Mbah Doel meradang. Dibantingnya koran langanannya itu ke atas meja. Hampir saja, kopi hitam kesukaannya tumpah terkena hempasan surat kabar itu.
"Edan...berita opo iki?," hardiknya.
Kemit, si cucu yang sedang asyik main gawai di ruang tamu langsung melesat. Dihampirinya sang kakek karena suara lemparan koran dan amukannya terdengar mengerikan. Kemit khawatir, darah tinggi sang kakek kumat, lalu harus kembali masuk rumah sakit.
"Ono opo to mbah, sing sabar," ucap Kemit menenangkan.
"Sabar piye. Iki lho le, masa koruptor jadi prioritas dapat vaksin Covid-19. Edan. Mau jadi apa negara ini?," bentak Mbah Doel masih belum tenang.
Diambilnya koran itu oleh Kemit dan dibacanya. Memang benar, berita soal vaksinasi koruptor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat di sana.
Dibacanya dengan seksama berita itu. Tak mau terpancing dengan judul yang kontroversi itu, Kemit yang sudah SMA dan melek teknologi mencoba menelaah berita dengan benar.
"Iki lho mbah, katanya koruptor yang sedang di tahan di KPK itu rentan terdampak Covid-19. KPK khawatir, karena jumlah koruptor yang terpapar terus meningkat, dari 64 tahanan yang positif Covid-19 ada 20. Katanya to mbah, para koruptor itu dikhawatirkan menulari penyidik sampai petugas di KPK, belum lagi pengacaranya dan para hakim saat disidang," terang Kemit.
Alis Mbah Doel masih tetap ke atas. Raut wajahnya merah padam, tanda kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun.
"Koruptor kui penjahat, musuhe rakyat. Karena ulah mereka, kita jadi miskin. Mereka itu seharusnya bukannya divaksin Covid-19, tapi disuntik mati," nada suara Mbah Doel makin tinggi.
Kemit yang paham betul kemarahan simbahnya itu hanya terdiam. Sebagai mantan pejuang saat penjajahan, Mbah Doel memang kerap marah melihat kondisi bangsanya yang semakin awut-awutan.