. Kami menyelinap melalui hutan di belakang kampus. Memang ada kawat berduri di sana, tapi bisa kami atasi karena kami membongkar pasang beberapa kawat agar bisa dilewati. Kami menggunakan lampu led di kepala.

Beberapa kali kami hampir berpapasan dengan satpam. Daripada harus menjelaskan, kami memilih untuk menghindar. Yang pertama, kami bersembunyi di dalam parit kecil, yang membuat Pak Satya tidak masuk keesokan harinya karena disengat ulat bulu. Kedua kalinya hampir saja aku ketahuan, tapi untung saja kemampuanku memanjat pohon bisa menyelamatkanku. Pada saat itu Pak Satya harus bergelantungan di tembok dengan kedua tangannya, sungguh adegan yang mengagumkan. Meskipun keesokan harinya dia tidak masuk karena carpal tunnel syndrome.

              "Pak, aku sangat gugup malam ini."

              "Aku akan berpura-pura tidak mendengarnya. Jangan pengaruhi aku!"

              "Pak apakah arah ini sudah benar?"

              "Tentu sudah, kau sangat membantu untuk menebak denah kampus."

              "Jangan membuat aku semakin gugup Pak."

              "Hei jangan menginjak kakiku!!"

              "Aku tidak menginjak kakimu Pak."

              "Lalu ini kaki siapa??"

              "Oh, itu tasku Pak."

              "Aku sangat ingin mengumpat!!"

              "Saat ini wajahmu pasti sangat pucat."

              "Apa katamu?"

              "Lihat itu ada tembok."

              Hari ini seperti jawaban dari seluruh penulurusan ilegal kedua orang yang tiba-tiba menjadi akrab karena selembar kertas. Jika aku ceritakan dari awal, mungkin kau juga akan kesal mendengar ujung dari cerita ini. Setelah sekian lama, ternyata jawaban itu adalah kantin.

              "Aku benci mengatakan ini, tapi aku tidak mengerti Pak."

              "Sora, ini sudah mau pagi. Bagaimana kalau kita lanjutkan besok saja."

              "Aku jadi ingat kalau aku belum mengerjakan tugas."

              "Tugas apa??"

              "Interpretasi arsitektur."

              "Mengulang saja semester depan!! Kau akan dapat E!! Karena sering mengantuk di kelas."

              Cerita ini belum berhenti. Di balik tembok kantin ada sebuah sumur, nah di sebelah sumur itu ada lubang berbentuk kotak yang di semen. Tidak memerlukan waktu lama untuk menemukannya. Karena semen itu berwarna crimson. Jangan merinding dulu, itu memang sengaja dicat merah. Ia tertimbun di bawah rerumputan lebat. Kami tentu membongkar paksa untuk mengetahui apa yang ada di baliknya.

              Sebuah lorong bawah tanah yang lembab dan sempit. Aku khawatir kalau itu adalah sebuah makam. Tapi Pak Satya meyakinkanku bahwa itu adalah sebuah ruangan. Diujung lorong itu ada pintu, juga berwarna crimson.

              Pintu inilah yang membuatku dan Pak Satya saling bertanya. Apakah orang-orang itu yang membangunnya atau mereka juga belum pernah sama sekali menemukannya. Melihat dari petunjuk yang mereka tinggalkan sepertinya mereka, Ayahku dan Kakek Pak Satya belum pernah datang ke sini. Lebih tepatnya mereka menyadari keberadaan tempat ini, tapi tidak sempat mengetahui isinya.

              "Aku tau kau penasaran dengan pintu itu dan sangat ingin membukanya. Tapi bagaimana kalau itu semacam kotak pandora."

              "Apakah kita hanya akan menatapnya seperti ini Pak??"

              "Aku akan mencari petunjuk lagi tentang itu."

              Aku menggeleng. Aku yakin kedua orang yang meninggalkan petunjuk pun belum pernah ke sini. Mereka ingin kita melanjutkan apa yang belum mereka selesaikan.

              "Jika aku membukanya dan tidak kembali, sampaikan salamku kepada Park Jimin."

              "Kau tidak akan kemana-mana. Jangan membuat pria yang tidak mengenalmu itu bersedih."

              Pintu itu membawaku dan Pak Satya ke tempat asing. Sebenarnya tidak begitu asing, karena ini hutan. Tiba-tiba kami menyaksikan rombongan tandu yang bertarung dengan perampok. Mereka berkuda dan menggunakan senjata berupa pedang dan ada yang membawa kapak. Sambil merunduk di antara semak-semak, aku menikmatinya dengan takjub. Biasanya yang seperti ini hanya bisa dilihat di layar kaca. Pak Satya masih menganalisis keadaan dengan memperhatikan mereka satu per satu. Kupikir sepertinya ada yang sedang shooting film kolosal. Aku mulai memperhatikan sekeliling hutan, tapi tidak melihat satupun kamera.

                                                               -TAMAT-

(Telah Terbit di Kumpulan Cerpen Misteri: Yang Tak Diketahui)

(Penerbit: Alinea Media Pustaka)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun