Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pegawai Main Proyek itu Wajar dan Manusiawi

21 Desember 2017   12:28 Diperbarui: 21 Desember 2017   12:50 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : tribunnews

"Payah! Tahun ini tidak ada proyek yang bisa dikerjakan. Jadi, terpaksa cuma makan gaji saja," ujar seorang Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. "Padahal, saat ini biaya hidup makin mahal. Kalau cuma gaji Rp1 jutaan sebulan, mana mungkin bisa memenuhi segala macam kebutuhan hidup; dari urusan dapur, urusan perut, sampai urusan ranjang."

Orang boleh tidak sependapat, tetapi saya menilai  wajar pegawai pemerintah main proyek di instansinya sendiri. Itu manusiawi. Main proyek adalah solusi yang jauh lebih aman daripada harus menjadi maling atau rampok di jalanan. Kalau main proyek di instansi pemerintah daerah, minimal tidak ada potensi dibakar masa seperti yang sering terjadi di beberapa kota besar. Namun, pegawai selevel PTT memang tidak mungkin bisa bermain proyek sendirian. Ia tentu harus bekerjasama dengan orang yang tepat, bisa kepala bagian, kepala dinas, atau kepala pemerintahan.

Yang agak menguntungkan adalah perilaku korup oknum pegawai pemerintah daerah dari jajaran terendah sampai pejabat relatif aman dari sorotan aparat penegak hukum. Selain tidak seksi, lebih baik aparat fokus menyelesaikan kasus korupsi raksasa yang sampai hari ini belum bisa diungkap. Kita bisa melihat ada banyak kasus yang sampai hari ini belum terungkap. Data ICW menyebutkan ada 13 kasus yang belum terselesaikan, di antaranya adalah kasus bailout Bank Century, rekening gendut jendral Polri, mafia pajak, dan korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan perusahaan besar berinisial "FN".

Saya pikir pihak kejaksaan dan kepolisian juga senada dengan KPK. Mereka tak mungkin mau berkeringat hanya untuk mengurusi perkara ecek-ecek yang potensi kerugiannya hanya mencapai puluhan juta rupiah. Kalau perkara yang ditangani terlalu kecil, penghargaan yang didapat dari atasan juga pasti tidak istimewa. Peluang cepat naik pangkat juga sangat rendah. Bagi aparat penegak hukum, mengusut kasus korupsi recehan sama sekali tidak berbobot. Itu sama saja menyuruh kapolres untuk mengurusi kasus pencurian sandal jepit di masjid.

Karena relatif aman dari sorotan aparat penegak hukum, saya pun akan melakukan hal yang sama jika misalnya saya menjadi kepala dinas. Saya akan memanfaatkan sebaik mungkin jabatan saya untuk berpartisipasi di dalam setiap proyek yang mata anggarannya tersedia di instansi yang saya pimpin. Hal pertama yang akan saya lakukan ialah mendata proyek apa saja yang ada di instansi saya. Selanjutnya, saya akan membuat daftar proyek yang dilelang dengan proyek penunjukan langsung.

Proyek penunjukan langsung akan saya berikan kepada perusahaan-perusahaan milik saya secara merata. Orang-orang tak bakal tahu jika perusahaan tersebut milik saya sendiri, sebab nama direktur dan pengurusnya sudah saya sesuaikan sedemikian rupa. Di CV. Berkat Ayah, misalnya. Saya menunjuk tetangga saya sebagai direkturnya. Di CV.Karya Bersama, saya menunjuk kawan saya untuk menjadi direktur dan pengurusnya. Pun begitu dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Selanjutnya, proyek PL tinggal dikerjakan sesuai spesifikasi. Itu sudah sangat menguntungkan. Kalau satu proyek PL saya bisa untung bersih Rp15 sampai Rp20 juta, hitung saja jumlahnya berapa keuntungan yang saya dapat jika saya mengerjakan minimal 10 proyek PL.

Dengan cara seperti ini, otomatis semuanya akan sejahtera. Pegawai yang sebelumnya sering telat membayar kreditan, bisa langsung membayar lunas sepeda motornya. Pegawai lain yang gajinya habis karena SK-nya sudah tergadai juga tak perlu pusing lagi. Saat ini mereka bisa fokus untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kepala dinas yang ingin membeli mobil baru atau ingin punya istri baru juga sudah tak perlu khawatir lagi.  

Korupsi memang sudah menjadi kebanggaan kita bersama. Kalau di zaman orde baru dahulu, korupsi hanya dilakukan oleh penguasa dan kroni-kroninya, di zaman sekarang korupsi menyebar dari ibukota, sampai ke pelosok desa. Jangankan bupati, kepala dinas, kepala bagian, atau pejabat eselon IV, pegawai tidak tetap saja bisa korupsi. Ini membuktikan bahwa korupsi memang sudah sangat mengakar di Indonesia. Dan kita harus bangga dengan semua itu. Sepakbola boleh kalah, tetapi urusan korupsi kita jangan sampai kalah!

BTL, 19.12.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun