'Jagong Bayen' yang dilakukan Ganjar menjawab semua itu. Ia adalah simbol, yang bisa digunakan untuk membaca siapa sosok Ganjar sebenarnya. Simbol-simbol itu saling berkaitan, tentang kerja ikhlas untuk melayani.
Sayang, akhir-akhir ini simbol-simbol itu telah bias makna. Kebencian-kebencian politik membuat nilai-nilai luhur itu bermakna ganda. Masih ingat tentang bagaimana sosok Mensos Risma yang blusukan di Jakarta untuk membantu para gelandangan? Masyarakat menilainya pencitraan. Padahal, niat tulus untuk bekerja membantu masyarakat adalah tujuan Risma.
Atau yang terbaru, bagaimana saat Presiden Jokowi menerjang banjir di Kalimantan Selatan untuk melihat secara langsung kondisi di sana, lagi-lagi banyak orang menafsirkan itu hanya pencitraan. Padahal sejarahnya, sejak menjadi Wali Kota, baik Risma atau Jokowi sudah terbiasa melakukan hal itu.
Penulis kemudian membayangkan, bagaimana nanti kalau Ganjar jadi presiden? Ia yang terbiasa blusukan, turun langsung ke lapangan untuk menyelesaikan masalah masyarakatnya, tentu akan mendapat cap yang sama seperti yang dialami Jokowi dan Risma.
Terkadang, kasihan juga dengan masyarakat Indonesia yang selalu nyinyir dengan kebaikan-kebaikan para pemimpinnya. Ibarat pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga. Seperti kata Jack Ma, orang hanya fokus mencari satu saja kesalahan, daripada memikirkan 1000 kebaikan.
Jordan, Ganjar dan Merapi hanya sebuah kisah kecil untuk menggambarkan kondisi bangsa ini. Bahwa kebahagiaan itu sederhana, tapi selalu dibuat sulit adanya. Semoga para pemimpin kita tetap melayani dengan sepenuh hati, tanpa memikirkan nyinyiran barisan orang-orang sakit hati. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI