Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Pertama yang Tak Pernah Lelah Memanusiakan

1 Desember 2020   14:58 Diperbarui: 1 Desember 2020   16:15 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ibu"


Iya itu jawabannya. Tulisan ku kali ini, ingin aku persembahkan kepada manusia yang tanpa adanya ia, tak akan ada aku. Sosok perempuan yang memberikan pengaruh hampir lebih dari separuh kepribadianku. Perempuan yang selalu menenangkan dan menyenangkan, ketika dunia luar semakin kurasa enggan memanusiakan. Sosok sekolah pertama yang tak pernah berubah, sosok sekolah utama yang tak pernah lelah mencerahkan, dan tentu saja menawan. Meskipun, perempuan itu terkadang membuat aku kesal dan resah, tapi itu sendiri wajar. Karena, titik salahnya bukan ada pada ia, tapi pada aku. Aku sadar, aku sendiri yang selalu salah memantaskan. Atau terlalu tinggi memberikan standar kewajaran.


Jujur saja, sekolah  pertama itu, hanya seorang perempuan lulusan sekolah dasar. Datang dari keluarga sederhana di sebuah pulau pedalaman bertemu dan menikah dengan bapakku karena takdir Tuhan. Kalau ditanya keilmuan dan pendidikan, jelas saja ia begitu kekurangan. Namun, kalau ditanya pembelajaran akan kehidupan, bagiku ia adalah gudang. Ibuku, tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya sejak masih berusia belia. Ibu ditinggal oleh kakekku, meninggal dunia saat ibuku masih berusia sekolah dasar. Dan, tinggal terpisah dengan nenek sejak saat itu hingga sekarang. Oleh karena itu, gudang pengalamannya penuh, sarat akan pemaknaan akan kehidupan. Itulah mengapa, ia selalu bisa menjadi tempat singgah bagiku untuk berbagi beban, berbagi keresahan, tempat mengasing saat dunia terlalu bising. Jujur saja, kalau diminta untuk mendeskripsikan, empat lima halaman tulisan tak sepenuhnya bisa menggambarkan. Tapi bukan kemudian aku menyerah untuk mengikhtiarkan, aku akan mencoba menuangkan sedikitnya apa saja yang ada di dalam pikiran.


"Jika kamu mendidik satu laki-laki, maka kamu mendidik satu orang. Namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi,"
-Mohammad Hatta

Kata-kata ini selalu saja menggetarkan hatiku, entah telah seberapa sering aku mendengar atau membacanya. Aku seorang perempuan, dan ketika membaca atau mendengar hal ini aku selalu tertegun. Mengingat dan bersyukur telah dididik oleh seorang perempuan yang kepribadiannya menakjubkan. 

Pernah aku menulis di beberapa tulisan sebelum ini, tentang aku yang secara kelekatan lebih cenderung dekat dengan bapak, daripada dengan ibu. Tapi ada beberapa keadaan dimana aku lebih memprioritaskan ibu sebagai pelarian, ketimbang datang ke bapak untuk mencari ketenangan. Ada satu kebiasaan dari ibuku yang selalu ampuh membuatku merasakan tenang ketika resah. Yang selalu bisa memberikan jawaban ketika aku gundah karena sebuah pernyataan. 

Kebiasaan itu adalah, ia yang ketika aku salah selalu blak-blakan mengungkapkan. Seringkali ketika di luaran orang-orang enggan untuk mengungkapkan, ada ibu yang menyadarkan. Aku juga pernah menggambarkan di tulisanku sebelumnya, bahwa ketika di hubungan keluarga ada api dan air. Maka aku gambarkan ibuku sosok api. Bukan apa-apa, karena setegas-tegasnya bapakku, namun selayaknya seorang bapak ia tak akan sanggup untuk mematahkan perasaan anak perempuannya. Ketika aku salah, ya aku ditegur dengan lembut dan setelahnya kembali diam. Tidak dengan ibuku, ia akan mengomeliku hingga aku merasa sadar. Dan, cara ini memang lebih pas dengan aku yang terkadang skeptis dalam memiliki pandangan.  

Well, aku ingin bertanya khusus kamu yang perempuan, pernah tidak sih, kamu diberikan nasehat oleh ibu kamu? Sebut saja begini, 

"Nak, jadi perempuan itu harus seperti ini," "Nak,perempuan itu bengkok pemikirannya dan lebih peka di perasaannya, jadi kalau mau mengambil keputusan penting, dipikir-pikir hingga matang biar gak menyesal," atau "Nak, ayo bantuin Ibu masak di dapur, biar nanti kalau sudah berkeluarga gak bingung mau masakin suami seperti apa,"

 Kalau iya, maka bersyukurlah. Mengapa? Karena nasehat-nasehat, ajakan-ajakan, kalimat-kalimat itu sebenarnya adalah salah satu bentuk ikhtiar seorang Ibu untuk mendidikmu. Hanya saja, memang terkadang aku dan kamu yang tidak sadar. Bahkan, kita cenderung untuk menolak atau mematahkan tawaran yang diberikan. Aku sadar sejak beranjak masuk usia remaja, akan makna kalimat bijak "Ibu adalah sekolah pertama" itu benar adanya. Dan nyatanya, tak hanya pertama, tapi juga utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun