Saya masih ingat betul saat Ganjar pertama datang ke Wadas. Saat itu, ia dengan gagah mengatakan permohonan maaf atas bentrokan yang terjadi. Ia bebaskan warga yang ditahan. Ia juga datang ke Wadas meski tangan kanannya diperban.
Tak hanya sekali, Ganjar berulangkali datang ke Wadas. Ia datang sendiri tanpa pengawalan. Duduk lesehan sambil mendengarkan semua keluhan. Benang kusut ia urai satu persatu.
Memang butuh waktu lama. Tapi cara itu berhasil membuat warga yang awalnya menolak penambangan, kini rela dan mengikhlaskan. Ratusan pemilik lahan di Wadas yang awalnya menolak penambangan, kini mengantar petugas ukur dengan tersenyum ke ladangnya masing-masing. Suasana begitu kondusif. Diselingi canda dan tawa. Tak ada ketegangan, tak ada intimidasi maupun ancaman.
Ya memang sampai saat ini, belum semua warga Wadas setuju dengan penambangan kuari. Masih ada sebagian kecil yang menolak. Namun dengan pendekatan humanis, saya kok yakin pelan-pelan akan terangkul semua.
Ada satu lagi yang membuat saya cukup terenyuh.
Saat hendak pulang karena merasa tugas liputan sudah terselesaikan, sepasang suami istri paruh baya datang menghampiri para petugas ukur yang baru selesai bekerja. Ia menghentikan motornya sambil menyapa dengan ramah. Di tangannya, tertenteng sebuah plastik berisi jeruk. Jeruk itu ia bagikan pada petugas yang ada di sana.
Saya pun kebagian satu. Saya ambil jeruk itu. Saya kupas dan saya makan dengan lahapnya.
Ah...jeruk dari warga Wadas ini begitu manisnya. Semanis suasana damai yang saya lihat hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H