Teman saya (alumni pesantren kilat) heran setengah modar. Bagaimana sebuah kesombongan bisa disebut sebagai perbuatan terpuji. Dia terus menerus mencecar saya dengan pertanyaan serupa. Bagaimana sombong yang terpuji itu..?
Ulama di derajat paling tinggi pun akan tetap menjauhi sifat sombong. Saya jadi teringat sebuah kisah hikmah dimana Imam Abu Hanifah sebagai ulama besar di masanya mendapat teguran dari anak kecil. Imam Hanafi menegur anak kecil yang menggunakan sepatu kayu. “Hati-hati nak dengan sepatu kayumu. Jangan sampai kau tergelincir”.
Mendapat teguran seperti itu, anak kecil itu menatap kearah Imam Hanafi. Kemudian ia menanyakan nama tokoh pendiri mazhab tertua dalam Islam itu. Dialog antara ulama besar dan anak kecil pun tercipta. Setelah mengenalkan nama aslinya, Imam Hanafi ternyata mendapatkan nasehat yang tak pernah ia sangka.
”Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-imam al-a‘dham (imam agung) itu?”
”Bukan aku yang menyematkan gelar itu. Masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku.”Kata Imam Hanafi merendah.
Kemudian anak kecil itu berkata, “Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka gara-gara dia. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”
Wuiiiiihhhh…… bagaimana bisa…! Ulama sekaliber Imam Hanafi yang sampai hari ini metode peribadatannya masih menjadi mayoritas di dunia ditegur oleh seorang anak kecil. Masalahnya pun tidak sepele. Soal kesombongan..!
Soal anda percaya atau tidak tentang kisah ini itu terserah anda. Jangan tanya siapa yang meriwayatkan kisah ini. Sebab yang saya ambil bukan siapa yang meriwayatkan, tetapi hikmah yang terkandung didalam kisah tersebut. Anda jangan mencari-cari siapa nama bapaknya atau nama simbah-nya Nabi Khidir, tapi kita sebagai manusia cukup mengambil hikmah adanya pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir.
Hari ini kita mungkin sulit menerima kenyataan seperti ini. Jangankan mendengarkan nasehat teman yang seumuran, mendengarkan perkataan teman yang beberapa tahun dibawah kita saja susah. Apalagi kalau yang menasehati adalah anak kecil.
Iya, kita memang bukan Imam Hanafi. Kita hanya orang awam yang ketika keluar rumah di pagi hari, kesombongan sudah ada didalam kepala kita. Sombong ada didalam hati kita. Bisa jadi kesombongan itulah pakaian kita.
Memang benar saya pernah menulis pernyataan bahwa ada kesombongan yang terpuji. Tetapi bukan itu maksud saya. Maksud saya adalah kita sebagai manusia jangan suudzon dengan kesombongan. Lho bagaimana itu, suudzon dengan orang yang sombong?