Tahun ke tahun pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional (selanjutnya disingkat UN) dengan formulasi dan peraturan baru sebagai salah satu syarat kelulusan peserta didik dari sekolah. Sekolah diberi porsi 40 persen dalam menentukan kelulusan peserta didik. Sementara 60 persen tetap dipegang pemerintah melalui hasil UN. Bila ditelaah lebih jauh sebenarnya kelulusan peserta didik ditentukan oleh 60 persen hasil UN, 24 persen UAS, dan 16 persen oleh penilaian lain. Dengan kata lain, 84 persen kelulusan ditentukan oleh ujian. Nasib puluhan juta peserta didik ditentukan oleh ujian, dan pemerintah memegang peran besar dalam menentukan kelulusan peserta didik. Pemerintah masih memandang bahwa assesment yang terbaik adalah ujian. Seharusnya assesment ini harus dilakukan oleh sekolah dan guru melalui mekanisme tertentu, bukan pemerintah.
Pelaksanaan UN yang didasarkan pada SK Menteri Pendidikan Nasional No. 47/2007 sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Juga bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung 19 September 2009. Dalam UU Sisdiknas tak ada aturan tentang UN. UU hanya mengatur soal evaluasi. Pasal 57 dan 58 mengatur dua macam evaluasi, yaitu (1) evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional; dan (2) evaluasi peserta didik untuk memantau proses pendidikan. Kedua evaluasi tersebut diselenggarakan dengan kerjasama dari dinas pendidikan, sekolah, dan pendidik (guru) sebagai bagian dari tanggung jawab profesionalnya. Kesemua itu dilanggar oleh SK Menteri Pendidikan Nasional No. 47/2007 tentang UN. Terlebih lagi adanya PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang seharusnya merupakan penjabaran dari UU No. 20 tahun 2003, menetapkan berbagai ketentuan yang hakekatnya tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ketentuan yang tertulis dalam UU No. 20 tahun 2003 seperti adanya bab tersendiri yang berjudul “Penilaian Belajar oleh Pemerintah” yang meliputi 6 pasal (pasal 66, 67, 68, 69, 70, dan 71) dan bab tentang “Kelulusan” dalam pasal 72, yang menetapkan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Disini UN bisa berfungsi apa saja. UN merampas hak guru dan tanggung jawab sekolah. Pelaksanaan UN sudah banyak menuai kontroversi tetapi pemerintah tetap ngotot UN tetap dijalankan dengan dalih UN dapat meningkatkan mutu pendidikan. Inilah yang menjadikan UN berdampak buruk secara signifikan kepada peserta didik. Salah satu dampak UN paling krusial adalah diabaikannya makna pribadi peserta didik. Mereka hanya dipandang sekumpulan barang produksi yang dapat distandarisasi. UN dipakai sebagai tolok ukur kelulusan, merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN juga menjerumuskan kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk berbuat curang dan sikap menerima perbuatan tersebut. Kejujuran malah dipandang sebagai anti-solidaritas. Dalam peristiwa contek massal di SDN Gadel 2 Surabaya, yang jujur pun dimusuhi. UN juga menghambat perkembangan karakter anak, yaitu mengembangkan kemampuan (spiritual, emosional, dan intelektual etos kerja) dan membentuk watak (kepribadian, kemandirian, rasa tanggung jawab, kejujuran, dan pengendalian diri). Tidak lain karena UN yang dilaksanakan secara nasional, massal, dan serentak harus dilaksanakan dengan “tes obyektif dalam bentuk pilihan ganda”. Karena menurut penelitian tingkah laku belajar peserta didik bila dipengaruhi oleh perkiraan tentang apa yang akan diujikan, dampaknya adalah : (1) peserta didik akan mempelajari, umumnya menghafal tentang apa yang akan diujikan; (2) guru akan membantu melatih peserta didik cara menjawab soal-soal ujian; (3) Sekolah akan berusaha keras menyusun program termasuk mengadakan kegiatan bimbingan tes; (4) orang tua akan mendorong anak-anaknya untuk persiapan mengikuti Ujian Nasional; (5) Pemerintah daerah dan pejabat pendidikannya ikut berupaya agar peserta didik, kalau bisa lulus semua; dan (6) penerbit buku berlomba menerbitkan buku soal-soal UN dan jawabannya. Salah satu dampak lainnya yang menjadi bahaya laten dalam dunia pendidikan tanah air adalah semakin melebarnya kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi orang tua peserta didik. UN memperlebar kesenjangan sosial.
Kebijakan UN semakin menambah kebergantungan peserta didik kepada lembaga-lembaga bimbingan belajar (Bimbel) dan merusak metode pembelajaran. Kondisi ini mengindikasikan adanya krisis kepercayaan kepada guru dan sekolah yang dipandang “tidak mampu” membantu dan mendorong peserta didik untuk mencapai prestasi terbaiknya. Dalam observasi kepada sejumlah kepala sekolah dan guru sering muncul keluhan. Pelaksanaan UN menghambat terselenggaranya proses pembelajaran. Proses KBM lebih yang sebenarnya memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi kecerdasan mereka kini menjadi sangat pragmatis. Sekolah hanya menjadi tempat guru “menyalurkan” kurikulum nasional ke peserta didik. Adanya UN akhirnya memaksa guru-guru untuk kembali pada model pembelajaran yang mengutamakan latihan-latihan soal sehingga proses belajar menjadi tereduksi. Tidak terjadi proses pemaknaan yang berarti di sekolah, sehingga sulit mengatakan bahwa peserta didik benar-benar telah belajar sesuatu yang penting untuk hidup sehat, mandiri dan produktif dimasa yang akan datang. Pendidikan menjadi sangat instan, melupakan filosofi, dan realitas.
Tekanan untuk dapat lulus dari UN cenderung merusak proses-proses belajar yang mengembangkan aspek kreativitas, budaya membaca, dan budaya menulis, disamping munculnya praktik-praktik kecurangan. Membudayakan membaca dan menulis, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas, diperlukan proses pembelajaran yang tidak sama dengan proses pembelajaran yang dirancang untuk melatih peserta didik lulus ujian akhir. UN hanya menunjukkan hasil pengukuran materi yang diujikan saja. UN tidak bisa memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan yang Maha Esa. UN juga tidak menguji tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik. UN tidak tahu bagaimana tanggung jawab anak dalam kehidupan di sekolah. UN tidak mau tahu apakah peserta didik mampu bekerja dalam tim atau tidak. UN tidak memberikan informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. UN hanya mengukur pemahaman kognitif peserta didik pada materi yang diujikan. Pada akhirnya hasil UN hanya menciptakan generasi bangsa yang pandai untuk menghafal dan pintar menggunakan “jalan pintas” untuk menduduki jabatan maupun mendapatkan kekayaan, padahal hal tersebutjauh dari harapan tujuan pendidikan nasional yang mewujudkan generasi bangsa yang dapat berpikir logis, bernalar, kreatif, dan inovatif.
UN dirumuskan sebagai kewajiban yang harus dilalui semua peserta didik tak terkecuali jika mau lulus dan memperoleh ijazah. Pelajaran yang tidak di-UN-kan akan diparkir begitu masuk semester-semester terakhir. Tidak ada lagi kegiatan ekstrakurikuler, diganti dengan drill dan try out yang hanya membebani peserta didik. Semua sekolah, baik negeri maupun swasta wajib mengikuti genderang UN jika mau tetap memperoleh izin operasional. UN juga dipakai sebagai tolok ukur kinerja sekolah. Sekolah dengan nilai UN tinggi menjadi prestise sekolah, guru, wali murid, dan birokrat. Oleh karena itu lahir Tim Sukses UN bentukan kepala dinas untuk mencapai target kelulusan tertinggi. Disinilah kecurangan secara massif dan terencana terkait UN terjadi.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa UN merupakan cermin kegagalan reformasi pendidikan, hal ini dikarenakan (1) UN merupakan cermin berpikir dan bertindak tidak logis dan pemaksaan kehendak kepada peserta didik; (2) UN sebagai penentu kelulusan jelas melanggar UU Sisdiknas; (3) Ketidak-konsistenan antara kurikulum dengan model evaluasi belajarnya; (4) Ketidak-logisan secara substansi dari materi pelajaran;UN tidak adil dan diskriminatif; (6) Ketidakjelasan fungsi UN, terutama untuk UN SD/MI/SDLB dan SMA/SMK/MA; (7) Pelaksanaan UN ditingkat SMA tidakmemperhitungkan beban psikologi anak; (8) Ini yang tidak pernah dinggap sebagai masalah padahal sebenarnya amat fundamental, yaitu UN sebetulnya menghilangkan kredibilitas guru karena digantikan oleh bimbingan tes. Wajar ada usulan bubarkan sekolah dan ganti dengan bimbel; (9) UN secara metodelogis berkualitas rendah dan kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Sebagai contoh, skor hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan komparabilitas secara ilmiah.
