Di mana suara ulama ketika sumber daya alam habis dikeruk atau ketika perkebunan sawit milik para cukong makin menggerus lahan masyarakat di Bumi Borneo?
Apakah ulama hanya berperan sebagai sosok guru yang mengajarkan perkara baik, buruk, surga, neraka, dari dalam majelis atau pesantren? Apakah ulama hanya bertugas mendakwahkan akidah, fikih, tassawuf, tarikh dan khilafah? Apakah ulama adalah mereka yang sering nongol di televisi sambil berteriak "jamaaaaah oh jamaaaaah".Â
Apakah ulama adalah sesosok manusia yang ketika melihat ketimpangan sosial, ketidakadilan di mana-mana, kemaksiatan merajalela, hanya mampu membuat satu dua bait syair berisi nasihat, lalu dibuat meme dan dishare ke media sosial?
Apakah ulama hanya bisa saling sindir ketika mereka berbeda pendapat, kemudian membidahkan orang yang tidak sependapat dengannya? Apakah ulama akan terus memperdebatkan tentang wajib tidaknya memelihara jenggot, halal dan haramnya rokok, atau tentang keharusan mengenakan celana di atas mata kaki, menggunakan serban di kepala, memakai sarung, kopiah, gamis dan berdebat tentang sandal mana yang paling mirip dengan sandal nabi?
Di sebuah forum diskusi tentang kerusakan alam yang baru saja saya ikuti, pertanyaan-pertanyaan serupa itu muncul di pikiran saya. Mereka yang hadir menginginkan sosok ulama yang tidak sekadar mengajarkan tentang perkara ibadah, tetapi juga ulama yang peka dan responsif terhadap persoalan lain di luar urusan ibadah mahdhoh.Â
Dari diskusi itu terlontarlah kesimpulan dan menerucut pada satu harapan, ulama  harus ikut memikirkan persoalan tentang kerusakan alam. Ulama harus memformulasikan dan merumuskan hukum-hukum tentang penzaliman terhadap alam dan makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Harapan yang kelak bisa dijadikan referensi sekaligus rujukan masyarakat dalam menyikapi persoalan makin menderitanya alam kita.
Berdasarkan data WALHI Kalsel, saat ini lebih dari tiga juta meter persegi lahan di Kalsel dalam kondisi kritis. Tidak heran, Kalsel menjadi wilayah yang tingkat kerusakan alamnya paling parah di Indonesia. Alam hancur, manusia tidak lagi memahami arti keseimbangan, terutama terhadap lingkungan tempat dia tinggal. Â
Di Satui, salah satu wilayah di Kalsel, dapat dilihat melalui mata telanjang bahwa aktivitas penambangan batubara dilakukan di depan aparat penegak hukum. Parahnya, aksi penambangan dilakukan tidak jauh dari jalan negara yang menjadi akses darat satu-satunya warga dari dua kabupaten, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Itu belum ditambah dengan puluhan, bahkan mungkin ratusan bekas galian batu bara yang tidak direklamasi.
Perlawanan hanya dilakukan segelintir orang. Warga yang keras menolak bisa saja dikriminalisasi oleh mereka yang memiliki kepentingan. Di sisi lain, belum pernah ada suara dari kalangan ulama yang memprotes aktivitas pengerusakan lingkungan itu. Padahal, mestinya ulama juga harus mengambil peran. Masyarakat tentu maklum dan paham bahwa ulama memiliki metode dakwah yang berbeda-beda. Ada ulama yang mengajar di majelis atau pesantren, ada ulama yang berdakwah dari rumah ke rumah, kantor ke kantor, dan dari gugel ke yutub, tetapi juga harus ada ulama yang mengambil peran di wilayah nahi munkar ini. Kita butuh ulama yang bisa berteriak lantang menolak pengerusakan alam. Bukan ulama yang suka makan siang di istana negara atau model ulama yang tiap tahun menerima dana hibah dari pemerintah daerah.
Namun, saya tahu kita pasti belum siap. Sebab, kita sudah terlanjur mendefinisikan ulama sebagai sosok yang suci dari perkara politik, juga pemerintahan. Ulama adalah mereka yang menyeru pada kebaikan normatif yang penuh kebijaksanaan. Ulama tidak boleh ceramah tentang reklamasi Teluk Jakarta, pertambangan batu bara dan limbah sawit yang mencemari sungai, atau tentang pegunungan Meratus yang terancam digunduli oleh gerombolan dhemit nusantara. Ulama tidak boleh menjadi orator yang memprotes kerusakan alam dan lingkungan.Â
Ulama harus tetap sabar, santun, dan murah senyum, meskipun tanah airnya hancur lebur dijajah dan dinistakan.