Pernah sesekali aku mendengar sebuah nasihat yang begitu mengena dimana sebenarnya hal itu hanya berupa sebuah petuah dari ia yang lebih tua kepadaku  yang lebih muda ketika kami bertemu di suatu sore disebuah gerbong kereta di dalam perjalanan menuju Jogjakarta kala itu.
Kami duduk berhadap-hadapan sembari  sedikit berbincang mengani pengalaman masing-masing. Sampai akhirnya ada sebuah kejadian yang begitu menarik perhaatian kami berdua, disebuah lorong gerbong yang sempit ada anak dua kecil yang ia berlarian sambil tertawa-tawa.
Bermain, iya bermain tanpa mengenal tempat dan waktu. Melihat kejadian itu tentu refleks aku membuka gawai untuk sekedar melihat sudah pukul berapa sekarang. Tepat pukul sebelas malam, tentu merupakan jam yang larut untuk ukuran seorang anak-anak yang seharusnya jam malam mereka hanya sampai pukul sembilan.
Aku bersama si mbah , iya mbah adalah nenek paruh baya yang duduk bersamaku tersenyum melihat tingkah dua manusia kecil yang begitu menggemaskan itu.
Tawa mereka menggema seolah ingin membangunkan seluruh penumpang yang sedang terlelap kala itu. Aku penasaran, dimana orang tua keduanya? Belum lama pertanyaan itu muncul di benak, aku melihat seorang laki-laki berperawakan sekitar umur 24 tahunan menghampiri keduanya.
Aku tebak, itu adalah bapak mereka. Tapi ternyata tebakanku salah, bapak itu ternyata adalah orang tua dari anak yang pertama. Mataku masih mengawasi apa yang terjadi disana tanpa jeda.
Bapak itu duduk memposisikan dirinya sejajar dengan anaknya lalu berbisik entah apa namun kulihat matanya menatap lekat ke mata anaknya.
Tak lama, anak itu tersenyum, mengangguk lalu membuka lebar tangannya seolah merelakan dirinya untuk dibawa dalam gendongan lengan kekar orang tuanya.Â
Setelah ia berada di posisi gendongan  bapaknya kulihat ia melambai kepada teman bermainnya tadi. Seketika, gerbong kembali ke posisi awal. Hening, senyap dan hanya terdengar suara mesin dan sesekali suara pengumuman dari kabin masinis.
Anak yang kedua terlihat termenung karena telah kehilangan teman bermainnya. Â Melihat kejadian itu aku dan si mbah melambaikan tangan namun dia menggeleng.
Aku ingat, aku punya sebungkus cokelat di dalam tas ransel milikku dan dalam pikir aku terbersit untuk menghadiahkan itu kepadanya agar mengembalikan ceria di wajahnya. Anak kecil, begitu murah moodnya. Melohat apa yang aku pegang kakinya tanpa sadar malu-malu tergerak mendekat kearahku.