Perjalanan Hitam Ujian Nasional
Kebijakan penyelenggaraan UN perlu di evaluasi total, secara jujur, terbuka, dan jernih guna menimbang dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan. Perlu juga dikaji seberapa besar kontribusi UN dalam meningkatkan mutu pendidikan dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. UN hanya bagian kecil dari penilaian pendidikan. Pemerintah perlu memfokuskan pembenahan pada pemenuhan standar nasional pendidikan yang lain, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Data tahun 2007/2008 menunjukkan bahwa persentase guru yang tidak layak mengajar adalah 77,89 % (SD), 28,33 % (SMP), 15,25% (SMA) dan 23,04 % (SMK) (Depdiknas, 2008). Ketersediaan perpustakaan sekolah pun masih memprihatinkan. Contohnya, Secara nasional, hanya 60,02% SMP di Indonesia yang telah memiliki perpustakaan sekolah. Ukuran tersebut baru berbicara tentang kuantitas, disini belum menggambarkan kualitas dari perpustakaan-perpustakaan tersebut.
Satu hal lain yang tidak pernah diperhitungkan kemendikbud dalam kebijakan UN adalah pertimbangan moralitas aparat pendidikan yang sebenarnya tidak siap untuk ikut ‘bertarung’ dalam UN. UN telah mendorong para pendidik untuk melakukan tindakan immoral. Melakukan kecurangan demi kelulusan peserta didiknya. Ini terjadi secara berjamaah dan sistematis. Jelas kita telah membiarkan dan mendorong berlangsungnya ‘kebohongan nasional’ selama bertahun-tahun dan terjadi dalam bidang pendidikan dimana cita-cita bangsa diletakkan di atasnya.
Kemendikbud yang telah mengetahui banyak terjadi tindakan kecurangan pelaksanaan UN mengambil tindakan yang dibilang tidak wajar dan sangat berlebihan, dengan melibatkan polisi khusus, yaitu densus 88 Anti Teror Mabes Polri dalam pengawasan UN. Guru adalah pendidik dan tidak sepatutnya dicurigai sebagai ‘teroris’ yang sangat membahayakan negara. Guru pun harus menandatangani fakta integritas untuk tidak membocorkan rahasia negara dan mengikuti aturan-aturan penyelenggaraan UN yang diatur secara ketat dan berlaku sepanjang sekian generasi guru. Terlebih lagi peran guru sebagai pengawas ruang ujian yang tanpa disadari telah menyeret guru pada situasi ketika guru harus melakukan pendekatan keamanan kepada anak-anak didiknya. Anak-anak menjadi kelompok yang mesti dicurigai, diawasi, dan kalau perlu diamankan untuk kelancaran pelaksanaan kebijakan UN. Ini sama saja pemerintah ingin menghancurkan profesi guru secara sosial dan kultural dengan memosisikannya seperti teroris atau penjahat. Hal ini patut disayangkan, tetapi bukan disitu pokok permasalahannya. Sistem UN-lah yang telah memberangus otonomi guru dan secara sistematis mamaksa guru memikul beban berat diluar tanggung jawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan peserta didik.
Sampai sekarang tidak ada masa ketika UN tidak dicurangi. Bahkan hasil penelitian Balitbang Kemendikbud pada hasil UN berupa laporan yang berjudul Indeks obyektifitas menunjukkan hasil yang sangat mengejutkan. Hampir 90 % hasil UN peserta didik di seluruh indonesia ditengarai terjadi kecurangan yang bertingkat-tingkat derajat kecurangannya mulai dari 10 % sampai 90 %. Sekitar 9 dari 10 sekolah melakukan kecurangan. Demikian laporan dari indeks obyektifitas tersebut. Berdasarkan hasil penelitian PGRI, jika UN dilakukan secara sportif dan objektif, angka kelulusan peserta didik hanya berkisar antara 40 % sampai 50 %. Angka itu bisa semakin anjlok untuk sekolah-sekolah terpencil.
Salah satu tujuan diselenggarakan UN adalah untuk menilai pencapaian mutu pendidikan, keterbandingan antar sekolah, antar daerah, dan antar tahun pada mata pelajaran yang diujikan. Memang dari tahun ke tahun rata-rata nilai UN mengalami peningkatan dan pemerintah mengklaim hasil UN yang meningkat menunjukkan peningkatan kemampuan peserta didik. Ini dapat diartikan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Pernyataan ini jelas berlebihan dan menyesatkan. Belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa kenaikan nilai UN akibat dari meningkatnya mutu pendidikan. Data hasil UN pun sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang hancurnya sarana-prasarana pendidikan, belum lagi tentang kualitas guru dilapangan.
Ironi pendidikan di Indonesia bisa terekam dalam pelaksanaan UN, dimana pendidikan yang bertujuan menyiapkan masa depan bangsa justru dikerjakan dengan ‘asal-asalan’. Sekolah dan dewan guru sejak awal biasanya merancang program persiapan menghadapi UN. Guru kelas 1 dan kelas 2 sudah mengingatkan peserta didiknya bahwa mempersiapkan diri untuk sukses lulus UN dikelas 3 teramat penting. Peserta didik kelas 3 dikenalkan dengan program pandalaman materi (PM). Waktu belajar bertambah, ada tambahan biaya pula untuk PM yang dibebankan kepada orang tua peserta didik. Semua itu demi UN. Dan di tengah kesibukan mempersiapkan UN tak jarang sejumlah perguruan tinggi swasta memanfaatkan kesempatan hiruk pikuk UN dengan menawarkan jasa memberikan Try out gratis untuk sejumlah sekolah. Tentu sambil promosi! Dinas pendidikan pun juga melakukan serangkaian tes uji coba (Pra-UN) selama beberapa kali yang dirasa hanya membebani kepada peserta didik, dan baik pra-UN maupun try out mengorbankan peserta didik yang lain yang tidak terlibat UN dalam memperoleh hak belajarnya di sekolah (Otomatis ketika Pra-UN dan try out dilaksanakan, peserta didik kelas 1 dan kelas 2 diliburkan)
Sebenarnya patut diperhatikan dengan menganalisis, apakah ada korelasi antara hasil try out dengan UN. Ternyata jawabannya sangat miris: TIDAK ADA. Hampir semua hasil ujian try out diberbagai daerah hasilnya JEBLOK. Tapi hasil nilai UN justru sebaliknya sangatlah fantastis, mengejutkan, mengherankan, dan aneh. Jadi, sebenarnya try outyang dilakukan sungguh tidak ada gunanya karena tidak menunjukkan korelasi yang signifikan.
Perbandingan nilai akhir UN 60 % hasil UN, 40 % hasil ujian sekolah (mulai diterapkan pada pelaksananan UN 2012) untuk menentukan kelulusan peserta didik menyebabkan sekolah memanfaatkan 40 % itu kini menjadi angka kecurangan baru, dimana sekolah leluasa me-markup nilai rapor dan ujian sekolah peserta didik tanpa adanya pengawasan. Dengan jalan ini, angka kelulusan peserta didik pun meningkat, dengan asumsi walaupun nilai hasil UN jeblok, dapat ditutupi dari nilai sekolah sehingga peserta didik tersebut dinyatakan lulus mata pelajaran yang diujikan.
Ujian Nasional adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan peserta didik atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasaan. Ini sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Dalam kenyataannya kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antara guru-peserta didik-orang tua peserta didik-masyarakat. Kelak, bila ini tetap berlangsung akan membuat bangsa ini kehilangan orang-orang berintegritas dan terdidik.
Dampak Hitam Ujian Nasional
UN kembali di gelar seperti di tahun-tahun sebelumnya selalu mempunyai cerita. Menjelang pelaksanaan UN pada tahun ajaran yang lalu, beberapa berita ‘irrasional’ yang mengejutkan datang silih berganti. Sebagai contoh ribuan peserta didik yang akan ikut UN melakukan istighasah besar-besaran sampai ada yang histeris dan pingsan. Istighasah sejatinya adalah doa bersama-sama untuk menghadapi masalah yang mencemaskan dan membahayakan. Apakah UN adalah masalah yang mencemaskan dan membahayakan sehingga guru, peserta didik, dan kepala sekolah melakukan istighasah? Istighasah yang berlangsung masif ini menandakan UN memang menggelisahkan, mencemaskan, dan membahayakan; Ada pula Anak-anak di Jambi ramai-ramai mencuci kaki ibunya agar bisa lulus UN; Anak di Jatim minta air Ponari, si dukun cilik asal Jombang, agar bisa lulus ujian. Irrasionalitas UN menunjukkan kepada kita semua bahwa UN memiliki dampak yang tak ubahnya dengan judi. UN adalah undian nasib. Tidak selamanya yang pintar lulus UN dengan nilai tinggi. Tidak selamanya pula yang bahlul dan suka membolos tidak lulus ujian. Fakta menunjukkan banyak peserta didik yang bodoh justru lulus ujian dan peserta didik yang juara kelas gagal. Bermacam-macam sebabnya.
Mendikbud M. Nuh mengatakan, tahun ajaran baru mendatang pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis karakter, terutama karakter kejujuran. Kebijakan yang baik, tetapi yang menjadi persoalan disini apakah masalah karakter memang masalah pendidikan? Persoalan karakter memang terkait dengan pendidikan, tetapi masalah terbesar tidak terletak dalam ranah pendidikan. Masalah terbesar adalah kita sebagai bangsa tidak menghargai karakter. UN juga menjadi contoh betapa kita tidak menghargai karakter, terutama kejujuran, seperti yang diucapkan pak menteri. Kita menyaksikan betapa suksesnya UN kita yang kelulusan peserta didiknya mencapai 99 koma sekian persen. Namun, kita tahu bahwa kesuksesan itu akibat dicurangi secara bersama dengan diam-diam. Dunia pendidikan ini lebih memilih sukses UN dengan menghancurkan nilai-nilai kebenaran.
UN dalam bentuknya sekarang harus memenuhi tuntutan politis : tidak banyak peserta didik yang tidak lulus. Salah satu cara untuk memenuhi tuntutan ini adalah dengan memberikan soal-soal mudah. Sebagai contoh, soal-soal matematika pada UN lebih banyak memerlukan penalaran imitatif ketimbang penalaran kreatif. Kemudahan ini diperkuat dengan penyusunan kisi-kisi ujian yang terlalu spesifik. Dengan rancangan seperti itu, UN hanya mengukur kemampuan-kemampuan tingkat rendah. Akibatnya, latihan dalam bentuk drill sudah cukup bagi peserta didik untuk mencapai batas kelulusan UN. UN membawa dampak pembelajaran di sekolah menjadi tidak bermutu, dengan fokus hanya kepada kemampuan-kemampuan tingkat rendah, merupakan disservice kepada peserta didik kita. Dengan demikian peserta didik kita akan tumbuh menjadi generasi yang lembek dan cengeng, generasi kuli dan pecundang. Generasi seperti ini akan gampang menyerah, menyalahkan orang lain dan mencari pelarian kepada pemikiran radikal.
Ini harus dihentikan. Pemerintah jangan sibuk melulu melaksanakan UN yang terbukti tidak akan pernah meningkatkan mutu pendidikan dan tidak punya dasar keilmuan sejauh ini. Sementara, akar masalah terpuruknya kualitas pendidikan Indonesia di abaikan. Kebijakan UN telah menyerang secara mental, menyesatkan, dan menebarkan kecemasan, ketakutan serta mengancam masa depan bangsa. Negara telah membunuh rakyatnya, membunuh potensinya, membunuh karakternya, dan membunuh potensi-potensi terbaiknya.
Harapan Putih Untuk Pendidikan
Assesment untuk peserta didik sudah seharusnya tidak didominasi oleh ujian. Apalagi hanya untuk menentukan kelulusan. Maka banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pertama Harus ada evaluasi sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Bila pemerintah mau melakukan pemetaan mutu pendidikan nasional lebih baik menerapkan model tes diagnostik, karena tes ini lebih menjawab kebutuhan dan tidak harus dijalankan setiap tahun. Tes ini benar-benar hanya untuk mendiagnosis kemampuan peserta didik, sekolah dan daerah. Hasil pemetaannya di umumkan kepada publik. Dengan publikasi tersebut berbagai pihak dapat menganalisnya. Hasil analisis ini bisa dipergunakan sebagai dasar untuk merancang berbagai program peningkatan kualitas pendidikan. Sistemlah yang perlu di evaluasi dulu sebelum mengevaluasi peserta didik. Sedangkan penentuan kelulusan peserta didik tetap menjadi otonomi guru. UN tidak memberikan otonomi pada guru. Malah guru sering dibuat heran dengan hasil UN peserta didiknya yang melebihi kemampuannya sehari-hari. Kedua Assesment terhadap peserta didik harus dipergunakan sedemikian rupa untuk memberikan dukungan peserta didik dalam belajar. Membantu peserta didik yang berkesulitan belajar. Sistem Pendidikan bukan untuk melabeli mereka dengan kata lulus atau tidak lulus. Ketiga Pelaksanaan UN yang lebih banyak mudaratnya, tanpa kajian ilmiah, dan kerja profesional sebaiknya dihentikan dan ditiadakan. Lebih baik uang yang setiap tahunnya bisa mencapai lebih dari setengah triliun untuk hajatan UN dialokasikan untuk tujuan yang hasilnya lebih kongkrit, seperti memperbaiki sarana-prasarana pendidikan, meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan guru, khususnya di daerah terpencil, dan menggratiskan biaya pendidikan untuk orang yang tidak mampu sampai ke pendidikan tinggi. Sebagai ganti UN, evaluasi pendidikan peserta didik setiap jenjang sekolah menjadi tanggung jawab daerah tingkat dua dan ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Pengelola pendidikan di tengkat daerah dapat mengadakan evaluasi pendidikan pada tingkat daerah, rayon ataupun sekolah. Evaluasi harus sesuai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan tetap berpedoman pada KTSP. Guru terlibat langsung dalam proses evaluasi dan kelulusan peserta didik ini. Untuk model evaluasinya tidak melulu bergantung kepada ujian kelulusan dan dilakukan di akhir masa pembelajaran. Model Evaluasi dapat dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan bisa dilakukan melalui proyek seperti karya siswa, penelitian ilmiah, ataupun merancang sebuah desain. Untuk dapat menjalankan evaluasi tersebut, peserta didik harus mampu mengaplikasikan semua yang dipelajarinya di sekolah menjadi sebuah karya nyata. Keempat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendirikan lembaga independen yang berfungsi khusus melakukan penelitian, mendesain, merumuskan, menerapkan, dan mengevaluasi sistemujian yang tepat bagi bangsa Indonesia. Lembaga ini bekerja secara profesional dan fulltime. Kelima Pemerintah harus serius dalam memperbaiki mutu guru mulai dari mahasiswa keguruan (pre-service) dan guru aktif mengajar (in-service). Tidak jarang lemahnya penguasaan dan pemahaman peserta didik dalam belajar dipengaruhi oleh guru yang belum dikatakan ‘layak’ untuk mengajar dan mendidik.
Sebagai penutup, marilah kita bersama-sama mengembalikan pendidikan pada rel yang sesungguhnya. Sudah jauh menyimpang dan tersesat pendidikan Indonesia saat ini. Jangan sampai pendidikan nasional terjerumus dalam kehancuran yang lebih mengerikan lagi. Segala usaha melalui jalur informal seperti demonstrasi, diseminasi, opini publik, seminar sudah dilakukan. Jalur hukum melalui proses pengadilan tuntutan warga negara sudah diupayakan dengan baik. Jika semua itu tidak dapat mengubah kebijakan pendidikan yang salah sasaran ini, sudah saatnya seluruh rakyat bangkit dan mengadakan revolusi pendidikan untuk menentang dan mereformasi kebijakan pendidikan nasional secara menyeluruh. Kalau bukan kita siapa lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H