Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Learning Poverty Anak Indonesia Masih Tinggi? Ini Cara Mengatasinya

22 Juni 2022   09:40 Diperbarui: 22 Juni 2022   17:35 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Indonesia Belajar di Sekolah. Sumber: UNICEF.org

Money cannot eradicate poverty, only education can.

-Mf Moonzajer

Akhir pekan lalu aku tak sengaja berkenalan dengan seorang bapak-bapak di taman. Aku duduk di gazebo taman, dan di depan kami berkumpul segerombolan anak-anak yang kalau dilihat dari perawakannya masih usia Sekolah Dasar. Anak-anak tadi berkumpul, namun sibuk dengan gawai masing-masing. Satu hal yang membuat aku tertarik dengan Bapak ini, sebut saja Namanya Pak Ahmad (bukan nama sebenarnya), di tangannya, beliau memegang sebuah buku cerita anak-anak. Aku coba sapa dan mencoba berkenalan. 

Ternyata, ia tengah menemani cucunya yang bermain sepeda di taman sore itu. Ada sebuah pernyataan beliau dan aku cukup tertarik. "Saya itu merasa khawatir Mbak, anak-anak sekarang itu sedikit sekali yang enggan membaca sendiri. Bahkan, sebuah cerita sederhana saja perlu untuk diceritakan. Cucu saya contohnya, kemarin ujian dari rumah, soal ujiannya berbentuk soal cerita malah Mamanya yang bantu membacakan dan menjelaskan. Anak sekarang kebanyakan ya seperti itu (sambil menunjuk segerombolan anak di depan kami) termasuk cucu saya."

Aku hanya manggut-manggut diawal, sampai pada akhirnya ingatanku menjelajah sebuah tulisan yang aku baca berkenaan dengan sebuah fenomena pendidikan Indonesia yang terjadi saat ini yaitu learning poverty.  Aku coba untuk bertanya kepada Pak Ahmad tentang usia cucunya dan beliau mengatakan 11 tahun. 

Iseng juga aku tanya usia anak-anak yang ada di depan kami dan rata-rata usia 9-12 tahun. Aku coba tanya lagi ke mereka, apakah suka baca buku atau tidak dan jawabannya merata, TIDAK. 

Aku berpandangan dengan Pak Ahmad, dan kami lanjut mengobrol berdiskusi mengenai isu learning poverty yang aku ketahui dan pengetahuan di lapangan yang diketahui oleh Pak Ahmad. Ternyata, Pak Ahmad adalah seorang guru SD dan akan segera pensiun. 

Learning poverty sendiri merupakan kondisi dimana anak tidak mampu untuk membaca dan memahami sebuah cerita sederhana.  Angka putus sekolah pada tingkat sekolah juga masuk dalam aspek learning poverty. Kenapa kemudian isu learning poverty ini penting untuk dibahas dan kamu ketahui? Well, kalau kamu penasaran, aku sarankan untuk membaca tulisan ini hingga selesai agar kamu mendapatkan Insight atas apa yang aku bagikan.

Bank Dunia mengemukakan data dimana sebanyak 53% anak-anak di negara dengan penghasilan rendah dan menengah sedang mengalami learning poverty. Termasuk Indonesia, meskipun sudah masuk kedalam jajaran negara G20 atau masuk dalam golongan negara menegah, namun kondisi pendidikan di negara kita masih berada dalam zona kuning. Hal ini bermakna masih terdapat ancaman kemampuan siswa dan tenaga kerja di masa depan apabila dibiarkan begitu saja. Indonesia sendiri memiliki cita-cita besar yaitu menyongsong generasi emas 2045, namun apabila angka learning poverty di Indonesia tidak segera ditekan, maka tentu saja akan cukup sulit untuk mencapai cita-cita tadi.

Apakah Indonesia tidak menyadari kondisi seperti ini? Dan jawabannya adalah tidak. Dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan data Indonesian National Assesment Programme diketahui bahwa jumlah siswa di tanah air yang memiliki kemampuan membaca dengan baik hanya sebesar 6%. 

Bahkan World Bank yang juga berperan penting dalam pembiayaan institusi internasional berbagai negara termasuk Indonesia juga membantu untuk terlaksananya berbagai program-program penting dimana salah satunya bidang pendidikan juga mengemukakan fakta yang serupa.

Tidak berbohong, aku bahkan merasa aku masih menjadi bagian dari anak Indonesia yang masa kecilnya hingga saat ini sepertinya cukup kesulitan untuk membaca dan memahami tulisan namun dalam Bahasa Inggris. Dari empat kemampuan yang diujikan dalam tes kemampuan bahasa asing, bagian reading atau membaca adalah yang aku rasa masih sangat lemah. 

Tentu saja fakta ini membuatku kaget. Jauh berbanding terbalik dengan kondisiku sebagai seseorang yang juga menekuni bidang pendidikan itu sendiri.  Aku harap, kamu tidak termasuk menjadi bagian seseorang yang juga kesulitan untuk memahami sebuah bacaan atau cerita sederhana ya.

Well, Indonesia tidak tinggal diam kok setelah mengetahui fakta ini, melalui Menteri Pendidikan, masalah ini pelan-pelan diperbaiki. Terhitung sejak tahun 2000, terdapat peningkatan partisipasi anak sekolah sebagai 10 juta siswa dimana hal ini berpengaruh pada peningkatan skor rata-rata matematika yang dicatat oleh Programme for International Student Assesment (PISA) antara tahun 2003 hingga 2015. 

Pencapaian besar ini masih terus berlanjut hingga saat ini 2022 dibantu oleh banyaknya organisasi pemuda dan pendidikan di Indonesia yang bekerjasama membantu pemerintah dengan melaksanakan berbagai kegiatan dengan mengusung semangat mewujudkan SDGs ke-4 yaitu Education for All. 

Lalu, apakah ini sudah cukup? Tentu tidak. Pak Ahmad mengemukakan bahwa program yang dilaksanakan oleh pemerintah, sekolah, atau masif diadakan oleh organisasi atau komunitas itu belum mencapai sasaran yang merata. Kalau diminta menawarkan solusi paling tepat mengatasi learning poverty sendiri adalah membudayakan literasi dari lingkup paling sederhana yaitu keluarga dan pertemanan. 

Sama halnya seperti apa yang dilakukan Pak Ahmad sore itu, meski menemani cucunya bermain sepeda, ketika cucunya lelah dan beristirahat, Pak Ahmad akan membacakan cucunya sebuah cerita sembali diselangi canda. Satu hal lagi manfaat dari sering membaca dan bercerita menurutnya, yaitu biar tidak demensia dan awet muda.

Kalau dirangkum, selain menerapkan budaya literasi dimulai dari keluarga, aku juga memiliki beberapa opsi cara yang dapat kamu lakukan yaitu,

Pertama, Membaca dengan seksama dan mengulang bila kurang paham.

Salah satu kesalahan dalam penerapan budaya baca bagi anak-anak adalah dilihat dari jumlah bacaan yang telah diselesaikan. Namun, ketika ditanya hasil dari apa yang mereka baca, anak cenderung bingung dan tidak mengetahui isi bacaan mereka. Hal ini terjadi karena anak tidak dibiasakan untuk membaca dengan seksama dan mengulang bacaan atau bertanya apabila ada hal yang kurang mereka pahami terkait bacaan mereka. 

Tidak ada salahnya sebenarnya memiliki keterampilan membaca cepat, atau yang biasa kenal dengan skimming, namun aku rasa hal ini kurang tepat bila diterapkan dalam semua waktu membaca dan pada usia anak-anak. Kalau mau menerapkan ini, pas ujian aja deh sepertinya karena berpacu dengan waktu pengerjaan.

Kedua, rutin membaca disertai diskusi.

Hubungan antara membaca dan diskusi ini menurutku seperti makanan dengan lauk tanpa sayuran. Ia hanya mengenyangkan namun tidak menyehatkan. Dengan hanya membaca tanpa disertai diskusi, pemahaman anak hanya akan terfokus pada apa yang dia baca saja tanpa mengetahui bagaimana pandangan orang lain atau pendapat lebih luas berkenaan dengan apa yang ia baca. 

Diskusi disini tidak selalu harus berat. Diskusi ringan misal anak membaca dongeng tentang kancil mencuri timun. Kebanyakan anak diberikan pemahaman akan kecerdikan kancil dapat mengelabui petani, maka bisa diajak dengan diskusi mengenai kalau anak menjadi petani, bagaimana perasaan anak bila tahu tanamannya dicuri tanpa izin? Hal ini juga akan mengasah anak untuk berpikir lebih luas.

Ketiga, mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya.

Yang satu ini cukup menarik karena terdapat sebuah penelitian dimana sebenarnya otak memiliki waktu-waktu tertentu untuk dapat lebih efektif mengingat sesuatu. Sayang sekali apabila apa-apa saja yang sudah dipelajari dan dipahami justru mudah menguap dan dilupa. 

Penelitian itu sendiri dilakukan oleh Dr. Jane Oakhill, seorang Psikolog Sussex University di Inggris dimana terdapat sejumlah eksperimen yang membuktikan bahwa manusia memiliki dua tipe memori yaitu deklaratif dan semantik. Memori deklaratif berhubungan dengan kegiatan mengingat sesuatu secara mendetail dimana lebih cocok dilakukan pada pagi hari. 

Sedangkan siang dan sore hari, otak memiliki kemampuan lebih condong pada memori semantik. Contohnya, menggabungkan berbagai informasi yang lama dengan yang baru dimana semakin memperdalam pemahaman kita terhadap sesuatu tersebut.

Keempat, Mempelajari hal baru.

Sama seperti halnya apa yang aku lakukan ketika menulis tulisan ini, aku tidak mendapatkan ini didalam kelas perkuliahan, namun justru diluar. Dari sini aku kemudian sadar bahwa ruang kelas atau kuliah terkadang tak selalu mendukung semangat kita mencari tahu isu terkini bahkan kalau itu sejalan dengan bidang yang kita pelajari. 

Semakin luas ruang kita belajar, maka sudah seharusnya semakin luas pemahaman dan semangat kita dalam mengetahui suatu hal yang baru. Para orang tua atau guru sudah seharusnya tidak selalu melakukan pembelajaran di dalam kelas atau rumah, seringlah mengajak anak di alam terbuka dan berpendapat atas apa yang mereka lihat dan rasakan.

Terakhir, Memiliki ekspektasi tinggi.

Salah satu aspek yang juga masuk dalam learning poverty adalah tingginya angka putus sekolah dimana anak tidak memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap bagaimana mereka akan menjalani kehidupan di masa depan. Maka, yang perlu dilakukan adalah mengembalikan motivasi belajar anak dan mengekalkan ekspektasi tinggi terhadap diri mereka sendiri. Bahwa setiap orang perlu untuk memiliki mimpi besar dan berusaha untuk dapat mewujudkan mimpi itu.

Apabila lima hal diatas dilakukan dengan berkelanjutan, bukan tidak mungkin pendidikan di Indonesia akan bersaing dengan berbagai negara lain. Tentu saja, harapan tercapainya poin SDGs ke-4 serta terciptanya generasi emas 2045 itu bukan sekedar angan belaka. Aku sendiri bahkan tidak menyangka, meskipun hanya bersumber pada obrolan tidak sengaja dengan Pak Ahmad pada akhirnya memaksaku untuk membagikan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun