Seseorang tiba-tiba bertanya kepada saya. "Lebih penting mana, kuota internet atau Tuhan?"
Saya menjawab tegas."Tentu saja kuota internet!"Â
Tuhan jelas tidak penting. Kalaupun kita memerlukan keberadaan Tuhan, itu hanya pada saat-saat genting saja. Kalau istri kita sakit, kalau anak kita sakit, kalau keluarga kita sakit, kalau kita terkena musibah, kalau kita dalam keadaan terdesak, kalau kita tidak dapat pekerjaan, kalau kita disingkirkan, diasingkan, dizalimi, ditiadakan dalam kehidupan, baru kita memerlukan keberadaan Tuhan.Â
Saya tak pernah ingat kapan terakhir kali saya benar-benar mengingatNya. Selama ini saya hanya sekadar menjalankan perintahnya secara seremonial. Salat, sih, salat. Namun, ala kadarnya. Di satu waktu, saya bisa saja salat lima waktu; isya, subuh, dzuhur, ashar, dan maghrib. Namun, di waktu lainnya saya bisa salat maghrib saja, atau salat maghrib dan dzuhur saja.Â
Di waktu lainnya, saya divonis dokter terkena tumor tyroid. Leher bagian kanan saya membengkak. Dokter bilang saya harus segera dioperasi, sebab jika dibiarkan berpotensi menjadi kanker yang sangat berbahaya. Seketika saya takut. Degub jantung makin cepat. Tubuh saya lemas, lunglai, dan tak berdaya. Istri saya menangis. Bagaimana nasib kami selanjutnya? Sementara uang pun kami tak punya.
Tiba-tiba saya kembali ingat Tuhan. Saya ambil wudhu. Saya salat dan berdoa. "Ya, Tuhan. Cobaan apalagi yang kauberikan kepada hambamu? Bukankah kautahu jika hamba tak punya uang? Apalagi kata dokter hamba tidak bisa dioperasi di rumah sakit milik daerah, sebab antreannya sangat lama, sampai tahun depan. Di sisi lain, penyakit ini harus segera dioperasi. Satu-satunya jalan harus dioperasi di rumah sakit swasta yang tentu saja biaya pengobatannya sangat mahal."
Namun, meskipun saya merasa berada sangat jauh dari Tuhan, sang maha pemurah mengabulkan doa saya. Ia mengirimkan seseorang yang bersedia membantu pengobatan saya. Dalam waktu tak sampai 10 menit, biaya operasi masuk ke rekening. Istri saya kembali menangis. Saya pun ikut terharu dan tak kuat menahan air mata. Singkatnya, Tuhan kembali menyelamatkan saya.Â
Sekarang saya tak butuh Tuhan lagi. Saya bisa beraktivitas seperti biasa. Saya bisa bekerja mencari uang agar masa depan saya terjamin. Saya harus membangun rumah berlantai dua. Ada ruang musik, perpustakaan, dan ruang untuk bersantai. Toiletnya harus toilet duduk. Karpetnya harus tebal dan lembut. Di sana ada televisi layar datar, home theatre, dan beberapa memorabilia musisi favorit saya. Pokoknya, suasananya harus senyaman mungkin. Saya tak mau mendengar ada komentar miring tentang rumah atau apapun tentang saya dan keluarga saya.
Hari ini, saya terkejut. Tiba-tiba pesan WhatsApp saya tak bisa terkirim. Facebook saya tak bisa dibuka. Pun begitu dengan Youtube, Twitter, BBM, dan media sosial lainnya. Ternyata kuota internet saya habis. Saya jelas gusar. Sebab, saya tak bisa hidup tanpa internet. Saya tak bisa berkomunikasi dengan istri, para sahabat, dan rekan kerja. Saya tidak bisa menonton highlight pertandingan sepakbola. Saya tidak bisa melakukan apapun tanpa internet. Saya merasa kuota internet lebih penting dari apapun di dunia ini. Ia lebih penting daripada khilafah. Ia lebih penting daripada Pancasila. Ia lebih penting daripada NKRI. Dan ia jauh lebih penting daripada Tuhan.
Bjm-Btl, 17.12.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H