Hari Buruh. Sekilas, saya teringat Marah Sakti Siregar yang mengatakan, “Wartawan itu Bukan buruh, wartawan adalah pekerjaan profesional karena mempunyai kode etik seperti dokter,” kata Ketua Bidang Pendidikan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat tersebut, sambil menunjuk spanduk tertulikan Tema SJI (Sekolah Jurnalistik Indonesia) Angkatan II “ Melahirkan Wartawan Profesional dan Beretika“ yang terpampang lebar di depan ruang kelas.
Saya salah satu perserta dari 24 orang lainnya dari berbagai media di Aceh yang tekun pasang otak, mata dan telinga selama dua minggu di lantai atas Gedung PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Aceh. Sampai akhirnya saya juga diyatakan lulus dengan peringkat ke Sepuluh dari 16 lainnya pada 5 Desember 2014. Sungguh kecerdasan saya yang sangat menghawatirkan.
Mengingat lagi kata-kata ” Bukan buruh” yang diungkapkan pembesar Media Cek-ricek itu, seakan kembali membuat impian saya bersayap, dan angkat bangga akan pilihan pekerjaan yang betapa sering kali menyesakkan dada kala akhir bulan tiba (Nasib sebahagian wartawan lokal). Ungkapan itu pun, ampuh menjadi suplemen motivasi yang turut mendogkrak kebahagian dengan hati yang membathin: Wah..rupanya saya sudah berada di koridor pekerjaan yang hebat(Wartawan Profesional).
Sejak SMA, saya memang sering menulis puisi pada ‘Cinta monyet’ sampai ‘Cinta Gorila’. kesaharian yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan selalu saya tulis dalam buku catatan. Walaupun, otak Udang ini sampai sekarang juga masih sering gagal paham dengan tata-tertip ‘Rambu-rambu’ menulis.
Kebiasaan itu terus saya lakuin bukan telak didorong kegemaran , namun, lebih karena kebiasaan saya yang tidak terbiasa membicarakan cerita cinta pada orang lain, maupun ‘malapetaka’ dalam keluarga yang sukses membuat pikiran dan hari-hari saya berantakan. Akhirnya, menulis sejak SMA berhasil membuat saya terhindar dari Rumah Sakit Jiwa sampai hari ini.
Catatan yang saya tulispun sama halnya seperti Akuntan sebuah perusahaan yang selalu tutup buku di akhir tahun. Lalu buku itu selalu saya kirimkan pada kekasih saya Rika Rahmawati yang tinggal di daerah lain. Kepada dia juga saya berterima kasih telah menjadi motivator dan alasan untuk terus berjalan di masa-masa yang sulit.
Kebiasaan menulis apa saja pun, membawa saya pada kesempatan menjadi wartawan di salah satu media online lokal yang bejargon “Merdeka Mengabarkan” yang juga mengirimkan saya ke sekolah jurnalistik itu.
“Wartawan itu di kenal dari karyanya”. Begitulah yang sebenarnya saya pahami, bukan Cuma hanya karena punya ID Card Pers yang menglontang-lantung di leher.
Pertama kali menuliskan berita setelah diiyakan menjadi wartawan pada pertengahan Februari 2013. Mentor tulis saya pertama kali, menugaskan untuk menulis sebuah acara seremonial seminar mahasiwa. “Agar saya mengerti format penulisan berita,” katanya. Ternyata menulis dengan benar itu tidak segampang seperti menulis yang asal tulis, butuh 6 jam bagi saya menulis seromonial yang kini terlihat sangat membosankan itu.
Saya sangat mencintai pekerjaan Wartawan ini, walaupun, hingga sekarang saya belum menemukan bagaimana caranya menulis dengan mudah (Maafkan cinta ku yang bodoh ini).
Pernah saya tanyakan perihal bagaimana cara menulis kepada Rusdi Mathari saat beliau menjadi pemateri di SJI. “Tulis aja, ikuti alunan dalam kepala,” tuturnya. dan itu sedikit berhasil dari pada konsep bla-bla,bla,bla ..yang semakin lama membuat otak keram, lalu akhirnya milih tidur dari pada bingung menulis apa dan bagaimana.
Cak Rusdi adalah salah satu pemateri yang membuat saya benar-benar bertekad-teguh mengeluti Profesi Wartawan. Padahal, Dulunya saya hanya menganguminya karena nasehatnya yang tulus,”Jadi wartawan yang baik Rahmat.” Nasehatnya itu hingap dan terus berniang-niang di benak dan hati saya. Nasehatnya, cukup ampuh mengurung ide-ide setan yang terus merayu untuk ‘menjilat’ para politisi DPRK (Tempat saya pernah menulis kegiatan mereka demi 20 ribu perberita). hingga akhirnya saya memilih pensiun satu bulan yang lalu, karena takut mengadaikan hati nurani demi uang, walau sebenarnya memang krisis keuangan .
Selepas SJI, saya semakin menganguminya dari balik layar Facebook dan rajin membaca tulisan-tulisannya hingga mengoogling tentangnya. Bagi saya, Cak Rusdi cocok menjadi “Bapaknya Wartawan” dia begitu cerdik membawa pembaca kedalam ceritanya. Berkeras-teguh dalam menaati kode etik kewartawanan, dan tulus dalam berbagi ilmu maupun nasehat.
Hari buruh ya? kemerdekaan atas penindasan peluh-keluh para buruh kerap di teriakan lantang dari mulut yang biasanya kembali membisu selintas tanggal peringatanya, sorotan pemberitaan media-media berlomba-lomba mengoreng isu “May Day”seperti arah lampu senter yang tidak mengarah ke dirinya (seperti tidak ada pemburuhan saja dalam media), mungkin karena menjadi wartawan adalah pekerjaan profesional yang sama halnya seperti pekerjaan dokter yang diikat oleh kode etik dalam menjalankan tugas. lalu, sudahkah Media berlaku professional pada wartawannya?
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Buruh bermakna kata: orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Jika dibandingkan dengan kata profesional yang menuntut mempunyai mutu dan kualitas, maka benar, wartawan adalah pekerjaan profesional. Tentu sebuah kebahagian yang tidak terpateri memiliki perkerjaaan profesional. Apakah bangga? Menurut saya, tidak semua dapat berbangga hati.
Seiring perkembangan teknologi, tumbuhnya Media Pemberitaan Online seperti Jamur di musim hujan. Semua orang bisa dengan mudah punya media pemberitaan publik. Ya itu,kebanyakan media “Asal-asalan”. khusunya di tingkat lokal yang tidak miliki manajemen yang jelas, maupun tidak begitu ambil pusing dengan kesejahteraan wartawannya. Meliput kesana-kemari tanpa upah yang sesusai kadang mengoyahkan kecintaan pada profesi ini, hingga sampai pada akhir bulan, hanya dapat ‘mempersetankan’ UMR (Upah Minimum Regional),toh, mereka juga tidak pernah tau rasanya menikmati gaji yang pantas.
Dari sedikit-banyak wartawan yang saya kenal, mereka selalu rajin mengeluhkan gaji saat bertemu, kata keluhan , selalu menjadi pengantri mengelisahkan setelah ucapan salam. Lagi-lagi mengelukan medianya yang hanya memakan sumber daya tanpa turut pusing akan kebutuhan para wartawannya.
Meskipun begitu, Rata-rata wartawan di media sekaliber media online saya memilih bertahan atau mencari peruntungan di media lain ataupun pekerjaan lain. Menurut saya, mereka yang memilih bertahan itu karena cintanya pada pekerjaan tersebut, ataupun yang paling buruk itu, karena tidak tau bekerja dimana lagi. Hingga akhirnya, para setanpun tertawa riang membisikan siapa dan kemana target uang untuk makan hari ini? Maka 'Persetan' jugalah kode etik wartawan. Kemudian Lahirlah wartawan pengemis dari nara sumber yang bahkan lebih buruk dari buruh. Adakah Dewan Pers yang termulia itu menelisik?
Saya masih percaya, menjadi wartawan adalah hal yang mulia. Hanya saja terdampar pada tempat yang salah. Kalau katanya, “Profesi sebagai Wartawan itu tidak lebih rendah dari menteri dan tidak lebih tinggi dari tukang becak,.” maka hari ini saya memilih menjadi tukang becak dari pada harus mengemis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H