Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meratus Terancam Radikalisme

11 Januari 2018   18:10 Diperbarui: 12 Januari 2018   09:39 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : banjarmasin.tribunnews.com

Saat Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif, ditangkap KPK pada 4 Januari 2018 kemarin, muncul kekhawatiran banyak pihak bahwa penangkapan tersebut berbau "pheli-thik" karena selama ini Bupati HST tidak pernah memberikan izin pertambangan batu bara di wilayahnya. 

Namun, pendapat ini segera dibantah oleh beberapa kalangan lainnya yang mengatakan penangkapan tersebut tidak ada kaitannya dengan sikap tegas bupati terhadap tambang batu bara.

Sempat terjadi perdebatan agak sweeengit di antara dua kelompok tersebut. Satu pihak meyakini penangkapan ini hanya sebagai jalan agar Kabupaten Hulu Sungai Tengah bisa segera dikeruk emas hitamnya. 

Pihak lain yang menolak analisa itu berpendapat KPK melakukan penangkapan karena memang si bupati terlibat suap. Dan soal suap itu, tak ada korelasinya dengan sikap bupati yang melarang wilayahnya disentuh aktivitas pertambangan.

Namun, saat ini semua terang benderang. Itu karena Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, ternyata sudah menerbitkan keputusan Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) Mantimin Coal Mining (MCM) menjadi tahap kegiatan operasi produksi. 

Keputusan tersebut dikeluarkan untuk penambangan di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang meliputi Kecamatan Batangalai Timur. Titik koordinat MCM untuk tahap kegiatan produksi tersebut meliputi tiga lokasi di Kabupaten HST, Balangan dan Tabalong dengan total luas hampir 6 ribu hektar, tepatnya 5.908 hektar. Pada Keputusan menteri ESDM itu, juga disebutkan, kegiatan operasi produksi diberikan sampai 2034 mendatang.

Selama ini, Meratus belum gundul saja, banjir sering terjadi di sana. Apalagi kalau Meratus sudah botak nanti? Ini jelas bencana untuk warga yang tinggal di sekitar kawasan Meratus. 

Sedangkan orang yang sudah begitu paham dengan Indonesia, mungkin berpendapat hal ini adalah sesuatu yang biasa. Alam dirusak itu biasa, tapi kalau alam dipelihara itu baru aneh, tidak lazim. Tak sampai di situ, keputusan ini juga berpotensi menyulut perlawanan dari masyarakat setempat yang selama ini menolak pertambangan batu bara.

Jadi, radikalisme itu jangan hanya ditujukan kepada kelompok takfiri, anti Pancasila, atau kelompok yang suka melakukan pengerusakan fasilitas publik saja, tapi mereka yang mendukung dan melegalkan pengerusakan alam juga sangat pantas disebut radikal yang tidak hanya berbahaya bagi NKRI, tetapi berbahaya untuk semua makhluk hidup di alam ini.

BTL (11/1/2018)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun