[caption caption="Sumber ilustrasi: piyoto. com"][/caption]Tibalah saya di suatu negeri yang masyarakatnya amat masyhur dengan kesabarannya. Mereka menyambut saya dengan suka cita. Mereka memeluk saya begitu hangat. Saya jelas terharu dan tak ragu-ragu mencium tangan orang tua yang ada di hadapan saya.
"Ini namanya nasi kuning. Lauknya ikan haruan masak habang. Silahkan dicoba, Nak," kata bapak berpeci putih, sembari menyorongkan nasi yang dibungkus daun pisang. Belum sampai suapan pertama, istri beliau mengantarkan satu gelas teh panas yang diletakkan tidak jauh dari tempat duduk saya.
Saya tercekat, sekaligus kagum. Bagaimana bisa, orang yang belum kenal sudah begitu baiknya kepada saya, tamu dari negeri antah berantah. Kedua orang tua itu menjamu saya dengan sangat ramah. Saya sendiri hanya pengembara dari pulau seberang yang kesasar dan secara tak sengaja bertemu orang tua baik hati itu. Memang benar kata orang di pulau seberang. Masyarakat di daerah ini memang terkenal ramah dan  selalu berkhusnuzon kepada siapa saja, tak peduli ia maling atau rampok sekalipun.
Saya juga merasakan betapa damainya berjalan-jalan, keliling pasar di daerah ini. Walaupun hanya sendirian, saya tak perlu merasa khawatir dengan pencopet atau segala bentuk aksi kejahatan lainnya.
Setiap berpapasan dengan orang lain, mereka selalu menyunggingkan senyum. Mereka tidak pernah bertanya, dari mana asal usul bapak moyang saya. Mereka juga tidak pernah bertanya apakah saya memiliki hubungan dengan ahlul bait atau tidak. Sebab sepintas, saya memang berwajah Arabian. Yang mereka tahu, saya hanyalah anak muda dari pulau seberang yang sedang mencari pengalaman, asam garam kehidupan.
Begitu indahnya berkomunikasi dengan masyarakat di sini. Kondisi seperti ini jelas tidak bisa saya temui di kampung halaman saya, di mana masyarakatnya terkenal agak kasar walaupun di dompetnya terselip kartu anggota Nahdatul Ulama atau Muhammadiyah.
Selain sekelompok masyarakat yang saya temui, ternyata kebaikan-kebaikan mereka juga menurun ke generasi yang lebih muda. Mahasiswa di daerah ini contohnya. Mereka juga memiliki level kesabaran yang tak kalah dengan komunitas masyarakat yang saya temui.
Menurut cerita seorang pemuda yang dikenal sebagai aktivis, jangankan membakar kampus, menggelar aksi demonstrasi saja jarang. Kalaupun terpaksa menggelar demo, aksi yang dilakukan haruslah dengan cara damai dan tertib sesuai aturan yang sudah disepakati dengan aparat kepolisian.
Dari penuturan sang aktivis, aksi demonstrasi yang digelar di daerah ini harus dimulai tepat waktu. Aksi tersebut juga harus berakhir sesuai jadwal yang sudah tertera di surat izin demonstrasi. Saat diceramahi oleh sang perwira, ratusan mahasiswa manggut-manggut saja, tanda setuju.
Karena itu, aparat kepolisian tak perlu repot-repot membuat formasi khusus untuk pengendalian massa. Pemadam kebakaran tak perlu terjun untuk memadamkan api dari ban bekas yang mengepulkan asap tebal. Tak perlu ada bantuan Brimob atau TNI. Dan pasukan Banser atau Laskar Front Pembela Islam tentu tak perlu turun tangan untuk menangani aksi mahasiswa yang jauh dari kata anarkis. Tak salah kalau salah satu pesantren tradisional paling masyhur di daerah ini diberi nama Darussalam, negeri yang damai.
Dulu saya tak percaya hal ini. Karena saya memandang bahwa seluruh mahasiswa memiliki sikap yang sama, kritis dan cenderung anarkis. Persis seperti mahasiswa di kota-kota besar seperti di Jakarta atau Makassar. Tetapi di sini? Saya sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Sekarang saya percaya!
Suatu hari, saya begitu terkejut sekaligus terharu saat berkunjung ke rumah teman saya yang baru keluar dari penjara karena kasus pencurian. Di rumahnya yang sangat sederhana, terpampang sebuah foto seorang ulama berukuran besar. Saat saya tanyakan soal foto itu, ia mengatakan bahwa menghormati para ulama sudah menjadi bagian dari tradisi, bahkan menjadi kewajiban masyarakat di sini. Seburuk apa pun kelakuannya, warga di daerah ini selalu mencium tangan ulama yang mereka temui.
Tak bermaksud mengultuskan, karena mereka sudah paham betul perbedaan antara ulama dengan para nabi dan rasul. Selama puluhan tahun, warga di sini tidak pernah menganggap para ulama sebagai nabi, rasul, apalagi Tuhan. "Tradisi cium tangan ini benar-benar dengan niat untuk menghormati para ulama. Karena mereka juga orang tua kami," kata teman saya itu, sembari membersihkan pigura bergambar seorang ulama bersorban putih dengan menggunakan kemoceng.