Mohon tunggu...
Nenden Pujasari
Nenden Pujasari Mohon Tunggu... -

Cantik itu bukan dari fisik tapi memiliki hati terbaik itu baru cantik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pena Biru

30 Maret 2013   16:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:59 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pena Biru

Berkali aku mencoba berlari tapi tetap orang itu yang aku temui, entah bagaimana caranya agar dia menghilang dari sel-sel otakku yang selalu mengingat semua hal tentangnya. Dia adalah seorang lelaki yang hidup di sela-sela rongga tubuh ku yang selalu mengalir bersama trombosit darahku.

***

Sejenak aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya berharap oksigen yang kubutuhkan hanyalah dia, memang gila rasanya jika saat ini aku berpikir untuk membeli air keras agar bisa mengawetkan tubuhnya dan ku masukan kedalam kaca berukuran besar untuk aku pajang agar tak pernah hilang dimakan zaman.

Inilah aku seorang mahasiswa berusia dua puluh tahun dengan tingkat imajinasi yang begitu tinggi. Terkadang aku lebih senang berdialog dengan pikiranku karena dunia yang aku ciptakan itu mampu berubah menjadi apa saja yang aku mau.

“Iney ngapain Lo diem di sini?”

Jantungku berdetak kencang mendengar suara Alfin memecah keheningan, tanpa berkata-kata aku hanya menatapnya dan beranjak pergi meninggalkan tempat ini.

“Iney Lo kenapa?” tanya dia dengan raut wajah yang heran.

Terkadang aku merasa terganggu katika ada seseorang yang berusaha menghancurkan rangkaian-rangkaian imajinasiku, jika orang saat itu melihat aku sedang melamun maka sebenarnya aku sedang berimajinasi. Melalui imajinasilah hingga kini aku dapat membiayai sekolahku tanpa membebani orang tua, itulah hebatnya aku mampu menuangkan pikiran kedalam sebuah tulisan dan akhirnya hasil tulisan itulah yang menjadi sumber uang untukku hingga saat ini. Ada satu hal yang perlu kalian tahu, kemanapun aku pergi pena biru berkepala smurf selalu aku bawa, karena pena itu begitu istimewa untuku dan aku berinama Smurfren. Kalau kalian gak tahu smurf itu seperti apa bentuknya, cari aja di mbah gugel pasti langsung muncul keluarga smurf yang semuanya berkulit biru.

Pada awalnya menulis itu bukan hal yang menyenangkan bagiku, itu semua bermula dari kisah cinta yang aku alami yang membuatku bingung untuk bercerita pada siapa dan akhirnya melalui tulisanlah aku lebih merasa lega karena mampu menuangkan semua isi perasaanku.

Sudah satu bulan ini aku dan Alfin tak saling bicara, ada beberapa hal yang tidak dia pahami tentang apa yang sedang aku alami. Sebenarnya aku merasa sedikit bersalah tapi mau bagaimana lagi aku saja bingung menjelaskannya, daripada tambah salah paham ya aku putuskan saja untuk diam.

Diatas meja yang berserakan dengan buku-buku tugas milikku tiba-tiba ada yang bergetar, bukan karena ada gempa tapi telepon genggamku yang bergetar pertanda ada pesan masuk, lalu aku baca ternyata dari Alfin.

“Kalau lo masih aja mau diem-dieman kaya gini, gue bakal copotin semua stiker smurf yang ada di pintu kamar dan jendela lo. Gue serius!”

Aku tertawa membaca pesan singkat dari Alfin, dia pikir aku ini anak kecil yang nangis kalau di ambil peremennya. Sepertinya dia sudah kehilangan ide untuk memberiku peringatan yang cukup mengancam. Setelah membaca pesan itu aku bergegas pulang ke rumah untuk menemui dia karena yang aku tau dia pasti sudah ada di depan pintu kamar untuk berusaha mencopot stiker-stiker smurf yang menempel di pintu kamar dan jendela milikku.

Sungguh beruntung hari ini aku mendapatkan tiket kreta sesuai jam keberangkatan jadi tidak perlu menunggu lama. Alat transfortasi inilah yang mengantarkanku pulang pergi dari rumah ke kampus karena jika naik angkutan umum yang lain tentu akan memakan banyak waktu, bisa-bisa selalu datang terlambat ke kampus. Aku duduk di gerbong nomor dua, di sebelahku terlihat seorang ibu muda beserta anak perempuannya kira-kira berusia empat tahun. Sambil memandang keluar jendela aku berusaha menikmati perjalanan ini, ku pejamkan mata beberapa detik dan ku hirup nafas dalam-dalam, lalu mataku terbelalak dan jantungku berdetak kencang setelahku tangkap aroma itu dalam hidungku. Sungguh bau ini tak asing lagi di hidungku, bau yang mampu membuat jantungku berdetak kencang dan tubuh ini seolah membeku sesaat. Aku pandangi seisi gerbong ini berharap menemukan pemilik aroma yang ku cium di hidungku. Ternyata usahaku sia-sia yang ada malah ku cium bau badan bapak-bapak yang berdiri di hadapanku.

Sesampainya aku dirumah di depan pintu kamar sudah terlihat alfin yang sedang duduk menungguku. Sebenarnya aku sudah melupakan kejadian malam itu tapi hingga hari ini pasti dia merasa tak enak padaku padahal kejadian itu sudah satu bulan berlalu.

“Alfin gue udah maafin lo ko, gue tahu lo pasti dateng kesini makanya gue pulang.”

“Eh... lo, jelaslah gue nungguin lo disini makasi ya lo udah mau maafin gue, lagian siapa juga yang mau minta maaf sama lo dan stikernya juga belum sempet  gue copotin tuh.”

“Hahaha... dasar lo nyebelin banget, awas aja kalau lo berani nyopotin smurf-smurf gue.”

Akhirnya hubungan persahabatanku dengan Alfin membaik setelah satu bulan beradu gengsi karena tak ada yang mau meminta maaf baik aku ataupun Alfin. Suasana ruangan rumahku menjadi hangat karena candaan dan celotehannya, ibu begitu akrab dengan dia sama halnya anggota keluargaku yang lain sudah menganggap Alfin sebagai bagian dari keluarga ini.

Setelah beberapa lama mengobrol dengannya, dia melontarkan beberapa pertanyaan untukku.

“Ney lo gak kesepian ya cuma punya temen gue doang dalam hidup lo?”

“Ngga” jawab aku dengan menggelengkan kepala.

“Selama satu bulan berantem sama gue, siapa yang nemenin lo?”

“Ada.”

“Siapa?” tanya Alfin dengan wajahnya yang terlihat begitu penasaran.

“Lo baca aja di buku gue edisi ke tiga nanti.”

Mendengar jawabanku itu Alfin terlihat sedikit kesal, begitupun denganku merasa kesal karena dia dari tadi menghabiskan cemilan yang ibu suguhkan untukku bukan untuknya.

Malam ini dengan di temani secangkir coklat panas aku duduk sendiri di beranda rumah, terdengar iringan musik alam yang memecah keheningan malam dengan suara gemercik air hujan dan tiupan angin yang menyentuh dedaunan. Di depanku sudah ku siapkan laptop untuk mulai menulis cerita yang sempat tertunda, inilah pekerjaanku diwaktu luang.

Ketika aku tertidur hidungku seolah-olah menangkap aroma tubuh seseorang itu dan aku terbangun berharap orang itu memang ada disekitarku, entah itu imajinasiku atau bukan, yang kulihat dalam ruangan ini tak lain barang-barang yang ada di kamar ku. Samar-samar aku dengar suara langkah seseorang menuju kamarku dan ckrek pintu kamarku terbuka, ku tatap pintu itu tapi tak ada siapapun disitu.

“Siapa ya?”

Tak ada yang menjawab pertanyaanku, dan aku mulai penasaran.

Jantungku kembali berdetak begitu kencang tanganku mulai terasa dingin karena ketakutan, tiba-tiba didalam selimut ada yang bergerak padahal kaki ku dari tadi diam saja. Aku benar-benar merasa ketakutan saat itu, perlahan selimut ini aku buka dan ternyata tak ada apapun didalamnya kecuali kaki aku yang bergetar ketakutan  lalu kupandangi sekeliling kamar ini untuk memastikan bahwa memang tak ada hal yang ganjil diruangan ini. Aku beranjak dari tempat tidur untuk menutup kembali pintu kamar yang tadi terbuka. Aku rebahkan tubuhku diatas kasur empuk dengan selimut berwarna biru, lalu saat aku masukan tangan kedalam selimut, tiba-tiba ada yang menggenggam jempol tanganku, aku berusaha teriak sekuat tenaga sekencang-kencangnya seperti bunyi alarm kebakaran dan seisi rumahpun terbangun mendengar jeritanku itu.

“Iney bangun ayo bangun, kamu kenapa iney?” tanya ayah dengan menggoyang-goyangkan tubuhku.

Ternyata itu hanya mimpi, akhirnya semua kembali ketempat tidur masing-masing. Aku masih duduk terdiam diatas tempat tidur, dan kini tiba-tiba tas yang aku gantungkan dibalik pintu bergerak begitu kencang hingga jatuh kelantai, dari atas tempat tidur aku coba memperhatikan tas tersebut, hingga akhirnya tas itu tak bergerak lagi. Aku sudah tidak ingin memperdulikannya karena tubuh ini begitu lelah hingga aku memutuskan untuk kembali tidur.

“Sebenernya gue masih penasaran sama kata-kata lo kemaren, kenapa gue harus nunggu buku lo yang selanjutnya padahal sebagai penulis lo kan bisa cerita langsung sama gue sebagai sahabat lo.” Itu lah perkataan Alfin yang belum bisa aku jawab, aku hanya tersenyum dan berlalu meninggalkan dia.

Beberapa waktu yang lalu pihak penerbit sudah menanyakan buku yang sedang aku garap, hingga detik ini buku novel edisi ketiga miliku baru sampai halaman 349 kurang satu halaman lagi sebagai akhir cerita. Untuk mencari inspirasi aku duduk dihalaman taman kampus melanjutkan tulisan yang belum rampung aku kerjakan.

Aku merogoh tas berusaha mencari-cari smurfren tapi yang aku temukan bukan smurfren, ada sesuatu dengan bentuk yang sama tapi bukan pena, lalu aku lihat ternyata itu sebuah smurf yang berbentuk gantungan kunci dengan tombol di belakang tubuhnya. Aku cermati baik-baik smurf ini dan aku tekan tombolnya tiba-tiba smurfnya bergoyang. Aku tertawa terbahak-bahak ternyata yang semalam menjatuhkan tasku adalah smurf ini, akhirnya kehawatiranku tentang kejadian aneh itu terjawab.

“Sebuah nyanyian kehidupan yang aku ciptakan melalui secarik kertas akan membawamu merasuk kedalam duniaku. Biarkan kertas kosong ini kan selalu terisi oleh sejuta cerita tentangmu karena kamu yang mampu menghidupiku, membangkitkan jiwaku bahkan sampai alunan nyanyian kehidupan ini berhenti kau akan tetap paling berarti. Aku adalah manusia berkepala tanpa hati, jiwaku ada tapi hatiku tiada. Setiap kali ku hirup aroma tubuhmu maka luluh hatiku seperti balok es yang mencair karena panas, ketika aku berusaha menjauh darimu maka hatiku akan pecah seperti kaca yang takut dilempari batu, dalam pikirku cintamu adalah mimpi terindah yang Tuhan anugerahkan untuku tapi aku menyadari kenyataan ini bukan imajinasi. Kini kau tak akan memiliki alasan untuk menghindar dariku karena dari segala penjuru akan ku arahkan panah asmara untukmu.”

Bersambung...

Halaman 350.

“Jadi siapa yang lo maksud dalam buku lo ini?” tanya Alfin dengan  mengerutkan kedua alis matanya. Ternyata dari tadi saat sedang menulis aku tak menyadari bahwa ada Alfin berada tepat di belakangku.

Mendengar pertanyaan itu aku hanya tersenyum seraya menatap wajahnya karena bagiku buku itu sudah mewakili semua perasaanku tanpa aku harus berkata bahwa yang aku maksud adalah dia, lewat pena biru inilah aku goreskan kisahku tentangnya.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun